Perasaan Seorang Abang




“Sudah lebih cantik dari Mbak Dera belum?”



Aku manggut manggut, sedikit membetulkan letak bros kecilnya yang miring.


‘‘Sudah cantik belum?’‘ dia menginterupsi.


Aku mengangguk.  Kembali memeriksa riasan wajah gadis di depanku, takut ketebalan make up.


‘‘Sudah pantes kan?’‘


Aku mengangguk lagi.


Semua orang sedang menunggu.


Mungkin juga harap harap cemas.


Aku memeluk gadis kecil ini, seseorang yang sebentar lagi akan dipersunting orang. Mungkin juga mulai besok kami tidak akan bertemu di meja makan. Mungkin saja, akan ada bulan bulan penuh kesepian yang harus kutelan demi melihatnya lebih bahagia.


Kusempatkan mengecup pipinya, dia membalas kemudian. Pelan kupasangkan cadar warna merah seperti yang dia mau. Aduhai, cantik nian adikku ini.


Puluhan pasang mata menangkap kami dari balik tirani. Dia genggam erat lenganku. Berjalan tertatih melewati banyak manusia yang menanti prosesi akad. Ada bahagia, ada pula yang larut dalam haru, ada yang diam diam telah bayak menumpahkan air mata, ada yang termenung mengingat hari hari yang lalu.


Gadisku, duduk manis di sebelah lelaki yang akan membawanya pergi setelah ini.



Selepas kata sah, air mataku tak henti berderai. Lumat sudah perasaanku, tumpah ruah, riuh bergemuruh segala yang ada di dalam dada.


Lelaki itu, semoga akan menjaga adik manisku baik baik.

-


Apa yang kalian pikirkan jika kalian memiliki adik perempuan?


Sementara kau adalah laki laki.


Terkhusus, laki laki yang sudah berusaha menghindarkan diri dari menyentuh wanita.


Ada cemas, ada risau. Begitu pula dengan aku.


Semenjak dia bertumbuh dewasa, aku melihatnya. Mengenakan kerudung dengan cantik, meski sedikit kupaksa. Sungguh, aku hanya ingin menjaganya.


Aku ini, Abang yang sangat posesif.


Tak rela bila waktu jeda magrib ke waktu isya yang ia punya harus ia korbankan untuk memusingkan pekerjaan rumah dari gurunya yang memusingkan itu.


Kuminta adikku bersabar sebentar, ayolah sayang.. buka kitabmu sebentar saja.

Aku suka melihatnya mengaji, aku suka melihat wajahnya yang coklat terhias manik manik air bekas wudhu.

Aku suka melihatnya menutup mata, mengkhidmatkan diri, meresapi hari harinya yang melelahkan karena rajin belajar, aku suka melihat tangan mungilnya menengadah ke arah langit meminta pengabulan doa doanya yang panjang.


Aku, hanya ingin menjaganya.


Karena..


Dengan menjaganya, itu akan menjagaku dari ancaman siksa di hari akhir.


Aku ingin menjaganya.


Seperti aku ingin menjaga diriku sendiri.

Aku ingin melihatnya bahagia.

Aku ingin melihatnya memeluk cahaya iman.

Aku ingin melihatnya, karena di dalam dia ada aku. Abangnya.

-

Lepas tiga hari semenjak dia menikah, dia bilang mau cepat cepat terbang ke Amerika. 

Kutanya buat apa, dia katakan ‘bulan madu ala kadarnya’.

Aku mengangguk, meski dengan menelan ludah yang pahit.

Adikku, aku lebih suka kau sedekahkan itu uang yang kau buang buang untuk bersenang senang.


“Abang, nanti kubelikan oleh oleh yang banyak. Nanti seluruh cerita perjalananku akan kutuliskan di web, nanti Abang sempatkan baca ya”


Aku mengangguk lagi, luluh demi mendengar nada ceria dari caranya berbicara.

Kututup  telepon setelah ‘Waalaikumusalam’ meluncur mengakhiri panggilan lima belas menit kami yang penuh dengan tragedi ‘putus putus’ karena sinyal di tempatku yang kurang bagus.



Saat ini sedang senja, kudengar ibu sedang asyik mengulek sambal di dapur. Kulirik kalender masa tanam di sampingku, ah aku harus sesegera mungkin mengurus benih.
Bergegas, aku menuju gudang.


-


Aku punya dua orang adik. Semuanya kusayang. Semuanya memenuhi hatiku. Semuanya manis, aku suka mereka.

Terkadang aku suka menyandarkan rasa lelahku dengan melihat foto foto mereka. 

Menyambangi mereka di lini masa. Aku suka mereka yang mulai merangkak naik, mencapai mimpi mimpi mereka satu persatu, meskipun harus meninggalkan abangnya.


Dua tahun, adik laki lakiku telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang sama dengan kakak perempuannya yang dulu. Dia jarang pulang, aktivis katanya. Terakhir, aku melihat fotonya yang sangat gagah sedang mengoperasikan robot dalam suatu lomba kreatif mahasiswa. Dia gondrong sekarang, tidak apa apa kataku. Asal tidak lupa sholat dan ngaji.

Kadang kadang, saat aku sedang rehat dari mengurus sawah begini, aku sering berfikir. Bagaimana bisa mereka sukses tanpa aku? Bagaimana bisa mereka meraih banyak trophy tanpa contoh dari abangnya yang gagal ini? bagaimana bisa mereka membanggakan aku yang seperti ini?.



Lalu kemudian aku tersadar, bahwa Tuhan telah mengatur segalanya sedemikian hebatnya.


Kadang kadang aku juga berfikir, adakah mereka akan selalu melibatkan abangnya dalam setiap hal dalam hidup mereka? adakah mereka akan mengakui abangnya di depan kolega kolega dan rekan bisnis yang necis necis? Adakah mereka akan terus tak malu memeluk abangnya di saat paling buruk pun?


Adakah aku, abang yang model seperti ini.. dalam lubuk hati mereka yang paling dalam?.

-

Hari raya.

Adalah hari dimana aku melihat adik adikku berkumpul.

Mereka melempar senyuman, menyuguhkan banyak tawa, mengulang ulang cerita, kami saling menghidangkan kue yang macam macam bentuknya.


Adalah hari, yang membuatku merasa hidup kembali.


Hari yang sejenak kulupakan hari hariku di masa lalu, hari dimana aku bisa memeluk tubuh tubuh mereka dengan utuh. Hari raya, aku mengenang semuanya. Hari dimana aku sepenuhnya menjadi abang yang sempurna.


Meskipun, aku bukan abang yang mereka idamkan.


Tetapi aku tahu,


Aku di hati mereka semua.

Saturday
09.47 28 Oct 2017
(From the deepest heart, for someone who I loved the most)






Komentar

Postingan Populer