Ranti
“Rupanya kau di sini” kutepuk bahunya yang ramping berbalut daging tipis. Perempuan itu tak menoleh, mengabaikan sapaanku lalu kembali memerahkan ujung tembakaunya. Angin laut menyisir rumpun rumpun rambut kami. Tak ada suara burung atau desiran yang lebih kuat dibandingkan riuh gulungan ombak, menari nari, melambai seolah meminta dijemput menuju batas daratan. Kudekati tubuh perempuan itu, lehernya mendingin. Wajahnya lebih dari pucat. Aku tidak dapat menerka seberapa kuat ia menghisap ganja, nyatanya ia bisa merangkak hingga sampai di tempat ini.
“Ada apa? Mimpi buruk lagi?” tanyaku. Dia menggeleng. Sibuk menghunus tembakau dari mulutnya kemudian dimasukkan kembali sembari memejamkan matanya.
“Kenapa kau tak mau memberi tahu aku kalau kau butuh teman?” tanyaku.
Lagi lagi perempuan berambut sebahu itu menggeleng.
Aku lebih dari tahu jika ia tak bisa lepas dari pelukan obat bius. Awal dia berani menghisap ialah saat ia terkena depresi berat di semester yang lalu. Dia seorang sutradara muda, pengelola komunitas teater yang namanya cukup diperhitungkan di kampus. Wajahnya manis, tutur katanya lembut. Tidak ada seorang pun yang menyangka jika dia seorang yang sering kumat. Tidak ada yang akan mengira jika perempuan ini sekali kali akan kehilangan dirinya sendiri.
“Bagaimana dengan pementasan untuk perayaan hari ulang tahun sanggarnya Mas Destian?” tanyaku hati hati.
Perempuan ini menghela napas berat. Tertawa kemudian. Matanya yang bening menatap jauh ke arah laut.
“Itu bukan urusanku” jawabnya.
Anak anak angin berarak memainkan baju kami. Perempuan di depanku ini masih asyik menuntaskan lamunannya. Tak ada yang ingin ia bicarakan padaku. Sementara aku harus bersikeras mengajak ia untuk kembali tinggal bersama agar ada yang mengawasi ketika ia tiba tiba sakaw.
Besok kami masih harus kembali ke bangku kuliah. Tidak mungkin aku akan membiarkan ia berlama lama memelihara tubuhnya seletih ini. Perempuan ini adalah satu dari sekian tanggung jawab yang harus kuselesaikan.
“Bagaimana kabarnya?” tanyanya pelan. Aku menoleh, menatapi pipinya yang telah banjir air mata. Entah sejak kapan ia menangis, tanpa suara.
“Siapa?”
“Destian”
Harus kuakui jika ada satu hal yang kusesali hingga kini. Malam itu ketika pesta perjamuan yang mempertemukan seluruh kerabat kerja film menjadi awal Ranti bertemu dengan Destian. Aku yang mengenalkan mereka satu sama lain. Mereka seperti lelaki dan perempuan yang lebih dari cocok. Menyukai sastra, tergila gila dengan aroma buku, kecanduan sinematografi dan sama sama penggiat teater.
“Dia sudah memiliki kekasih?” tanyanya lagi.
Aku menimang nimang jawaban. Tak urung kukunci juga mulutku, memilih jalan tengah yang aman. Kubiarkan Ranti meracau hingga kering air matanya. Namun diantara banyak ocehannya, dia sama sekali tak menyalahkan aku.
Laut berangsur tenang seiring cahaya sore yang mulai semburat jingga. Darahku mendesir ketika kulihat sebuah mata pisau terselip rapi di saku belakang celana Ranti. Sebegitu dalamkah perasaannya pada Mas Destian hingga ia senekat itu?.
Aku tidak banyak tahu tentang keduanya. Mas Destian adalah sosok yang begitu sempurna, idaman seluruh jenis perempuan. Tetapi Mas Destian tetaplah Mas Destian. Dia tak bisa berhenti pada satu perempuan. Bahkan jika perempuan itu sesempurna Ranti sekalipun.
“Ranti, apa kamu tidak lelah?” tanyaku.
“Lelah dalam hal?”
Kuhela napas berat.
“Menunggu” jawabku.
Bukan hal yang baru bagi Mas Destian untuk bermain main perempuan. Sedari awal aku memang tidak bermaksud untuk menjadikan Ranti sebagai korban. Aku hanya ingin Ranti bertemu dengan orang orang yang tepat. Orang orang yang mampu menjadi bahan bakar mimpi mimpinya yang terantuk restu orang tua. Aku hanya ingin Ranti bertemu dengan guru yang menjadikannya ada, dianggap, dan melebarkan sayap bakatnya.
“Semua orang menunggumu, Ranti”
Angin bertiup pelan, membuat suaraku semakin jelas di telinganya. Ranti tertawa. Dia kemudian kembali terisak.
“Semua orang ingin kau kembali menjadi Ranti yang mereka kenal” bujukku.
“Apa yang kau harapkan dari Destian? Ia hanya seseorang yang mampir. Dia tidak berusaha untuk tinggal. Kamu itu tetap istimewa Ranti”
Ranti menoleh, menatapku, melempar senyum kecut dari bibirnya yang manis. Kembali ia menyalakan tembakau, menutupi wajahku dengan asapnya yang mengepul.
“Kalau kue, kamu itu martabak, dengan atau tanpa acar, kamu tetaplah spesial. Mas Destian itu acar, dia bahkan tidak bisa tanpa cuka. Kamu itu martabak, tanpa acar pun kau sempurna”.
Ranti menatap mataku. Sesaat sekali, kembali mencumbui tembakau. Menenggelamkan kata kataku yang kemudian hilang ditelan kebisuan.
Matahari kian merendah. Ombak kian melemah. Ranti mematikan rokoknya, menghadapi wajahku dan sesaat kemudian bibir kami bertemu. Aku bisa merasakan napasnya yang tak bisa diajak beristirahat untuk sebentar, aku tahu bahwa ia merindukan Destian. Aku tahu aku hanya tempat pelampiasan amarahnya yang tak pernah selesai.
“Terimakasih, kau selalu mencoba memahamiku” bisiknya sesaat setelah ia selesai dengan permainan yang ia tawarkan.
Aku mengangguk.
Aku hanya tak sanggup mengatakan padanya.
Aku tak hanya ingin berusaha memahami, namun aku juga selalu mencintaimu. Ranti.
-
Bogor
15.39
Thursday 23 August 2018
Picture from: https://weheartit.com/entry/252327626
Komentar
Posting Komentar