Fetus



 “Perempuan”


Aku mengangguk, menyapanya lagi. Kurasa kali ini kaki kecilnya menendang dengan riang. Dari balik kulit, di bawah lingkaran pusar. Dia bersembunyi, kadang kadang seperti membisikkan sesuatu.


Rasanya sungguh seperti mimpi. Pelajaran, teori, gumpalan materi dari buku buku biologi yang pernah kubaca tak ada apa apanya dibandingkan dengan apa yang tengah aku rasakan. Dua sel melebur, satu di antaranya lebih dulu berjuang mati matian untuk bisa membuahi. Meminang sel telur yang sedang cantik cantiknya. Lalu mereka menyatu, membunuh jutaan sel sperma lainnya yang tertolak. Jadilah segumpal darah yang berdenyut, memiliki mata, jantung, dan tonjolan calon tangan dan kaki seiring berjalannya waktu.



Sebulan sekali, aku menyempatkan diri untuk melihat geraknya. Tidak ada genggaman tangan, tidak ada dua pasang mata yang saling terkoneksi untuk menanti datangnya perempuan kecil lemah yang kini bertumbuh di rahimku. Sebulan sekali aku harus melihat pandangan dan tatapan mata orang orang di bangsal, mungkin juga kasihan. Tetapi untuk apa aku dikasihani? Aku sudah cukup bahagia karena pada akhirnya aku akan meninggali rumahku berdua, tidak lagi seorang diri.



Siapa sangka jika setetes air yang dulunya menjalar di tubuhku kini telah berubah menjadi bakal manusia. Siapa mengira jika air hina itu diganti oleh Tuhan dengan kehadiran makhluk bernyawa yang nantinya akan kuberi nama Renjana. Aku mungkin ditinggalkan setelah pergulatan keji di malam itu. Tetapi Tuhan masih memberiku imbalan. Dititipikannya padaku seorang malaikat perempuan yang menjelma menjadi manusia kecil yang tangisnya adalah dasar dari segala bahagiaku.


            “Nyonya Lita, lain kali suaminya diajak ya. Biar bisa melihat perkembangan janinnya bersama sama. Ada beberapa hal juga yang perlu saya diskusikan dengan beliau” 


Lagi lagi aku hanya membalas dengan anggukan kecil, senyum kecut dan raut wajah dipaksakan. Suami? Hahahaha. Aku bahkan tidak mengetahui di mana laki laki itu kini berada. Kami hanya dinikahkan oleh semesta. Apakah pantas dia kuanggap sebagai suami?.


Perempuan kecil di dalam perutku kembali mengeliat. Mahluk ini adalah manusia yang mengizinkanku menjadi ibu. Seseorang yang Tuhan janjikan memiliki surga di bawah kakinya. Makhluk yang berulang kali mencegahku untuk mengakiri hidup, yang geraknya semakin hari semakin memompa semangatku untuk terus membenturkan diri pada kenyataan pahit jika nanti kami hanya akan tinggal berdua.


            “Sudah ada nama untuk bayinya, Nyonya?”

Aku mengangguk. Tersenyum, namun tak berniat memberi tahu. Bagiku nama adalah satu hal yang amat sakral. Nama adalah doa yang tak boleh kuumbar umbar sebelum makhluk ini menghirup udara pertamanya. Akulah manusia pertama yang akan memanggil namanya.
Seperti biasa, pemeriksaan selesai. Diiringi dengan petuah petuah ringan. Tidak boleh begini begini, tidak boleh makan ini itu, tidak boleh minum alkohol, tidak boleh mencicipi anggur fermentasi, tidak boleh melakukan kegiatan ini dan itu. Aku sudah hafal, aku sudah mempelajari semuanya jauh sebelum aku mengandung. Aku pamit, bersiap untuk menghadapi puluhan pasang mata yang menikamku seperti waktu waktu yang lalu. Mata yang mengisyaratkan tanda tanya ‘Di mana suaminya?’.


Tiga bulan lagi aku tak akan sendiri. Aku siap menjelajahi panjangnya malam dengan malaikat di ranjang bayi. Aku akan menjadi seorang ibu.


-
            “Memang masih boleh berjalan jalan ke tempat yang jauh? Banyak sekali belanjaanmu”


Aku menepis tangannya ketika lelaki ini ingin membantuku duduk. Dia meletakkan dua keresek putih berisi buku buku di atas meja di depanku.


            “Cuma kertas” jawabku ringan sembari meluruskan kaki di badan sofa.

            “Tapi kan kamu sedang hamil”

Ingin buru buru kusembur, namun kuurungkan. Berdebat hanyalah menambah beban. Aku menawarkan kopi, tetapi lelaki itu menolak.


            “Nanti aku bikin sendiri”


Dua bulan yang lalu kami juga bertemu. Saling bertukar kabar, tetapi dia tidak mampir ke rumah. Lelaki ini adalah salah satu manusia yang paling kuhindari di dunia. Namun entah mengapa kadang kadang udara selalu saja bekerja tanpa kuminta. Kami bisa tiba tiba bertemu di warung kopi, di kantor pajak, saat mengurus perpanjangan paspor dan tempat tempat lainnya.

Namun begitu kadang kadang aku sedikit bersyukur. Di antara banyak manusia menyebalkan yang memenuhi hidupku, hanya dialah yang tidak pernah membuat hatiku hancur dengan menanyakan ‘Siapa ayahnya?’. Dia selalu memperlakukanku layaknya perempuan baik baik, tanpa mau sedikitpun mengorek masa laluku. Atau aku curiga jangan jangan dia tahu semuanya. Laki laki mana saja yang pernah meniduriku, atau rutinitasku menjelajah berbagai club ketika aku sedang kesal dengan pekerjaan. Jangan jangan kami pernah bertemu di suatu lantai dansa namun dia pura pura tidak mengenalku.



