Lusy-The Writer Witch
“Aku
bukan hanya seorang penulis, tetapi aku juga seorang penyihir”
Badut
badut bermunculan. Hidung merah, wajah bercat putih, rambut ikal mengembang
seperti cendawan musim penghujan, juga perut mereka yang buncit. Kueratkan cengkeraman
tangan pada lengan lelaki di sampingku, tergidik ngeri. Sebuah terapi yang tidak pernah
kuinginkan dalam hidup. Tetapi aku harus sembuh, kehidupan selanjutnya akan
lebih menyeramkan dibandingkan menghadapi para badut ini.
Anak
anak bersorak. Mereka mengelilingi badut yang paling gendut. Si badut
mengeluarkan senjatanya. Ada mainan kecil kecil, pita, berbagai warna permen
dan makanan kecil lainnya. Tangan besar itu begitu terampil menggoda, anak anak
berebutan.
“Kalau
saja tidak ada kode etik untuk mempergunakan sihir di hadapan manusia biasa,
sudah sedari tadi kulempar badut badut itu ke tempat lain” aku bersungut
sungut. Masih saja tidak percaya jika harus menjalani ini semua hanya demi
sesuatu yang akan kuhadapi di masa yang akan datang.
“Kalaupun
tidak ada kode etik, kamu tetap tidak boleh menyihir mereka. Acara ulang tahun
anak anak tidak akan lengkap tanpa badut badut” kata lelaki di sampingku.
Aku
mendengus kesal. Siapa yang bisa menjamin anak anakku nanti akan merayakan
ulang tahun di rumah manusia non sihir? Bahkan aku berencana untuk membawanya
ke Grigon, di sana ada banyak varian hadiah yang murah murah. Tanpa teriakan
dan tawa anak anak non sihir yang norak.
“Ayo,
kamu harus belajar menyentuh mereka”
Aku
menggeleng. Tidak mau!! Badut adalah objek paling menyeramkan yang pernah
kulihat di dunia non sihir.
“Ayo,
kamu calon ibu yang hebat. Aku bantu” lelaki ini menuntunku. Orang orang
menatap kami berdua, menunggu apakah aku benar benar akan melepaskan
ketidakberanianku. Kututup kedua mataku, aku bahkan bisa mendengar napas para
badut itu dari jarak jauh. Mereka seperti akan menerkamku, melumat ketakutanku.
Dua langkah sebelum aku menyentuh hidung mereka, aku berteriak:
“Erus
Imperio!!”
Hening.
Suasana menjadi sunyi. Anak anak saling berpandangan, badut saling menatap.
Mereka masing masing melihat ke arah langit, memeriksa sekeliling dengan
segenap kemampuan mata mereka. Anak anak berhamburan mencari orang tuanya.
Badut badut saling bertubrukan mencari tempat bersembunyi.
Lelaki
yang menggandeng tanganku tadi menghela napas, berlahan meninggalkan taman
untuk menghindari banyak pertanyaan dari orang orang. Taman tiba tiba sepi,
orang orang kembali ke rumah masing masing dengan tubuh menggigil.
“Lusy!
Di mana kamu? Kamu mengagetkan orang orang non sihir. Bagaimana jika salah satu
dari mereka kenal denganku dan mengadu ke ibuku? Ah Lusy, kenapa kau begitu
susah diatur” lelaki itu merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel.
“Ah
sial!! Kementrian masih memblokade akses internet ke dunia sihir”
Dia
harus mengejar bus pukul dua, kembali ke rumahnya. Memastikan jika ibunya baik
baik saja tanpa kabar buruk tentangku.
-
“Lusy,
kau lagi” perempuan tua berkacamata itu menggeleng gelengkan kepalanya. Hatiku
langsung menciut, mungkin kali ini hukuman akan lebih berat. Tindakan bodohku
sudah terendus kementrian. Bukan termasuk pelanggaran berat, namun bisa menjadi
bencana jika para manusia non sihir yang menyaksikanku ‘lenyap tiba tiba’ berjumlah
lebih dari seratus orang.
“Tiga
puluh manusia non sihir, lokasi di taman tengah kota, enam di antaranya makhluk
asing berhidung merah, pukul tiga belas empat puluh enam menit...”
