Sarah



“Aku ingin melukis di punggungmu” katanya, napasnya tersengal. Kata kata yang baru saja meluncur mirip sebuah keluhan. Atau bisa kuterka jika ini adalah sebuah kata rindu dengan bentuk yang lain.

Perempuan ini bernama Sarah. Saat ini sedang tidur di sampingku. Kuncir rambutnya warna ungu tua, tergeletak di samping sebuah guling yang kami jadikan alas kepala. Rambutnya yang panjang tergerai, kadang kadang tanpa sengaja menyentuh hidungku. Harum bunga kenanga, kurasa.


            “Aku ingin melukis di punggungmu” katanya untuk kedua kali. Entah, kali ini lebih mirip sebuah permintaan. Aku tak terlalu yakin apakah punggungku cukup untuk menyalurkan keindahan dari jemari magisnya. 


Sarah mengeliat, mengambil kacamatanya. Bangkit dari ranjang kemudian berdiri di samping jendela. Tidak ada yang lebih mendebarkan daripada melihatnya menguncir rambut, menyaksikannya merenung menikmati salju bulan Desember yang sedang deras derasnya. Sarah selalu berhasil membuatku berdecak kagum walaupun dia hanya sekedar menghela napas.


Praha tidak pernah sedingin ini. Lima belas derajat celcius, bahkan pernah lebih rendah daripada itu. Tetapi apa yang harus disesali dari sebuah karunia hawa dingin? Bagiku kehadiran Sarah sudah cukup. Perempuan yang tak pernah menyelesaikan masakannya dengan baik namun mampu membuatkan secangkir coklat panas, dua tiga detik senyum memikat, juga pelukan yang tidak ada putus putusnya.


Sarah adalah perempuan yang masuk ke dalam mimpiku beberapa tahun silam. Dua bola matanya adalah masa depanku di tahun tahun selanjutnya. Tidak ada yang lebih menenangkan dari mendengarnya berbicara, melihatnya merawat hunian kecil kami, dan juga menikmati karya karyanya yang dulu hanya bisa kubaca lewat media. Sarah masuk ke dalam hidupku, aku memasuki hidupnya. Semuanya terlihat sangat seimbang hingga pada suatu hari yang dingin aku harus menerima kenyataan bahwa aku mungkin saja akan meninggalkan Sarah.


            “Aku hamil” bisiknya malam tadi. Sebuah ketakutan yang sejak setahun belakangan mengejar ngejarku. Aku laki laki yang merdeka, bahkan jauh sebelum mengenal Sarah. Aku laki laki yang mengutamakan kepentingan karir dibandingkan segalanya. Sedangkan untuk menuju ke jenjang yang jauh lebih serius dari ini, aku belum sap mengorbankan segalanya.


            “Kamu yakin?” jawabku, masih mengelus pundaknya yang telanjang. Dia mengangguk, berhenti menghadapi mataku dan menatap langit langit kamar yang belum kuganti catnya. Sejak kami memutuskan untuk tinggal satu atap di Ceko, aku sudah merencanakan untuk sedikit mengubah dekorasi rumah menjadi lebih artistik. Tetapi kesibukan masih menghantam, langit langit kamar masih berwarna biru cangkang telur asin seperti sejak pertama kali kami membelinya.


            “Ya, tentu saja. Sudah berusia lima hingga enam minggu”


Kami saling membisu. Tenggelam dalam pikiran masing masing. Bagiku sebuah pernikahan adalah keputusan yang besar. Sarah memang perempuan kesekian yang mampu merebut hatiku. Namun satu satunya yang kuingin mengurus rumah, menjaga koleksi gundamku dan satu satunya kuizinkan melihat seluruh isi folder komputerku. Tetapi sebuah pernikahan adalah acara sakral dan tidak hanya sekedar kepentingan tinggal bersama. 


Sarah mungkin adalah perempuan yang isa mengubahku menjadi lebih baik. Sarah mungkin bisa lebih kudengarkan dibandingkan nasihat ibuku tentang pentingnya menghindari rokok, anggur ataupun hisapan opium. Sarah mungkin bisa menyihirku menjadi lelaki yang lebih romantis. Tetapi untuk mengambil jalan menikah, apakah aku bisa seyakin itu?.


            “Kamu masih ingat kan komitmen yang kita bangun?” tanyaku, masih meremas jemarinya yang dingin. Sarah mengangguk. Dalam gelap aku tahu diam diam ia meneteskan air mata. Sesuatu yang sangat kubenci.


Kami sepakat untuk menghindari ‘kecelakaan’. Aku menyiapkan dengan sebaik baiknya apa apa yang mencegah kami dapat memiliki seorang bayi. Aku rasa ini karena Sarah lupa meminum resep. Tetapi aku tak bisa menebak apakah ia menyengaja atau tidak.


Tiba tiba Sarah melepaskan genggaman tanganku. Memiringkan tubuhnya hingga aku hanya bisa melihat punggungnya yang bersih. Dia terisak.


            “Kalau kamu tidak menginginkan ini, aku akan mengurusnya sendiri. Aku bisa secepatnya pulang ke Indonesia. Ada ayah ibuku di sana. Jangan khawatirkan aku”


Kuhela napas berat. Menggapai tubuh Sarah. Menenggelamkannya dalam pelukanku meski ia menolak. Aku belum siap kehilangan perempuan ini. Tatanan semestaku bisa buyar dengan kepergiannya.


            “Aku akan pikirkan baik baik, Sayang. Tidak ada yang perlu dikorbankan untuk ini. Kita akan tetap bersama” kataku menenangkannya. Tentu bukan berarti aku secara sukarela menerima seseorang di antara aku dan Sarah. Tidak akan sesederhana itu.


Malam itu kami tertidur dan kembali bangun seperti malam malam selanjutnya. Sarah kembali menatapi jendela yang basah oleh air es. Masih tidak ingin berbicara denganku.


Kudekati tubuhnya, memeluk dari arah belakang. Kukecup tengkuknya dengan hati hati. Leher Sarah adalah tempat terbaik untuk mendaratkan ciuman selain di bibirnya. Leher Sarah adalah tempat terbaikku untuk melarikan diri dari amukan dunia dan segala amukan di dalamnya.


            “Hari minggu nanti kita ke Cezky Krumlov ya?” ajakku. Aku tahu Sarah sangat mengagumi kastil kastil di Ceko. Meskipun mungkin ini adalah kali ketiga kami ke sana.


Sarah mengangguk. Membalikkan tubuhnya dan memelukku. 

            “Mari kita bicara. Aku tak ingin berlama lama di sini jika memang kita harus selesai” katanya pelan. Lagi lagi menahan air matanya.

            “Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkan sejenak? Aku tidak ingin tiba tiba meledak. Tinggallah sebentar, kita akan cari jalan keluar”


Jalan keluar, mungkin semacam ‘menghilangkan’ nyawa kecil itu dari tubuh Sarah. Aku belum siap untuk berbagi kasih dengan siapapun. Sarah hanya untukku, tidak ada yang boleh merebutnya, bahkan satu molekul saja.


            “Mari kita nikmati masa masa bersama lebih lama, Sarah. Aku tidak ingin kehilangan satu pun hal yang telah kucapai. Apalagi pencapaian terbesarku, kamu” kataku lagi.


Di tengah dinginnya pagi Kota Praha, aku masih bisa memeluk Sarah. Pagiku masih berjalan normal, namun tidak dengan isi kepalaku. Masih saja aku belum siap dengan bayangan popok, gantungan mainan, kereta bayi atau tangisan di tengah malam. Aku belum siap untuk membagi Sarah dengan makhluk dalam bentuk apapun.


Sarah hanya milikku, titik.

