Bipolar

 

 

Ini adalah ceritaku. Apa yang aku rasakan ketika salah satu orang terdekatku secara tiba tiba divonis mengalami gangguan kesehatan mental. Sudah lebih dari lima tahun berjalan, rasanya hingga detik ini aku belum begitu percaya. Apa ini benar benar nyata? Apakah ini bukan sebuah mimpi semata? Apakah benar aku telah kehilangan sosok ‘Abang’ yang selama ini begitu aku bangga banggakan?

 

Ya, semua itu terjadi.

 

November 2016

 

Semua bermula pada suatu sore ketika aku sedang mengerjakan tugas laporan praktikum di kos salah satu temanku kala itu. Sebuah panggilan masuk. Dan ternyata itu berasal dari ibuku. Beliau mengabarkan bagaimana kabarku dan memintaku untuk mendoakan kakaku yang sedang sakit.

 

Jujur aku terkejut. Aku mengira jika beliau (kakakku) sakit akibat terjatuh dari sepeda motor karena dua tahun sebelumnya beliau juga pernah kecelakaan. Tapi pada saat itu ibu mengiyakan pertanyaanku. Aku masih berpikir jika kakakku hanya mengalami luka di luar tubuh.

 

Dan ternyata, dugaanku salah...

 

Kesibukan kuliah membuatku sangat jarang mengabarkan keadaan kakakku. Aku yang sedang menempuh semester dua di sebuah fakultas yang super sibuk, seolah menjadikanku tak memiliki waktu untuk menanyakan apakah kakakku sudah membaik. Waktu pun berlalu hingga aku hampir menyelesaikan studiku di semester itu. Dan di penghujung Desember, aku pulang.

 

Desember, 2016 

 

Aku datang ke ruangan itu dengan ayahku. Mendapati sesosok tubuh yang sedang menatap jendela dengan tatapan kosong. Aku mendekatinya dengan tangis yang hampir pecah.

 

            “Mas, kamu ingat siapa dia?” ibu bertanya pada kakakku sembari menunjuk ke arahku. Beliau mengangguk dan menyebutkan namaku pelan”Esti”.

 

Rasanya dunia runtuh seketika. Bagaimana mungkin abangku menjadi seperti ini? Dosa apa yang telah ia lakukan sehingga Tuhan memberikan cobaan seberat ini? Berbagai macam bentuk pertanyaan berkecamuk di dalam pikiranku. Aku mendekati ibu, memeluknya, dan kami menangis bersama.

 

Ibu bilang, kakakku sudah di rumah sakit cukup lama. Masa masa depresi yang dilalui kakakku membuat ibu dan bapak harus siap kapan pun. Kakakku sering ngamuk. Dengan ritme yang cukup sering dan beberapa kali merusakkan barang barang di rumah sakit itu. Beberapa kali dipindahkan ruangan agar beliau mendapatkan suasana yang nyaman dan tenang.

 

Sejak saat itu, aku seperti kehilangan abangku.

Aku kehilangan sosok yang selalu mengingatkanku tentang hal hal baik.

Kakakku tidak  lagi seperti dulu. 

 

Bahkan ketika sudah dibawa pulang dan menjalani beberapa metode pengobatan sampai diruqyah berkali kali, kakakku tidak bisa kembali kepada sosok dia yang dulu.

 

Berbulan bulan selanjutnya setelah beliau dibawa pulang, secara tiba tiba beliau menjadi seseorang yang berbeda. Sering mengajak ngobrol orang lain bahkan orang yang tidak dikenal. Terlihat sudah sedikit normal walaupun masih meminum obat. Kemudian di entah bulan ke berapa di tahun 2017, dia tiba tiba meminta izin kepada ibu untuk kembali ke Solo, mencari pekerjaan.

 

Ibu terlihat belum tega waktu itu. Tetapi kemudian mengizinkan juga. Berminggu minggu kemudian kakakku mendapatkan pekerjaan. Tetapi selang beberapa waktu, ibu kembali mendapatkan telepon jika kakakku mengamuk lagi dan menghilang.