“Enam
di antaranya adalah badut, Nyonya Mier” kupotong kalimatnya untuk membenarkan.
Nyonya Mier melirikku, menurunkan letak kacamatanya.
“Badut
adalah manusia?”
“Tentu
saja Nyonya Mier” jawabku.
Nyonya
Mier beringsut dari kursi kerjanya. Mengambil pena dan buku di rak paling atas
dari kumpulan ‘kitab pelanggaran’. Beliau mencatat hal hal penting, memeriksa
undang undang dan meninjaunya kembali.
“Nona
Lusy, Anda tentunya sudah paham jika mengeluarkan mantra di depan manusia non
sihir adalah suatu larangan”
“Ya,
Nyonya Mier”
“Lalu
mengapa Anda masih melakukannya? Sudah dua kali dalam sebulan ini”
Kutelan
ludahku. Moron masing mengencangkan cengkeramannya di bahuku, takut jika aku
kabur sebelum putusan dijatuhkan.
“Saya
takut badut, Nyonya. Tapi saya mau sembuh”
Nyonya
Mier mengernyitkan keningnya. Mungkin dia berpikir jika jawabanku terlalu
konyol ataupun kurang sesuai. Ada banyak makhluk yang lebih menyeramkan dibanding
manusia dengan kostum konyol, berhidung merah, dan berperut buncit.
“Di
dunia sihir tidak ada badut, jadi apa alasanmu yang lain?”
Itu
adalah alasan, Nyonya. Rasanya aku ingin mengatakan hal itu. Namun bukan hal
mudah untuk menjelaskan bagaimana obsesi gilaku terhadap manusia non sihir,
keinginanku untuk menikahi kekasihku dan mimpi tentang anak anak yang lucu.
Kementrian tidak akan peduli.
“Saya
hanya terkejut saat badut itu menyentuh lengan saya”
Nyonya
Mier melirik Moron. Mengisyaratkan untuk menerima surat yang baru saja ia
selesaikan. Moron mengangguk, kembali pada posisinya di sampingku.
“Dengan
ini, Nona Lusy Eireen dinyatakan bersalah karena menggunakan mantera Imperio di
depan manusia non sihir. Hukuman yang harus dijalani Nona Lusy adalah...” Moron
menahan kalimatnya sejenak, mengambil napas. Jantungku berdegub, aku berharap
tak dimasukkan ke dalam kandang anjing raksasa di pegunungan Royen.
“Tidak
boleh menggunakan tongkat selama dua minggu, jika hal ini dilanggar maka untuk
selanjutnya tongkat akan disita selama lamanya” Moron menutup surat dalam
bentuk perkamen itu. Menyerahkan kembali pada Nyonya Mier dan kembali
mencengkeram lenganku hingga memerah.
“Tapi
Nyonya... bagaimana aku akan kembali ke Grigon jika tak menggunakan tongkat?”
aku mencoba mengambil lagkah negosiasi. Grigon adalah dunia sihir, orangtuaku
juga tingga di sana. Seluruh keluarga besarku tumbuh di sana. Tidak menggunakan
tongkat sihir berarti adalah aku tak bisa keluar masuk antara dunia nyata non
sihir (kami biasa menyebutnya dunia Mykuz) dengan Grigon. Setelah ini aku akan
dilempar ke Mykus, tetapi tak bisa mengunjungi orangtuaku di Grigon, tetapi
waktu dua minggu sangatlah lama.
“Anda
bisa masuk ke Grigon kembali ketika masa hukuman telah selesai” Nyonya Mier
duduk kembali di kursinya, membuka buku buku tebal yang lain. Dia terlihat
sudah tidak peduli denganku.
“Kementrian
akan segera menindak jika Anda ketahuan menggunakan tongkat dengan kepentingan
apapun di Mykuz. Termasuk untuk kebaikan. Grigon tidak akan menerima Anda
kembali, saya pastikan itu”
Nyonya
Mier kembali sibuk, mengangkat banyak telepon bersaut sautan. Aku digiring
Moron melewati pintu, tak ada lagi kesempatan untuk berbicara lebih dengan
Nonya Mier. Kami masuk ke dalam elevator, melesat cepat ke arah luar gedung
Kementrian. Moron masih memegangiku.
