Lusy-The Writer Witch




Part 1. Sebuah Kabar


“Aku bukan hanya seorang penulis, tetapi aku juga seorang penyihir”


Badut badut bermunculan. Hidung merah, wajah bercat putih, rambut ikal mengembang seperti cendawan musim penghujan, juga perut mereka yang buncit. Kueratkan cengkeraman tangan pada lengan lelaki  di sampingku, tergidik ngeri. Sebuah terapi yang tidak pernah kuinginkan dalam hidup. Tetapi aku harus sembuh, kehidupan selanjutnya akan lebih menyeramkan dibandingkan menghadapi para badut  ini.


Anak anak bersorak. Mereka mengelilingi badut yang paling gendut. Si badut mengeluarkan senjatanya. Ada mainan kecil kecil, pita, berbagai warna permen dan makanan kecil lainnya. Tangan besar itu begitu terampil menggoda, anak anak berebutan. 


“Kalau saja tidak ada kode etik untuk mempergunakan sihir di hadapan manusia biasa, sudah sedari tadi kulempar badut badut itu ke tempat lain” aku bersungut sungut. Masih saja tidak percaya jika harus menjalani ini semua hanya demi sesuatu yang akan kuhadapi di masa yang akan datang.


“Kalaupun tidak ada kode etik, kamu tetap tidak boleh menyihir mereka. Acara ulang tahun anak anak tidak akan lengkap tanpa badut badut” kata lelaki di sampingku. 


Aku mendengus kesal. Siapa yang bisa menjamin anak anakku nanti akan merayakan ulang tahun di rumah manusia non sihir? Bahkan aku berencana untuk membawanya ke Grigon, di sana ada banyak varian hadiah yang murah murah. Tanpa teriakan dan tawa anak anak non sihir yang norak.

“Ayo, kamu harus belajar menyentuh mereka” 


Aku menggeleng. Tidak mau!! Badut adalah objek paling menyeramkan yang pernah kulihat di dunia non sihir. 

“Ayo, kamu calon ibu yang hebat. Aku bantu” lelaki ini menuntunku. Orang orang menatap kami berdua, menunggu apakah aku benar benar akan melepaskan ketidakberanianku. Kututup kedua mataku, aku bahkan bisa mendengar napas para badut itu dari jarak jauh. Mereka seperti akan menerkamku, melumat ketakutanku. Dua langkah sebelum aku menyentuh hidung mereka, aku berteriak:



“Erus Imperio!!”


Hening. Suasana menjadi sunyi. Anak anak saling berpandangan, badut saling menatap. Mereka masing masing melihat ke arah langit, memeriksa sekeliling dengan segenap kemampuan mata mereka. Anak anak berhamburan mencari orang tuanya. Badut badut saling bertubrukan mencari tempat bersembunyi.


Lelaki yang menggandeng tanganku tadi menghela napas, berlahan meninggalkan taman untuk menghindari banyak pertanyaan dari orang orang. Taman tiba tiba sepi, orang orang kembali ke rumah masing masing dengan tubuh menggigil. 


“Lusy! Di mana kamu? Kamu mengagetkan orang orang non sihir. Bagaimana jika salah satu dari mereka kenal denganku dan mengadu ke ibuku? Ah Lusy, kenapa kau begitu susah diatur” lelaki itu merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel.


“Ah sial!! Kementrian masih memblokade akses internet ke dunia sihir”

Dia harus mengejar bus pukul dua, kembali ke rumahnya. Memastikan jika ibunya baik baik saja tanpa kabar buruk tentangku. 


-

“Lusy, kau lagi” perempuan tua berkacamata itu menggeleng gelengkan kepalanya. Hatiku langsung menciut, mungkin kali ini hukuman akan lebih berat. Tindakan bodohku sudah terendus kementrian. Bukan termasuk pelanggaran berat, namun bisa menjadi bencana jika para manusia non sihir yang menyaksikanku ‘lenyap tiba tiba’ berjumlah lebih dari seratus orang.


