Suatu Hari Ketika Anakku Menanyakan Hal Ini

 


Jam menunjukkan pukul empat lebih tujuh belas menit ketika Hazen, anak sulungku menyembul di antara kerumunan anak anak yang sedang berlarian di halaman sekolah. Dia berjalan lunglai dan terlihat pucat. Langkahnya gontai seolah sedang menanggung beban berat. Buru buru kuraih tasku yang berada di jok samping dan meletakkan kedua tanganku di atas kemudi.

 

          “Hallo Sayang, how’s your day?” tanyaku sembari bersiap mengenakan sabuk pengaman. Hazen masih saja diam, wajahnya murung. Kuraih tangan kanannya.

 

          “Hey, what’t wrong with you? Sini cerita sama Mommy? Apa Hazen mau jalan jalan dulu? Mau Mommy antar ke mana? Ayok dong kenapa Sayang?” tanyaku sedikit panik melihat anak laki lakiku ini yang masih saja diam. Dia masih saja membuang mukanya seolah sedang tidak ingin berbicara denganku.

          “Ohh Hazen nggak mau cerita sama Mommy? Mau cerita sama Papa aja ya? Yaudah kita pulang aja yuk Papa udah nungguin Hazen di rumah” aku memutuskan untuk tak lagi menginterogasinya. Kulajukan kendaraanku menuju rumah dan segera bertemu dengan Mas Gilang di teras rumah.

 

          “Eh anak Papa udah pulang” sapanya. Hazen turun tanpa mempedulikanku lalu menghambur ke pelukan papanya. Mas Gilang melirik ke arahku, aku menggeleng pelan. Hazen tiba tiba saja kabur menuju kamarnya tanpa mengatakan apa apa.

 

          “Hazen kenapa Mah?” tanya Mas Gilang padaku. Sekali lagi aku menggeleng. Kuceritakan tentang gelagat Hazen yang tak biasa ketika di mobil. Tidak seperti biasanya memang. Aku dan Mas Gilang sepakat untuk menanyai dia sehabis makan malam.

 

Tak kusangka hingga magrib tiba Hazen belum juga mau keluar kamar. Setelah beres menyiapkan makan malam aku bergegas menghampirinya di kamar dan membangunkannya. Matanya memerah dan sembab. Dia memelukku erat sekali.

 

          “Hazen mandi, terus sholat, abis itu makan terus ngerjain PR ya” ajakku sembari mengelus elus pundaknya.

 

          “Iya Mah”

 

Kami berkumpul di meja makan selepas sholat dan mengaji. Kulihat wajah Hazen masih saja pucat. Tangannya seperti tak tertarik dengan satu pun jenis makanan yang kuhidangkan. Aku dan Mas Gilang saling bertatapan.

 

          “Hazen, gimana tadi sekolahnya?” tanya Mas Gilang untuk mencairkan suasana.

 

          “It was good, Papa” jawabnya lirih.

          “Kenapa cemberut gitu? Abis berantem sama temennya?”

Hazen menggeleng.

 

          “Terus?”

 

Hazen diam sejenak. Terlihat meletakkan alat makannya di atas piring kemudian menatap aku dan Mas Gilang berganti ganti. Aku semakin merasa tidak enak, jangan jangan anakku kesurupan?

 

          “Could I ask you something, Mommy.. Papa”

 

Aku dan Mas Gilang beradu pandang.

 

          “Ya” jawab kami berdua, sepakat.

 

Hazen kembali hampir menangis, dia mengucek matanya.

 

          “Sayang kenapa?” aku berlutut di hadapannya lalu  kuelus punggung tangannya.

 

          “Tadi di sekolah ada pengisian data orang tua” katanya.

          “Lalu”

 

          “Why, why Mommy sama Papa cuma sampai S1 aja? Kenapa engga kaya orang tua teman temanku yang S2, S3? Why Mommy? Papa? Tell me” jelasnya sembari terisak.

 

Aku dan Mas Gilang melongo untuk beberapa saat. Tidak kusangka jika pengisian formulir data orang tua bisa sangat berpengaruh terhadap suasana hati anak kami berdua. Aku kembali duduk. Mengehela napas berat, mengatur kata kata sesederhana mungkin di dalam kepalaku untuk nantinya bisa dengan mudah dicerna oleh anak kelas empat SD.

 

          “Well, itu bukan masalah besar kan Sayang? Kamu masih tetap jadi juara satu di kelas meskipun tanpa S2 dari orang tua, whats the matter?” tanyaku dengan nada selembut mungkin.

 

Hazel masih terisak.

 

        “No, Mama I just asked you why? Why you didn’t take Master degree? Just why?”

 

Okay okay, aku mengerti apa yang dia maksud.

 

          “Hazen, listen to me. Mommy sama Papa bukan berarti pada waktu itu tidak ingin melanjutkan S2, kami ingin. Tapi kami pada waktu itu harus sibuk mencari uang, Sayang. Untuk apa? Agar kami siap jika sewaktu waktu kamu terlahir di dunia”

 

          “Tidak semua orang di masa itu memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan yang sama, Sayang. Mommy sama Papa berusaha keras supaya kamu nantinya bisa duduk sejajar dengan mereka yang orang tuanya lebih pintar. And you did it. Kamu bisa juara satu terus setiap tahun. Bukankah itu lebih membanggakan?”

 

          “Mommy tahu apa yang kamu rasakan. But at least, you’re still the best. Udah ya jangan dipikirin lagi” aku memeluk tubuhnya. Dia membalas pelukanku dengan erat. 

 

          “Its okay, its okay. Jangan khawatirkan apa apa ya” kataku. 

 

Hazen masih sesegukan di pelukanku. Kemudian dia mengusap hidungnya yang meler sambil berkata:

 

          “Tadi Kenzo juga ngeledek namaku, Mah. Katanya namaku itu jelek. Nggak gaul seperti namanya dan nama teman teman yang lainnya”

 

Aku dan Mas Gilang tersenyum. Andai kamu tahu Hazen, nama yang Mas Gilang berikan untukmu yakni Muhammad Al Hazen. Seorang ilmuan Islam di bidang sains dan filsafat terkenal pada masanya.

 

 -

Malang, Friday 5 Feb 2021

gambar diambil dari: pinterest.

Komentar

Postingan Populer