            “Ini air putih” dia menyodorkan segelas air dingin kepadaku. Aku memang membolehkannya datang ke rumah, mungkin ini ke tiga kalinya. Dia hafal seluruh lekuk bangunan rumahku. Di mana letak kamar mandi, kamar tidur, kamar bayi, kamar tamu. Juga barang apa saja yang kuletakkan di dapur. Di mana aku menyimpan gula, mentega, kopi, minyak zaitun, minyak goreng, juga tempat di mana saja yang mungkin ditinggali kecoa. Dia tahu segalanya tentang tempat tinggalku, hanya karena ia adalah perancangnya.


            “Ke mana lagi kesibukanmu setelah ini?” tanyaku basa basi. Aku tak benar benar ingin tahu. Hanya saja aku terkadang iri dengan pekerjaannya yang tak mengharuskan berdiam di suatu tempat.


            “Ada beberapa proyek pembangunan perumahan di pinggiran Jawa Tengah, bulan depan kembali ke Papua” jawabnya sembari meneguk isi cangkir. 


            “Lama di Papua?” tanyaku lagi.

            “Lumayan, mungkin dua hingga tiga bulan”


Kadang kadang aku iri dengan makhluk Tuhan yang bernama lelaki. Bagaimana mungkin dunia bisa terkagum kagum dengan sosok tanpa pasangan di usia 20 hingga 30-an asalkan mereka memiliki uang? Sedangkan kami, perempuan. Dipaksa melanggengkan tradisi untuk ‘menikah di usia yang tidak terlalu tua’, walaupun  kami sebetulnya juga memiliki uang banyak. Kadang kadang aku iri dengan lelaki yang bebas, melajang, terbang ke sana ke mari tanpa beban. Tanpa himpitan dan tuntutan sosial ‘segeralah menikah’. Bagaimana dunia ini bisa sepicik itu?.


            “Nanti kalau bayimu lahir, tolong kabari aku ya. Aku mau menyambut keponakanku yang lucu”


Aku mengangguk, tetapi bukan berarti berjanji. Mengabari berarti mengizinkannya datang. Mengabari berarti memperkenalkan lelaki ini dengan putriku. Mengabari sama artinya dengan memberi kesempatan untuk mengenal lebih jauh.


            “Aku pamit, jaga kesehatan. Buku buku dongengnya sudah aku tata di lemari bacamu. Semoga sudah sesuai” 


Lelaki ini bangkit. Aku bersusah payah mengikuti geraknya. Melepaskan punggungnya untuk tenggelam di balik kemudi mobilnya yang tadi digunakan untuk mengantarku. Aku bahkan tak sempat bertanya dia akan langsung kembali bekerja atau menginap di mana.


Debu beterbangan dari bekas ban mobilnya, sosoknya lenyap di belokan. Pintu kembali ku tutup. Hati juga sama, kukunci rapat rapat seperti yang seharusnya.


-
Setiap perpisahan akan berjodoh dengan pertemuan. Hari ini Renjana melahirkanku untuk menjadi seorang ibu yang utuh. Tak bisa kugambarkan dengan jelas ketika rasa sakit, rasa penasaran, rasa marah, sisa sisa rasa dicampakkan, ataupun rasa ‘ingin semua ini segera terlewati’ berkumpul menjadi satu. Renjana harus diputus dengan selang nutrisinya, memisahkan tubuh kami berdua. 


Dia menangis, tangisan pertama. Susah payah aku melafalkan lirik adzan yang kupelajari berminggu minggu. Aku adalah ibunya, sekaligus ayahnya. Aku adalah penanggung jawab tubuhnya, juga jiwanya. 


Detik ini ketika ia kupeluk dengan segenap sisa sisa kekuatanku, aku teringat seorang lelaki yang menawarkan diri untuk dikabari. Satu satunya lelaki yang tak pernah meninggalkanku. Laki laki yang kemunculannya selalu tiba tiba dan tak terduga. Laki laki itu adalah satu satunya lelaki yang tak meminta tubuhku. Aku meminta pada diriku sendiri, untuk kali ini saja. Aku mengalah dengan ego, kulepaskan sedikit.


            “Suster, boleh minta tolong ambilakan ponsel saya?”


Gemetar, kuketik namanya di daftar kontak. Menyambungkan, jantungku berdegub. Aku takut dengan segala kemungkinan yang juga tidak bisa terduga.



            “Boleh kau adzani dia?” tanyaku pelan, aku perlu persetujuan. Renjana masih menangis. Masih berada dalam pelukanku yang sedang panik. Tanpa kata kata penolakan, suara adzan itu muncul. Merdu, menjalar dari bumi Papua melalui sambungan telepon mungil ini ke telinga anakku.


Aku menangis, tetapi Renjana perlahan menghentikan tangisnya. Hingga adzan selesai, dokter dan suster masih mengamati kami dengan penuh rasa haru. Tanpa banyak tuduhan yang mungkin saja mereka sembunyikan. Adzan berakhir, aku mengucapkan terimakasih. Telepon ditutup, Renjana kupeluk kembali.


            “Suaminya tugas di luar pulau ya Bu?”


Aku mengangguk, kebohongan yang senantiasa kuulang ulang.


Kini, mau tak mau aku harus mengenalkan Renjana dengannya. Laki laki pertama yang tak pernah memandangku sebelah mata.


-
Malang
10.41
Sunday 10 Feb 2019


Komentar

Postingan Populer