“Tiga puluh manusia non sihir, lokasi di taman tengah kota, enam di antaranya makhluk asing berhidung merah, pukul tiga belas empat puluh enam menit...”


“Enam di antaranya adalah badut, Nyonya Mier” kupotong kalimatnya untuk membenarkan. Nyonya Mier melirikku, menurunkan letak kacamatanya.


“Badut adalah manusia?”

“Tentu saja Nyonya Mier” jawabku.

Nyonya Mier beringsut dari kursi kerjanya. Mengambil pena dan buku di rak paling atas dari kumpulan ‘kitab pelanggaran’. Beliau mencatat hal hal penting, memeriksa undang undang dan meninjaunya kembali.

“Nona Lusy, Anda tentunya sudah paham jika mengeluarkan mantra di depan manusia non sihir adalah suatu larangan”

“Ya, Nyonya Mier”

“Lalu mengapa Anda masih melakukannya? Sudah dua kali dalam sebulan ini”

Kutelan ludahku. Moron masing mengencangkan cengkeramannya di bahuku, takut jika aku kabur sebelum putusan dijatuhkan.


“Saya takut badut, Nyonya. Tapi saya mau sembuh”

Nyonya Mier mengernyitkan keningnya. Mungkin dia berpikir jika jawabanku terlalu konyol ataupun kurang sesuai. Ada banyak makhluk yang lebih menyeramkan dibanding manusia dengan kostum konyol, berhidung merah, dan berperut buncit.

“Di dunia sihir tidak ada badut, jadi apa alasanmu yang lain?”

Itu adalah alasan, Nyonya. Rasanya aku ingin mengatakan hal itu. Namun bukan hal mudah untuk menjelaskan bagaimana obsesi gilaku terhadap manusia non sihir, keinginanku untuk menikahi kekasihku dan mimpi tentang anak anak yang lucu. Kementrian tidak akan peduli.


“Saya hanya terkejut saat badut itu menyentuh lengan saya”

Nyonya Mier melirik Moron. Mengisyaratkan untuk menerima surat yang baru saja ia selesaikan. Moron mengangguk, kembali pada posisinya di sampingku.


“Dengan ini, Nona Lusy Eireen dinyatakan bersalah karena menggunakan mantera Imperio di depan manusia non sihir. Hukuman yang harus dijalani Nona Lusy adalah...” Moron menahan kalimatnya sejenak, mengambil napas. Jantungku berdegub, aku berharap tak dimasukkan ke dalam kandang anjing raksasa di pegunungan Royen.


“Tidak boleh menggunakan tongkat selama dua minggu, jika hal ini dilanggar maka untuk selanjutnya tongkat akan disita selama lamanya” Moron menutup surat dalam bentuk perkamen itu. Menyerahkan kembali pada Nyonya Mier dan kembali mencengkeram lenganku hingga memerah.


“Tapi Nyonya... bagaimana aku akan kembali ke Grigon jika tak menggunakan tongkat?” aku mencoba mengambil lagkah negosiasi. Grigon adalah dunia sihir, orangtuaku juga tingga di sana. Seluruh keluarga besarku tumbuh di sana. Tidak menggunakan tongkat sihir berarti adalah aku tak bisa keluar masuk antara dunia nyata non sihir (kami biasa menyebutnya dunia Mykuz) dengan Grigon. Setelah ini aku akan dilempar ke Mykus, tetapi tak bisa mengunjungi orangtuaku di Grigon, tetapi waktu dua minggu sangatlah lama.


“Anda bisa masuk ke Grigon kembali ketika masa hukuman telah selesai” Nyonya Mier duduk kembali di kursinya, membuka buku buku tebal yang lain. Dia terlihat sudah tidak peduli denganku.


“Kementrian akan segera menindak jika Anda ketahuan menggunakan tongkat dengan kepentingan apapun di Mykuz. Termasuk untuk kebaikan. Grigon tidak akan menerima Anda kembali, saya pastikan itu”


Nyonya Mier kembali sibuk, mengangkat banyak telepon bersaut sautan. Aku digiring Moron melewati pintu, tak ada lagi kesempatan untuk berbicara lebih dengan Nonya Mier. Kami masuk ke dalam elevator, melesat cepat ke arah luar gedung Kementrian. Moron masih memegangiku.


