Jealo (us)








Jadi, kapan aku berhak untuk marah?


Kami saling terdiam. Aku menarik diri dari rasa menyesal yang diam diam menggerogoti tubuhku. Menyesal aku dibutakan oleh rasa cemburuku yang tak beralasan.


 Tetapi, kurasa aku memiliki hak untuk itu, bukan?.


Aku kekasihmu, wahai lelaki yang kini duduk di depanku. Aku gelisah, menunggu banyak hari untuk menanyakan langsung tentang hal ini. Kau, berfikir jika semua yang kumintai kejelasan tiga puluh menit yang lalu adalah omong kosong. Tetapi aku, dengan segala keterbatasan yang kupunya aku bersusah payah menjadikan itu menjadi hal penting.


Malam ini, kuputuskan untuk memetik sedih dari mataku. Aku lelah berlama lama menemani kecurigaan yang kupunya. Kugenggam jemari manusia di depanku, dan kutanyai perlahan “Dia siapa?”.


Hampir pecah gelembung tangisku melihatnya masih mematung tanpa suara. Aku benci ketika ia menjelma arca. Aku butuh kalimatnya, tak peduli itu bohong atau jujur. Setidaknya legakan perasaanku dengan mengatakan “Dia bukan siapa siapa”.


Meletakkan puntung rokoknya ke dalam asbak, tiba tiba aku ditikam banyak nyeri.


“Kami bertemu pada suatu  malam di pasar malam” katanya. Kembali menyulut tembakau untuk kali ketiga. Kuusap dua titik air dari sudut mata kiriku, sesuatu yang biasanya ia lakukan.



“Semuanya terjadi begitu cepat, kami berkenalan, saling bertukar kontak, meyapa di media sosial, lalu kadang kadang bertemu di malam minggu” sambungnya. Menghisap batang rokoknya dalam dalam, membuang asapnya ke udara, hilang.


“Hingga pada akhirnya, aku tau diam diam dia memendam rasa kepadaku”.


Aku terisak, mengeras. Menghabisikan berlapis lapis tissue dari tasku.


 “Perlu kau tau, itu terjadi jauh sebelum aku bertemu kau” tambahnya. Lagi lagi tanpa pandangan mata yang mengarah kepadaku, dia menerawang ke angkasa. Sesekali aku melihat bibirnya menorehkan senyum tipis, seperti mengingat ingat sesuatu yang menyenangkan. Entah, aku tidak dapat menginderanya dengan cukup baik.


 “Tetapi, bagaimana jika aku tidak bisa membalas perasaannya?”


 “Laki laki, perlu jutaan kali untuk berfikir ketika akan menjadikan seseorang sebagai bagian hidupnya. Laki laki normal pasti melakukan hal itu. Aku, masih tergolong dalam laki laki yang luar biasa normal”


 “Dan aku, laki lakimu ini, Sayang. Perlu ribuan kali memutar otak untuk menghindari gadis manis seperti dia. Kuakui dia begitu mempesona, meskipun apa adanya” tuntas, kalimat itu yang ia tunaikan sebelum meneguk isi cangkirnya yang penuh cairan hitam.


“Susah, tidak mudah bagi laki laki lemah sepertiku untuk keluar dari jerat yang ia punya. Aku hanya berusaha untuk lebih logis lagi, maka dari itu memilih untuk berkata tidak”

“Aku lebih suka direngkuh sepiku sendiri, Sayang” katanya, mengakhiri kalimatnya dengan menjentikkan sisa abu di ujung rokoknya yang masih keuar masuk mulut.


Dia meraih jemariku. 


“Aku paham akan banyak sesak yang kau idap, cemburu yang kau nyalakan di dadamu itu Adinda, tidak akan sebanding dengan cemburu yang kumiliki. Setiap detik, setiap kau memejamkan mata” 


Kugigit bibirku, aku tidak percaya.


Aku tau lelaki ini tidak pandai merayu, dan entah mengapa pada diskusi kita yang tak seimbang ini dia malah banyak berkata kata.


Pelan, ia matikan rokoknya yang tinggal separuh. Melibasnya pada asbak, menggesarnya menjauh.


Dia meraba pelan cincin permata di jari manisku, sesuatu yang ia sematkan dua bulan yang lalu.


“Benda kecil ini, aku cemburu padanya” katanya pelan. Menatapi kilap kilap cahaya yang ditimbulkan akibat sorot lampu. 


Aku menelan ludah, leleh sudah dengan perlakuannya.


Tapi hatiku masih, utuh. Cemburu masih berupa bongkah bongkah batu yang berusaha menjebol dinding kesabaranku.


“Bagaimana bisa ia melingkar cantik di jarimu sedang aku tidak? Bagaimana bisa ia mengikutimu kemana mana sedang aku tak mungkin? Laknat sekali ia bisa melihatmu setiap hari, sedangkan aku? Aku tidak bisa, aku harus menebas jarak demi bisa melihat mata indahmu”


Lelaki ini, mengalihkan pandangannya padaku. Menghujam mataku dengan matanya.


Aku memejamkan mata, ketika ia sentuh daguku.


“Cemburuku lebih besar, Sayang. Bahkan aku kalah dengan cangkir di hadapanmu. Atau cangkir di dapurmu, yang warna ungu. Aku tahu setiap pagi kau membuat adonan sereal dengannya. Lalu apa? Dia bisa menyinggahi bibirmu, setiap pagi. Sesuatu yang tak bisa kulakukan” katanya.


Aku terisak semakin dalam, semakin keras.


“Aku cemburu pada angin, aku cemburu pada udara yang melewati hidungmu, aku cemburu pada deretan bedak di rak kamarmu, aku cemburu pada sepatu yang kau kenakan, aku cemburu pada Venus si kucing sialan yang selalu naik ke ranjangmu meminta di peluk setiap malam, aku cemburu pada pelangi yang kau tatap takjub, aku cemburu pada monitor, aku cemburu pada ponselmu, Sayang” dia berkata lagi, semakin tegas. Semakin beringas. Tak lagi lembut, berubah mengeras.


Dia menggenggam jemariku semakin kencang.


“Juga sebuah kontak yang kau namai Santi, tapi bernama asli Sony. Aku tahu kamu sebenarnya, dan aku berpura pura tidak cemburu”.



Di luar sana malam merangkak naik, hampir pagi. Dan kami terjebak pada cemburu masing masing. Menyala nyala, siap merobohkan atap kafe. Panas.

-

Baturetno
01.55
Sunday 21 January 2018





Komentar

Postingan Populer