Rumah
Aku memandangi langit langit di atasku. Berwarna putih tulang dengan beberapa ornamen pelengkap seperti lampu berbentuk persegi juga lubang AC. Jam dinding berdetak menuju angka 2 dini hari. Dua malam ini aku menghabiskan waktu di kantor karena kebagian shift malam.
Kuraba beberapa pesan singkat di aplikasi chat ponselku. "I love you", salah satu yang kuabaikan. Sengaja, aku sedang kesal. Tapi beberapa kali aku senyum senyum sendiri ketika scroll ke atas, mendapati pesan manis yang lainnya. Kurasa, hati ini sungguh murahan.
Aku baru sebulan menjadi istri. Tapi kami tak serta merta tinggal satu rumah. Masing masing dari kami masih punya tanggung jawab di pekerjaan yang berbeda kota. Tidak ada masalah dengan itu. Kami terbiasa menjalin hubungan jarak jauh. Hanya saja ketika sudah menikah, rasa kangennya jadi berlipat lipat.
"Sabar ya Ayang, aku janji suatu hari kita bakalan pulang ke rumah yang sama kok" tegasnya setiap kali aku memulai pembicaraan tentang bagaimana rumah tangga kami. Aku percaya laki laki ini akan menghadiahkanku rumah, entah kapan.
Sebulan sekali aku agendakan bertemu dengannya. Kami bercinta di tengah hutan karena suamiku bekerja di sebuah perusahaan yang sejujurnya, saat ini sudah mau bangkrut. Jarak Semarang Bandung rela kutempuh demi mengejar surgaku.
Kami berencana tinggal di Bandung. Kota yang suhunya jauh berbeda dengan Semarang. Telah kubayangkan nanti anak anakku bersekolah di sana, melewati masa remaja dan SMA dengan kuceritakan kalo dulu ada novel terkenal di jaman Ibu -Dilan. Nanti anak anakku tidak harus masuk ITB, apa saja yang penting mereka bahagia. Paling penting sekarang, kami upayakan punya rumah.
"Kita buat model modern minimalis ya Ayang. Aku pengen bangun dari awal. Nanti yang garap dua sahabatku. Pasti mereka seneng dan oke banget deh hasilnya" kata suamiku. Aku mengangguk angguk saja. Apa saja lah, batinku. Dalam pikirku, yang penting aku bisa punya space untuk menanam bunga Matahari.
Jarum jam berdetak, perputar putar. Jam 2 lebih seperempat. Tiba tiba rasa kesalku muncul lagi karena teringat sesuatu.
"Ayang, sini aku punya sesuatu" ucapnya demi menarik perhatianku agar menjauh dari ponsel. Aku melirik waspada. Apakah ini hadiah karena sebulan kami sudah menikah? Hadiah apakah itu?
"Apa Aa?" Aku mendekat malu malu. Kuulurkan tanganku. Tangan suamiku menyebul dari belakang punggungnya, secarik kertas.
"Sertifikat rumah" gumamnya lirih.
Aku terhenyak. Kegirangan memeluk suamiku. Berterima kasih ratusan kali. Padahal aku belum tahu letak rumah itu di mana, seperti apa bentuknya, bangunannya kokoh atau rapuh, angker atau tidak, aku belum tahu.
"Beneran Aa?" tanyaku sekali lagi dengan mata berbinar-binar.
"Iya Ayang" jawabnya.
Kukeluarkan pelan pelan kertas itu dari plastiknya. Kubaca dengan seksama. Hati hati. Dahiku mengernyit. Sekali lagi kubaca dari atas, ke bawah. Kembali lagi ke atas, menuju bawah.
Suamiku mengeluarkan sesuatu lagi dari saku jaketnya. Disodorkan padaku, sambil meringis.
"Hehe"
Kuambil benda kecil itu kemudian kulemparkan ke arah pintu.
"MASAK KAMU BELI RUMAH KEONG SIH, YANG BENER AJA!!! EMANGNYA AKU KELOMANG???!!" Aku tidak kuat menahan puncak amarah, geram sekali. Kutepukkan sertifikat rumah itu ke bahu suamiku berkali kali, dan dia hanya cengengesan sambil pura pura akting kesakitan.
Aku ngambek lagi. Kupasang wajah cemberutku yang paling paripurna. Suamiku membujukku, pelan pelan. Lalu, ending cerita akan sesuai dengan harapan pembaca. Murahan sekali tubuhku di hadapan suamiku.
Padahal, rumahku sebenarnya sudah ada. Orang itu, yang tidak sempurna, yang banyak sekali kurangnya. Yang kadang kurang memahami apa yang aku mau dan inginkan, dialah sebaik baiknya rumahku. Rumah yang diturunkan oleh Tuhan untukku.
Malam itu, rumahku hangat sekali.
-
Semarang
23 Juli 2024 01:52
Bagus sekalihh..
BalasHapus