“Sesuai dengan aturan, Anda akan dikirim ke Mykuz saat ini juga”


Aku melepaskan tangannya dari lenganku dengan paksa. Moron mengacungkan tongkatnya. Melafalkan mantera, membuatku menghilang dari hadapannya.


“Dasar Moron!!” kutukku.


Setelah ini aku akan menemui Joji, kekasihku. Akan kuceritakan semuanya. 


-

“Hay Lusy”

Aku mengambil langkah mundur. Tetapi lelaki itu mengambil langkah maju, menyeringai. Sesaat ia merapikan kemejanya, mengulurkan sebuket bunga mawar warna merah ke arahku. Kuraih dengan hati hati, aku mengacungkan tongkat. Siap melakukan apa saja jika lelaki ini menggangguku.


“Oh tidak tidak, bukannya kau baru saja mendapat hukuman untuk tidak menggunakan tongkat sihir?” katanya penuh kemenangan. 


Dari mana orang ini tahu? Apakah sekuat itu jaringannya di kementrian? Atau apakah dia memang sudah membuktikan omongannya jika ia bekerja di kementrian?.




“Turunkan Lusy, aku tak akan menyakitimu” katanya. Lelaki ini adalah Sona. Laki laki paling menjengkelkan yang pernah kukenal. Dulunya kami adalah sepasang kekasih. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan kami karena suatu hal. Entah mengapa kini ia di hadapanku, kurasa dia memang masih membuntutiku beberapa waktu belakangan ini.




“Empat bulan berpisah ternyata tidak membuatmu tambah pintar ya Lusy, menggunakan mantera Imperio di depan manusia non sihir bukanlah hal bijak. Waktu jam pelajaran ‘etika dan metode sihir’ kau kemana saja?” laki laki itu menertawaiku. Rambutnya yang kemilau ditimpa matahari pukul empat, memuakkan. Aku benci padanya bahkan hingga ujung rambut!.



“Bukan urusanmu” jawabku, bersiap untuk pergi. Kukembalikan buket bunganya yang sempat membuatku terpana untuk sejenak.Sona tahu salah satu kelemahanku, aku suka bau mawar.


Aku melangkah pergi, tetapi lelaki itu mengejar. Mendapatkan lenganku, memegangnya lebih kencang daripada Moron.

“Aku hanya ingin berbicara sebentar” katanya.

“Aku tidak mau!”

“Beri aku lima menit”

“Tidak!!”

Aku bergegas pergi, namun kemudian terjatuh. Sebuah simbul menali kakiku. Sona memantraiku.
'
“Baiklah Lusy, mari kita sejenak berbicara”


Sungguh aku sudah muak melihat tingkahnya. Laki laki itu mendekatiku, jarak kami semakin kecil.

“Hey, lepaskan dia”

Sontak kami menoleh ke arah datangnya suara. Di ujung gang Joji menyeringai, berjalan mendekat. Sona mengangkat tongkatnya.

“Jangan!!” teriakku sebelum sebuah hentakan dari tongkat Sona mengenai tubuh Joji. 


Aku bangkit sebisaku, menendang kaki Sona. 


“Kau keterlaluan!! Dia bukan penyihir. Kau bisa kena pasal”


Siang ini tidak banyak orang berlalu lalang. Namun hal itu tidak mengurangi rasa khawatirku, bisa saja orang non sihir menyaksikan ini semua. Sebentar lagi turun hujan, aku tahu Sona takkan bisa berlama lama. 


“Lepaskan dia dan  bicara padaku!!”


Sona akhirnya menurut. Ia melepaskan tali yang menjerat Joji. Joji mendekatiku, berusaha melepaskan tali di kakiku namun itu sia sia.