 

Tentu saja ibu dan bapakku panik. Tetapi beruntung ada orang orang baik yang kemudian menemukan kakakku dan membawanya kembali ke rumah sakit. Kembali mengamuk, kembali ke fase depresi.  Lagi lagi kami harus menjual apa saja yang berada di rumah untuk biaya pengobatan.

 

Cerita ini sudah cukup lama dan aku tidak ingat detailnya, hanya ingat bagaimana sakitnya aku ketika mendengar cerita cerita ini. 

 

Sejak peristiwa itu, kakakku kemudian secara permanen dirawat di rumah. Meminum obat setiap hari, menebus obat setiap bulan. Alhamdulillah, sikapnya kembali ke semula. Tidak lagi agresif dan bersemangat, meskipun cenderung malas. Setidaknya beliau sudah cukup tenang dan stabil. Hingga kini tidak pernah mengamuk dan menginginkan hal hal yang aneh.

 

Jika kalian bertanya, apakah ada kaitannya depresi dengan perilaku buruk seseorang? Ataukah orang yang depresi adalah orang yang jauh dari Tuhannya? Jika kalian bertanya tentang pendapatku tentang hal itu, tentu dengan lantang aku akan menjawab ‘Tidak’.

Kakakku adalah sosok laki laki yang berprestasi sejak dia sekolah. Selalu mendapatkan peringkat sepuluh besar dan masuk ke sekolah favorit. Masuk ke universitas dengan jalur tes pada masanya. Kakaku juga cukup religius, sering berpuasa dan selalu rajin membaca kitab suci. Beliau juga yang menyarankan aku untuk mulai memakai hijab sejak masuk SMP. Belaiau tidak pernah pacaran, selalu memuliakan wanita. Beliau selalu ikut organisasi kampus dan sangat aktif di forum forum kemahasiswaan. 

 

Bisa dibayangkan betapa sakitnya kehilangan seorang kakak yang kita nilai begitu ‘sempurna’.

Namun lamat laun, aku menerima ini sebagai suatu bentuk cinta kasih Allah kepada hambanya. Satu hal yang membuatku begitu bersyukur adalah bonding antara ibu dan bapakku. Bagaimana sabarnya ibu menghadapi segala cobaan ini. Semua hal telah beliau korbankan. Tapi hal itulah yang membuat hubungan ibu dan bapakku semakin erat dan harmonis. Seolah mereka berdua adalah satu bentuk nyata kalimat ‘kasih sayang sepanjang masa’.

 

Meskipun hingga hari ini pun kakakku tidak pernah keluar rumah dan berinteraksi dengan orang luar, ibuku selalu percaya jika kakakku bisa sembuh dan kembali normal suatu saat nanti. Meskipun kegiatannya sehari hari hanya makan, minum obat, dan tidur. Setidaknya ibu dan bapakku masih melihat beliau setiap hari, dan itu sudah lebih dari cukup.

 

Lalu, apa hal yang membuat kakakku menjadi depresi?

Ini hanya dugaanku, tapi dugaan yang cukup kuat. Beban studi.

 

Yah, kakakku berkuliah di Fakultas Teknik dan belum selesai. Masih tahap skripsi. Mungkin beliau merasa sangat terbebani dengan topik tugas akhirnya yang terlalu berat dan juga karena dosen pembimbingnya wafat sehingga harus digantikan dosen lain waktu itu. Tapi mungkin ada faktor lain yang aku tidak mengerti.

 

Berat, sangat berat rasanya.

Tapi aku selalu percaya jika Tuhan tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan hambanya.

Semoga kami sekeluarga senantiasa dikuatkan hati dan pikirannya.

Semoga kakakku segera sembuh dan kembali normal.

Aamiin, aamiin ya robbal alamiin.

 

 

-

Malang, Sabtu 21 Februari 2021

Komentar

  1. Semoga kaka esti diberi kesembuhan esti dan keluarga juga sehat terus aamiin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer