Dua Puluh Dua Menit
Malam
ini aku memesan dua buah kursi di sebuah restoran makan malam. Dua gelas piala
dan sebotol anggur bertengger di atas meja. Aku menunggu kedatanganmu dengan
harap harap cemas. Saat ini masih tanggal dua belas dalam penanggalan jawa,
belum sepenuhnya purnama. Tetapi kamu berkenan hadir, suatu kehormatan yang
langka.
Pukul
delapan kurang seperempat, kau datang. Membawa aroma Alain Delon ke meja,
membuangku ke masa lalu. Kau duduk, membuatku gugub setengah mati. Aku meminta
pelayan untuk menuangkan anggur lalu kembali berkonsentrasi dengan mata
coklatmu.
Tak
ada sekotak hadiah yang manis, tak ada bunga mawar dari florist. Perjalananmu sudah cukup berat hingga bisa sampai di sini.
Tak ada pelukan, tak ada kecupan di dahi. Tak ada jabat tangan, kamu sudah
lebih dari cukup.
“Kamu apa kabar?” tanyaku hati hati.
Sebenarnya
aku tak butuh jawaban. Aku yakin kau baik baik saja tanpaku. Masih dengan
postur tubuh yang sama dengan terakhir kali kita bertemu.
“Sudah lama ya kita tidak makan
berdua” kataku, basa basi.
Kulirik
beberapa manusia yang bersiap menjamu tamu dengan hidangan musiknya. Biola,
bass dan segala perangkat lainnya ditata sedemikian rupa. Aku tersenyum, sebuah
malam yang sempurna.
“Semenjak kamu pergi, aku baik baik saja. Tetapi tak
dapat kupungkiri jika ada bagian yang hilang” kataku, menyicil kelegaan yang
sudah berada di ujung urat leher. Aku berusaha meyakinkan jika duniaku masih
berputar pada porosnya. Meski aku sudah tak punya galaksi yang serupa dengan
ketika kamu masih ada.
“Aku seperti kehilangan seseorang yang setia, setia
membaca tulisanku tanpa diminta. Aku seperti kehilangan seseorang yang biasa
memeluk anak anakku, tulisanku. Aku kehilangan seseorang yang bersedia menemani
mulutku berbicara apa saja pada pukul tiga pagi. Kamu tahu bagaimana rasanya?”
Kuhela
napas berat. Udara malam berhembus pelan, menyapu riasan di pipiku.
“Aku tahu kau tak ingin salah
memilih”
“Tetapi tak bisakah kau sedikit
melihat usahaku? Sebuah usaha untuk menjadi seimbang denganmu? Tak bisakah kau
merasakan betapa aku berusaha mencari sebanyak banyaknya bahan untuk kita
perbincangkan? Tentang duniamu, tentang apa yang kamu tahu, tak bisakah kamu
mengindera betapa aku harus berlari untuk mengejar apa yang kau ketahui.
Sekalipun aku tak terlalu butuh itu”
“Aku tahu kau ingin perempuan yang
cantik”
“Tapi tak bisakah kamu sedikit
melihat apa yang tersembunyi dalam jiwaku? Bagaimana caraku untuk memolesnya
habis habisan agar menjadi pas di matamu?”
Cantik,
suatu hal yang mustahil kuraih. Aku sudah merasa cukup dengan paras yang Tuhan
amanahkan. Tidak bisa kurubah, aku menyerah untuk hal ini.
“Aku tahu, kau ingin perempuan yang
baik”
“Dan mungkin, aku kurang dalam hal
itu. Mungkin memang kebaikan tidak selalu berbanding lurus dengan rasa suka”
Kuteguk
kasar gelas anggur di depanku, nyaris tandas dalam satu hentakan.
“Aku tahu kau tak benar benar
mencintaiku”
Alunan
musik jazz menyapa telinga. Menyambar setiap air mata yang kukucurkan lebih
dari tiga menit yang lalu.
“Maaf, aku terlalu banyak bicara.
Aku harap kau selalu bahagia, dengan perempuan yang kau suka”
Tandas,
gelas pialaku kembali kuisi sendiri dengan anggur yang baru.
“Kamu harus ingat, hanya aku yang
tak pernah berusaha pergi. Kau sedang mengetuk pintu yang baru, tetapi aku
adalah rumah lama yang kau tinggalkan. Aku selalu menunggumu pulang. Ada sup
hangat, ada perapian dan sepasang selimut yang kusiapkan untuk kedatanganmu”
Kuusap
air mataku. Menatap lelaki ini dengan harapan ‘ini bukan yang terakhir’.
Makan
malam dimulai. Ada kelegaan yang menyusup tenang.
Aku
makan sendirian, kursi di depanku tetaplah kosong.
Terimakasih,
telah mengirimkan bayanganmu selama dua puluh dua menit. Terimakasih telah
mengizinkan bayanganmu menemaniku menangis dan mengatakan semua yang ada di
kepala.
Kamu,
tidak akan lagi kembali dalam wujud yang sama.
Tetapi,
aku masih kuat menunggumu berlama lama.
-
Malang
Sunday
13.57
17
Feb 2019
Gambar
diambil dari: https://www.pinterest.co.kr/pin/734790495429701052/
Komentar
Posting Komentar