“Hey manusia non sihir, menyingkirlah darinya. Dia milikku saat ini” kata Sona. Perlahan Joji kembali bangkit, siap mengamuk. Kutahan kakinya agar tak mendekati Sona. Mereka bukan lawan yang imbang.


“Lepaskan aku dan akan kuturuti apa kemauanmu!!”


Akhirnya aku menyerah. Sona tertawa, melepaskanku kemudian meraih tangaku untuk menepi. Joji hanya bisa menatapku, aku katakan jika semuanya akan baik baik saja.

“Dengar Lusy, saat ini kau sedang tidak aman”


Kutatap mata Sona, mencoba mencari celah kebohongan di sana. Tetapi sepertinya dia telah bersungguh sungguh. Aku masih hafal bagaimana cara Sona berbicara, baik jujur ataupun berbohong. Sekian tahun bersamanya bukan saja membuatku mengerti luar dalam, lebih dari itu.


“Aku datang ke sini, memberanikan diri menentang sebuah hukum yang sedang mengikatku demi sebuah jaminan jika kamu sedang dalam keadaan baik baik saja”


“Maksudmu?”


Sona menunjukkan telapak tangannya. Sebuah ukiran naga terpampang di sana. Berwarna merah menyala, bermata kuning terang. Naga itu mengeliat, Sona mengaduh.

“Kau anggota Nadelion?’

Sona mengangguk.


Aku tak bisa menahan rasa terkejut saat Sona mengatakan dia telah resmi menjadi anggota Nadelion, sebuah persekutuan manusia sihir yang bertugas menjaga perbatasan Mykuz dan Grigon. Seorang Nadelion diharuskan untuk membuat tatto tanda setia di telapak tanganya. Nyawanya telah digadaikan demi melindungi Grigon, dunia sihir. Orang orang penghuni Mykuz dilarang masuk ke Grigon. Bagaimana pun caranya, Nadelion harus menjaga agar Grigon tidak tercium oleh manusia non sihir.


“Lusy, saat ini ‘mereka yang terpilih’ sedang berusaha untuk mencarimu. Aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang mereka rencanakan. Aku hanya mendengar kabar itu setelah aku bergabung menjadi anggota Nadelion. Bisa jad, orang orang itu sudah mengetahui jati dirimu. Tetapi aku bersumpah, aku takkan mengatakan apa apa pada mereka”


Sona menghela napas, melirik sejenak ke arah Joji yang menungguku. 


“Sayang sekali Lusy, pihak kementrian masih menyangka jika sebenarnya keadaan masih baik baik saja sehingga ia menyita tongkatmu”


Sona menyodorkan bucket bunganya.


“Sebetulnya mereka tidak menyitanya, aku hanya dilarang menggunakannya selama dua minggu” aku meralat. Sona mendesah.


“Ambil bucket ini, di dalamnya ada tongkat untukmu. Semoga berguna”


Kutarik sebuah tongkat kecil dari dalam bucket, transparan. Kurasa di dalamnya mengandung air liur naga. Panjangnya kurang dari tiga puluh senti, ringan. Kuayun ayunkan sejenak, percikan perak muncul kemudian.


“Ketika kau menggunakannya, siapapun tidak akan bisa melihatnya. Pergunakan dengan baik”


“Kau dapat dari mana?”

“Seseorang menjualnya ketika aku berjalan jalan ke Sudan, tahun lalu. Dia orang non sihir yang tiba tiba mencolekku, tahu jika aku adalah penyihir”


Sona merapikan setelan mantelnya. Kurasa hujan sebentar lagi akan turun. Dia harus segera kembali ke Grigon. Kami berjalan mendekati Joji, Sona menyentakkan tongkatnya. Dia menghilang, Joji hilang ingatan.


“Sayang, kau baik baik saja?” tanyanya padaku.


Aku mengangguk. Aku belum bisa menanyai dia apa apa, termasuk mengapa tiba tiba dia bisa datang di tempat ini. 


-
to be continued. 
gambar diambil dar: We Heart it

Komentar

Postingan Populer