H-30 Pernikahan
Sore
ini aku pulang kerja disambut dengan sakit kepala yang teramat hebat setelah
sebuah kertas merah marun kutemukan di atas meja. Terdapat foto dua orang yang
sedang tersenyum sumringah. Si lelaki tampak gagah dengan setelan jas warna
hitam legam, berdasi kupu kupu. Di sampingnya berdiri seseorang perempuan
bergaun biru muda yang tampak anggun. Mereka saling memeluk dengan gaya yang
sangat elegan, khas pose orang orang urban ketika sedang dibidik kamera.
Aku
kenal satu di antara mereka. Si lelaki berkulit coklat itu. Tiga tahun lalu
kami masih sering membohongi orang tua demi bisa diizinkan pergi berdua.
Sebenarnya tidak ada hal yang benar benar istimewa selain sebuah kotak makan
siang berisi mi instan goreng yang pernah kubuatkan untuknya. Tidak ada cerita
mengenai obrolan tengah malam, ataupun jalan jalan di tempat bagus dan
berkesan. Kami biasa biasa saja bahkan cenderung mudah dilupakan, seharusnya.
Tapi
tak dapat dipungkiri pada waktu itu aku juga mendambakan sebuah peristiwa
sakral bernama ‘pernikahan’. Layaknya pasangan yang sedang sayang sayangnya,
kami sering membahas tentang gambaran masa depan yang ketika itu masih abu abu.
Dan kami berdua sepakat untuk terlebih dahulu membahagiakan orang tua dan diri
sendiri sebelum masing masing dari kami memutuskan untuk benar benar tinggal
satu atap.
Jujur
untuk sekarang, kepalaku sangat pening. Bukan karena masih cemburu atau perkara
masih cinta. Bukan juga karena mengapa aku belum menikah sedangkan dia sudah
menemukan calon istri. Bukan, ada hal hal yang lebih berat dari itu semua.
Kutuang
sebotol wine. Memutar lagu manis yang pernah dia tunjukkan padaku dulu. Kurasa
ini bukan cara yang cukup tepat untuk merayakan sebuah patah hati. Aku harus
menghubungi seseorang.
“Katakan saja yang sesungguhnya.
Kalian kan sudah lama tidak bertemu. Atur pertemuan untuk sekali saja berjumpa.
Lagi pula kau sekarang bermukim di Jogja, apanya yang susah?” kata seseorang di
ujung telepon, mengguruiku. Kuhisap batang rokok pelan pelan, rasanya sangat
hangat karena aku sudah begitu lama tidak mengizinkan zat zat kimia itu
bercampur dengan liurku.
Bukan
perkara satu kota, tapi kami sudah tidak satu perasaan.
“Pernikahan masih satu bulan lagi.
Dalam sebulan ada tiga puluh hari, satu hari ada dua puluh empat jam. Waktumu
masih banyak kalau hanya untuk mengucapkan kalimat perpisahan dan sebuah kata
selamat” lagi lagi aku didikte harus mengerjakan apa.
Kunyalakan
pemantik untuk rokokku yang ketiga, menghisapnya pelan pelan sembari
membayangkan sebuah pesta pernikahan yang meriah lalu aku melihat lelaki yang
masih kucintai serta merta mencium kening perempuan lain. Bayangan bayangan itu
begitu mengerikan hingga aku tak mampu menuntaskannya dalam satu putaran detik
jarum jam. Bergegas kumatikan sambungan telepon, menyambar ponsel pintarku yang
lain dan melakukan panggilan yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
Tiga
digit nomor paling belakang itu masih sama.
“Iya, kalau bisa. Kabari aku lagi
kalau itu benar benar tidak membebanimu” kataku di akhir kalimat. Telepon
kututup tanpa template resmi ‘Bye,
aku mencintaimu” seperti yang dulu dulu.
Aku
sudah tidak mengindahkan sakit kepalaku yang menggunung, aku harus keluar
mencari pakaian paling cantik di kota ini. Atau paling tidak, pakaian yang akan
menjadi kandidat paling mahal di lemariku. Aku harus mencari gincu paling mahal,
juga bedak bedak bagus. Aku harus tampil sebaik baiknya, melebihi calon
istrinya.
-
‘Paling lama lima belas menit,
bicara secukupnya, tanpa pelukan, tanpa senyum ekstra, jangan menangis, segera
pulang, bilang kalau kamu sudah cukup bahagia’
Kubatin
berulangkali sebuah skenario konyol di kepalaku. Aku datang terlebih dahulu.
Memesan teh hangat dan sepotong croissant.
Lima menit lagi laki laki itu akan duduk di depanku, menatap mataku,
menjatuhkan pandangan dengan sepasang matanya yang teduh dan temaram.
Dan
benar, dia datang.
Aku
melambaikan tangan, menandai di mana aku duduk. Dekat jendela, langsung
menghadap ke jalan kecil yang banyak dilalui orang. Dia tak menyalami tanganku,
tanpa mengucapkan terima kasih sudah memesankan sesuatu meski itu makanan
kesukaannya.
Komentar
Posting Komentar