-
            “Bisa saja, namun dengan sedikit resiko”


Aku terdiam. Membayangkan keringat di dahi Sarah jika ia benar benar bisa kubujuk. Lalu darah yang mengalir di rok pendeknya. Berbagai bayangan menabrak kepalaku. Buru buru aku keluar ruangan setelah mengucapkan terimakasih.


Bagaimana jika aku tak hanya menghilangkan makhluk di perutnya? Bagaimana jika aku ikut kehilangan kekasihku? Apa yang akan kukatakan pada semestaku jika Sarah kemudian menghilang karena ulahku? Tetapi bukankah hidup memang penuh dengan terkaan dan tekanan ketakutan? Bukankah memang harus ada yang dikorbankan untuk mendapatkan apa yang kita mau?.


Lalu jika aku tak lakukan hal ini, kira kira seperti apa wajah makhluk itu? Akankah serupa denganku? Atau sama cantiknya dengan Sarah? Akankah ia sama sama memiliki lesung pipit sebelah seperti yang kupunyai? Atau ia akan bermata sipit seperti mata indah Sarah? Atau ia akan keras kepala sepertiku?.


Kepalaku berputar, kurasa aku membutuhkan sedikit kehangatan wine dan juga sebatang rokok. Kularikan mobilku ke sebuah bar, menggapai banyak jenis anggur dan menegaknya dengan kasar.
Persetan dengan nasihat Sarah, aku ingin meringankan beban di kepala.


-
            Semalam adalah kali terakhir aku bisa melukis di punggungmu, terimakasih. Aku pamit

Tidak ada pelukan selamat datang ke rumah. Tak ada kecupan di bibir seperti biasa aku pulang kerja. Tak ada tanda tanda Sarah ada di rumah. Barang barangnya raib, pakaiannya tak tersisa. Hanya ada sebuah memo di atas meja makan dan hidangan lengkap makan malam yang terlihat belum tersentuh.

            Selamat hari jadi yang ketiga. Aku menyayangimu’


Duniaku terasa berbalik cepat. Aku kehilangan kedua duanya. Pesta yang sempat kubayangkan lima menit yang lalu berangsur menghilang. Tidak ada satu malam lagi yang disisakan untukku demi sebuah kesempatan mencium perut Sarah dan isi di dalamnya.


Delapan panggilan lewat telepon genggam kulayangkan, tidak ada jawaban. Di luar masih hujan salju. Sarah dan kaki jenjangnya pasti sedang kedinginan. Diam diam aku menyesali keputusanku yang terkesan sepihak. Baru kusadari betapa tidak adilnya jika aku bertindak semauku hanya karena sebuah nyawa yang bersarang di tubuh Sarah.


Kenapa bayi bayi harus hadir di antara dua orang yang sedang mesra mesranya menikmati rasa cinta? Mengapa Tuhan harus menciptakan mereka tanpa meminta izin terlebih dahulu pada calon ibu bapaknya? Apa dikira semua orang dewasa bisa menerima logika ‘mengurus anak’ di tengah himpitan aktivitas dan ambisi ambisi besar sebagai seorang manusia?.


Atau memang hanya aku yang belum siap mengindera aroma bedak bayi setiap pagi? Juga mungkin pemandangan Sarah yang indah akan berubah menjadi Sarah yang berdaster dengan rambut pirangnya yang acak acakan karena tidak sempat lagi mendatangi hairstylish? Belum lagi serangkaian acara pernikahan yang akan menyita banyak waktu dan tenaga. Semua bayangan ketakutan seperti mendatangiku satu per satu. Singkatnya, aku belum siap.


Dan ketidaksiapan itu menjadikanku kehilangan Sarah.


Padahal, bukankah hidup akan tetap baik baik saja selama masih ada Sarah? Seseorang yang kucintai luar dalamnya?.


-
Malang
06.12
23 March 2019



           





Komentar

Postingan Populer