“Sesuai
dengan aturan, Anda akan dikirim ke Mykuz saat ini juga”
Aku
melepaskan tangannya dari lenganku dengan paksa. Moron mengacungkan tongkatnya.
Melafalkan mantera, membuatku menghilang dari hadapannya.
“Dasar
Moron!!” kutukku.
Setelah
ini aku akan menemui Joji, kekasihku. Akan kuceritakan semuanya.
-
“Hay
Lusy”
Aku
mengambil langkah mundur. Tetapi lelaki itu mengambil langkah maju,
menyeringai. Sesaat ia merapikan kemejanya, mengulurkan sebuket bunga mawar
warna merah ke arahku. Kuraih dengan hati hati, aku mengacungkan tongkat. Siap
melakukan apa saja jika lelaki ini menggangguku.
“Oh
tidak tidak, bukannya kau baru saja mendapat hukuman untuk tidak menggunakan tongkat
sihir?” katanya penuh kemenangan.
Dari
mana orang ini tahu? Apakah sekuat itu jaringannya di kementrian? Atau apakah
dia memang sudah membuktikan omongannya jika ia bekerja di kementrian?.
“Turunkan
Lusy, aku tak akan menyakitimu” katanya. Lelaki ini adalah Sona. Laki laki
paling menjengkelkan yang pernah kukenal. Dulunya kami adalah sepasang kekasih.
Tetapi kemudian aku memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan kami karena
suatu hal. Entah mengapa kini ia di hadapanku, kurasa dia memang masih
membuntutiku beberapa waktu belakangan ini.
“Empat
bulan berpisah ternyata tidak membuatmu tambah pintar ya Lusy, menggunakan
mantera Imperio di depan manusia non sihir bukanlah hal bijak. Waktu jam
pelajaran ‘etika dan metode sihir’ kau kemana saja?” laki laki itu menertawaiku.
Rambutnya yang kemilau ditimpa matahari pukul empat, memuakkan. Aku benci
padanya bahkan hingga ujung rambut!.
“Bukan
urusanmu” jawabku, bersiap untuk pergi. Kukembalikan buket bunganya yang sempat
membuatku terpana untuk sejenak.Sona tahu salah satu kelemahanku, aku suka bau mawar.
Aku
melangkah pergi, tetapi lelaki itu mengejar. Mendapatkan lenganku, memegangnya
lebih kencang daripada Moron.
“Aku
hanya ingin berbicara sebentar” katanya.
“Aku
tidak mau!”
“Beri
aku lima menit”
“Tidak!!”
Aku
bergegas pergi, namun kemudian terjatuh. Sebuah simbul menali kakiku. Sona
memantraiku.
'
“Baiklah
Lusy, mari kita sejenak berbicara”
Sungguh
aku sudah muak melihat tingkahnya. Laki laki itu mendekatiku, jarak kami
semakin kecil.
“Hey,
lepaskan dia”
Sontak
kami menoleh ke arah datangnya suara. Di ujung gang Joji menyeringai, berjalan
mendekat. Sona mengangkat tongkatnya.
“Jangan!!”
teriakku sebelum sebuah hentakan dari tongkat Sona mengenai tubuh Joji.
Aku
bangkit sebisaku, menendang kaki Sona.
“Kau
keterlaluan!! Dia bukan penyihir. Kau bisa kena pasal”
Siang
ini tidak banyak orang berlalu lalang. Namun hal itu tidak mengurangi rasa
khawatirku, bisa saja orang non sihir menyaksikan ini semua. Sebentar lagi
turun hujan, aku tahu Sona takkan bisa berlama lama.
“Lepaskan
dia dan bicara padaku!!”
Sona
akhirnya menurut. Ia melepaskan tali yang menjerat Joji. Joji mendekatiku,
berusaha melepaskan tali di kakiku namun itu sia sia.
“Hey
manusia non sihir, menyingkirlah darinya. Dia milikku saat ini” kata Sona. Perlahan
Joji kembali bangkit, siap mengamuk. Kutahan kakinya agar tak mendekati Sona.
