Durhaka




Ada sesak yang melesak. Masih tanggal delapan belas di bulan ini, kataku dalam hati. Menenangkan pikiran pikiran liarku perkara saldo di anjungan tunai mandiri yang semakin membuatku sering menyendiri. Menghindar untuk kumpul kumpul dengan teman teman seperti yang lalu lalu untuk membicarakan hal remeh temeh tentang kehidupan atau apapun itu di otak kami. Kadang kadang terasa juga efeknya, menghemat waktu tenaga dan uang ternyata tak semudah menyianyiakan ketiganya.





Masih dua belas hari lagi, akhir bulan. Saat nominal di layar biru itu kembali meninggi. Memancing senyum sumringah seorang anak rantau dekil sepertiku. Lalu akan cengar cengir seharian, dimainkan harapan untuk dua bulan ke depan. Seolah mendekap banyak lembar lembar bernilai, padahal semua hanya karena hasil kedelai.




Menunggu transferan tak seasyik yang dibayangkan. Bolak balik menelepon ke orang rumah sembari menunggu panen sangatlah menyakitkan. Terik dan gigil yang kerap menyambangi kaki kaki tua orang tuaku kadang berkelebat pekat di depan mata. Ingin rasanya kugantikan segera peran mereka dalam menghidupiku agar aku mengerti betapa banyak tabah yang harus diukir di atas kertas kertas kehidupan.





Namun begitu, ibuku pernah bilang. Dengan raut wajah sayu beliau dan bibir yang tak lagi muda “Ndhuk, uang saku adalah hadiah terindah yang orang tua berikan pada anaknya. Kamu tanggung jawabku. Ini adalah kewajiban. Kamu tak perlu memaksa untuk merasa nelangsa. Tuhan telah pasrahkan matamu untuk Ibu. Dan Ibu harus menjaganya baik baik”.





Beliau elus pundakku hingga punggung. Kubalas mesra, ucapan terimakasih dan ungkapan rasa sayang. Itu hanya akan terjadi ketika aku diberi kesempatan untuk pulang, satu semester sekali. Saat rinduku sudah hampir pecah dari ubun ubun, memenuhi kepala.




Tetapi, bukan tak pernah aku terus terusan berfikir bahwa aku ini parasit paling buruk. Sudah semester tua, usia sebentar lagi kepala dua. Namun belum sanggup memberikan apa apa selain hafalan doa. Anak macam apa aku ini setiap saat hanya minta minta. Lalu kemudian aku akan dipenuhi sedih yang menindih, larut dalam kalut. Seolah akulah manusia berspesies ‘anak’ yang paling gagal di dunia.





“Tidak semua orang tua butuh materi dari anaknya, Ndhuk. Ibu hanya perlu kesungguhanmu dalam belajar. Semua manusia punya rezekinya masing masing. Bagi Ibu, memiliki kamu sudah menjadi rezeki yang terbaik. Ibu tidak menuntut kamu mengganti perabot rumah dengan yang baru, kan? Ibu hanya inginkan kamu sukses dan bahagia. Itu saja”





Kupeluk tubuh itu, kuciumi pipi beliau hingga tuntas.



Ah, kurasa ibuku ini tukang gombal.


Kupeluk tubuh itu sekali lagi, lebih erat.


Tiba tiba beliau berbisik pelan.


Kudekatkan telingaku padanya.


“Ndhuk, kayaknya hujan hujan begini mi ayam sedap juga yah”


Lalu aku tersadar bahwa tidak ada lagi uang yang tersisa. 



Aku menunduk.



Kembali dihantui perasaan durhaka.



-

Malang 

06.21 Saturday 18 Nov 2017


Komentar

Postingan Populer