Empat Gram

 



"Aku ada tabungan sih, sekitar empat gram. Sudah pantes belum ya buat nembak cewe?"



Aku menghentikan tarian jemariku di atas papan ketik, menelisik raut muka manusia di sampingku. Lalu memicingkan mata, dia sedang ngomongin apa?.


"Kan bisa ditukar sama cincin tuh, kira kira udah cukup belum ya buat mengungkapkan perasaan. Takutnya dia nanti dibooking orang lain" lanjutnya, mengacuhkan tatapanku.


Sejak kapan orang ini berubah menjadi melankolis begini? Lagi pula dia punya banyak lingkaran pertemanan yang melibatkan perempuan. Perempuan mana lagi yang ia kejar?.


"Nembak kok pake cincin, itumah ngajakin membina rumah tangga" jawabku. Kembali meneliti pekerjaan di layar monitor.


Lelaki itu terbahak. "Lu kayak ga ngerti selera gue aja sih. Sudah sekian tahun sendirian masak gini gini aja. Jangan jangan Lu kalo ditembak pake kembang doang langsung luluh terus diterima? Dasar lemah!" tuduhnya sembari menunjukk ke arahku. Aku mendengus, melirik dengan sebelah mata ke arahnya. "Ya mau lah kalo bunganya sekebon, sama surat surat tanahnya sekalian!" tukasku ketus membalas kata katanya.



Kami kembali mengejar waktu. Pekerjaan kami sebentar lagi akan dinilai oleh beberapa 'kritikus'. Klien adalah raja, dan kami para budaknya. Menghamba pada uang seringkali membuat kami lupa bagaimana caranya menertawai waktu senggang. Kantor sudah mulai sepi dan divisi kami masih saja sibuk mengejar deadline demi agar tidak dimaki maki atasan.



 "Emang cewe mana yang mau kamu tembak?" Tiba tiba kalimat itu meluncur bebas. Aku sebenarnya tak sungguh sungguh ingin tahu. Hanya penasaran saja, paling juga aku tidak kenal.


 "Adalah, manteb banget asli. Cantik, pinter, keibuan, jago masak, bisa pangkur, kayang, punya bakat cenayang..."


"Yakin tuh mau sama Lu?" Kupotong kalimatnya.


 "Yaaaaa, kaga hehehe"



"He bego siaaa" Aku menatap wajah serius sahabatku ini. Dua detik saja. Lalu tiba tiba aku kembali merasakan hal yang tak biasa. Seperti kala aku memeluk bingkai fotonya di malam malamku yang sendirian. Menentramkan mataku, tubuhku, aliran darahku. Seperti saat aku membayangkannya di langit langit kamar. Bersamanya tak pernah ada kata hambar. Entahlah, perempuan mana yang akan ia tembak. Aku hanya perlu menunggu. Juga menyiapkan air mata. Atau aku juga harus menyiapkan sebuah hadiah di hari pernikahannya yang akan selamanya menjadi hari terburukku suatu hari nanti.


Tunggu saja, aku tidak ingin terlalu menebak nebak.

Bagaimana bisa mencintai dalam diam bisa semenyakitkan ini?

 

-

Malang

Tanpa tanggal pasti, ini cerita lama.

 

picture from: medium

Komentar

Postingan Populer