Mereka bukan lawan yang imbang.
“Lepaskan
aku dan akan kuturuti apa kemauanmu!!”
Akhirnya
aku menyerah. Sona tertawa, melepaskanku kemudian meraih tangaku untuk menepi.
Joji hanya bisa menatapku, aku katakan jika semuanya akan baik baik saja.
“Dengar
Lusy, saat ini kau sedang tidak aman”
Kutatap
mata Sona, mencoba mencari celah kebohongan di sana. Tetapi sepertinya dia
telah bersungguh sungguh. Aku masih hafal bagaimana cara Sona berbicara, baik
jujur ataupun berbohong. Sekian tahun bersamanya bukan saja membuatku mengerti
luar dalam, lebih dari itu.
“Aku
datang ke sini, memberanikan diri menentang sebuah hukum yang sedang mengikatku
demi sebuah jaminan jika kamu sedang dalam keadaan baik baik saja”
“Maksudmu?”
Sona
menunjukkan telapak tangannya. Sebuah ukiran naga terpampang di sana. Berwarna
merah menyala, bermata kuning terang. Naga itu mengeliat, Sona mengaduh.
“Kau
anggota Nadelion?’
Sona
mengangguk.
Aku
tak bisa menahan rasa terkejut saat Sona mengatakan dia telah resmi menjadi
anggota Nadelion, sebuah persekutuan manusia sihir yang bertugas menjaga
perbatasan Mykuz dan Grigon. Seorang Nadelion diharuskan untuk membuat tatto
tanda setia di telapak tanganya. Nyawanya telah digadaikan demi melindungi
Grigon, dunia sihir. Orang orang penghuni Mykuz dilarang masuk ke Grigon.
Bagaimana pun caranya, Nadelion harus menjaga agar Grigon tidak tercium oleh
manusia non sihir.
“Lusy,
saat ini ‘mereka yang terpilih’ sedang berusaha untuk mencarimu. Aku tidak bisa
melihat dengan jelas apa yang mereka rencanakan. Aku hanya mendengar kabar itu
setelah aku bergabung menjadi anggota Nadelion. Bisa jad, orang orang itu sudah
mengetahui jati dirimu. Tetapi aku bersumpah, aku takkan mengatakan apa apa
pada mereka”
Sona
menghela napas, melirik sejenak ke arah Joji yang menungguku.
“Sayang
sekali Lusy, pihak kementrian masih menyangka jika sebenarnya keadaan masih
baik baik saja sehingga ia menyita tongkatmu”
Sona
menyodorkan bucket bunganya.
“Sebetulnya
mereka tidak menyitanya, aku hanya dilarang menggunakannya selama dua minggu”
aku meralat. Sona mendesah.
“Ambil
bucket ini, di dalamnya ada tongkat untukmu. Semoga berguna”
Kutarik
sebuah tongkat kecil dari dalam bucket, transparan. Kurasa di dalamnya
mengandung air liur naga. Panjangnya kurang dari tiga puluh senti, ringan.
Kuayun ayunkan sejenak, percikan perak muncul kemudian.
“Ketika
kau menggunakannya, siapapun tidak akan bisa melihatnya. Pergunakan dengan
baik”
“Kau
dapat dari mana?”
“Seseorang
menjualnya ketika aku berjalan jalan ke Sudan, tahun lalu. Dia orang non sihir
yang tiba tiba mencolekku, tahu jika aku adalah penyihir”
Sona
merapikan setelan mantelnya. Kurasa hujan sebentar lagi akan turun. Dia harus
segera kembali ke Grigon. Kami berjalan mendekati Joji, Sona menyentakkan
tongkatnya. Dia menghilang, Joji hilang ingatan.
“Sayang,
kau baik baik saja?” tanyanya padaku.
Aku
mengangguk. Aku belum bisa menanyai dia apa apa, termasuk mengapa tiba tiba dia
bisa datang di tempat ini.
-
to be continued.
gambar diambil dar: We Heart it
to be continued.
gambar diambil dar: We Heart it
Komentar
Posting Komentar