Bianglala
Debu
menyapu kedua bola mataku. Kuusir perlahan dengan sapu tangan yang sesungguhnya
tak lagi bersih. Satu persatu kuturunkan koper besarku dari dalam, mendekati
kakiku.
Aku
berjalan, menikmati ruang ruang yang tak lagi sama. Kota ini, kota yang dulunya
kujejaki setiap pagi kala sepatu hitam dekilku memaksa untuk diantar ke sekolah
masih tetap sama. Aku menikmati banyak deru suara klakson yang meronta ronta
dari arah mana saja. Masih sama, tidak menimbulkan sedih pada raut mukaku
karena ada perasaan lain yang kutelan dengan baik.
Aku
rindu, perasaan itulah yang merebut kuat segala akal sehat.
Menikmati
gersang udaranya yang masih sama, aku ditimpa letih yang hampir membuat bibirku
berbuih. Dalam adukan haru yang berangsur menjadi sendu, kuperiksa kembali
koperku. Masih tiga buah, aku siap menuju rumah.
Rasanya
begitu sesak saat aku mendapati terjal kerikil dan batu batu di jalan usang
yang kutemui. Ada kenangan mesra disana. Kala aku dengan lembut memegangi
pundaknya yang hangat. Saat aku masih bisa dengan leluasa menyelipkan kedua
tanganku pada saku jaketnya lalu berbisik pelan “Apakah tidak bertambah berat
jika aku bergelayut di pundakmu seperti ini, Sayang?” lalu ia katakan itu tidak
apa apa. Begitu pelan, menentramkan perasaanku yang awut awutan ketika berada
di dekatnya.
Air
mataku tak mau berhenti ketika kuungkit lagi bagian memori otakku tentang
perjalanan melelakan bersamanya di suatu siang. Melewati jalan jalan menuju
rumahku. Aku ingat senyumnya, aku ingat caranya menggodaku dengan dingin yang
jujur tak bisa kulupa begitu saja, aku ingat betapa aku ingin memeluk
pinggangnya, merapat di sepanjang perjalanan.
Kuhapus
titik titik air di bawah pelupuk mata.
Hari
ini aku pulang, setelah berlama lama menghindar dari kejaran kenangan.
Aku
tidak mampu berpaling dari sedu sedan pelukan rindu yang kian menghimpit, aku
rindu segala hal di kota kecil ini.
Juga
tentang seseorang yang masih kuyakini akan kembali, sebuah alasan megapa aku
cepat cepat mendaratkan kenyataan bahwa aku tidak bisa berlama lama berbohong
pada semua orang.
Hari
ini aku pulang, menggenapi apa yang ia minta beberapa waktu yang lalu saat aku
sengaja menepi ke sebuah kota yang katanya romantis overdosis.
Jogja.
“Kamu masih suka bianglala?”
tanyanya waktu kuizinkan ia menemuiku dengan banyak pertimbangan sebelumnya. Aku
mengangguk tanpa berani menghadapi matanya.
Di
depan kami berdiri kokoh sebuah bianglala raksasa. Sleman masih menuju senja,
saat matahari terburu buru kembali ke peraduan. Angin musim kemarau masih
bergerak pelan, menarikan ujung hijabku.
Kutarik
napas dalam dalam.
“Sebenarnya aku ingin naik, tapi
aku...”
“Phobia ketinggian?” kupotong
kalimatnya dengan pertanyaan. Manusia ini mengangguk, menundukkan wajahnya
kemudian.
“Dan bahkan aku masih di sini”
kataku setengah berbisik.
Taman
bermain ini cukup menyenangkan bagi jiwa jiwa kesepian seperti yang kupunya
saat ini. Menenangkan ketika melihat anak anak berkejaran dengan teman
sebayanya. Tiba tiba perasaan iri pada pasangan yang berdampingan mesra di sana
sini kembali hadir, setidaknya ada ikatan batin yang mereka legalkan dengan
pernikahan.
Sesuatu
yang belum bisa kuraih.
“Aku belum bisa mengontrol rasa
takutku...” katanya mengimbangi pendapatku.
Aku
menoleh ke arah a kanan, menghadapi raut wajahnya yang berangsur pias. Ada rona
kekhawatiran di sana, juga ragu ragu yang kuat. Kuhela napas berat, sekali lagi
aku menggeleng gelengkan kepala.
“Semua orang bisa mengendalikan diri
sendiri jika ia mau” aku berkata demikian seolah olah aku adalah orang asing
yang tak pernah mengerti tabiat lawan bicaraku. Lelaki ini masih diam, ikut
berlama lama larut dalam kekaguman dan rasa janggal pada pemandangan bianglala
di kala senja.
“Hidup itu bagaikan menaiki
bianglala. Kadang kita di posisi bawah, titik terendah. Kadang kita di puncak,
di atas segala pucuk bahagia. Begitu seterusnya. Soal bagaimana rasa dan
sensasinya, tergantung tangan siapa yang akan kamu genggam ketika melewati
semua itu”
Kutelan
rasa sesakku, aku hampir menangis ketika mengatakan kalimat berat barusan. Sementara
aku tidak yakin dia akan mengerti, dia menyahut pelan:
“Bagaimana jika aku ingin bianglala
yang tenang tenang saja? Tidak ada pergolakan, tidak ada gerakan yang dapat
membuatku limbung dan pusing? Bagaiamana jika aku hanya menginginkan bianglala
pada posisi diam, tanpa mengundang rasa takutku?” tanyanya.
Angin
sore berhembus memainkan anak anak rambutnya yang mulai panjang. Aku
menatapinya dengan awas, membayangkan jika aku masih berhak mengacak acak
rambutnya.
“Bianglala tidak akan pernah menarik
jika ia diam” jawabku dengan napas tersengal. Ribut, kuredam segala amarah yang
siap meluncur demi menyadari bahwa lelaki ini belum beranjak dewasa seperti
yang kumau.
“Bianglala tidak akan pernah
menyajikan keindahan jika ia tak bergerak”.
“Bianglala diciptakan untuk membuka
mata manusia jika alam di sekelilingnya perlu dinikmati dengan cara cara yang
benar”.
“Bianglala adalah separuh mesin,
mesin akan mati jika tidak dinyalakan”.
Serasa
akan habis napasku ketika kalimat itu selesai. Kuusap pelan lelehan peluh yang
menetes dari sisi dahi.
Sudah
lama aku tidak berbicara dengan konotasi seberat itu.
“Lawan rasa takutmu. Kamu hanya
perlu selangkah lagi untuk meraih dan meruntuhkan hal hal yang mengerdilkan
alam pikiran” kuyakinkan lelaki ini sekali lagi.
Lelaki
ini meraih jemariku, mengenggamnya erat. Mencium bagian punggungnya lama
sekali.
“Mari menaiki bianglala bersamaku.
Ada aku di sini. Kamu bisa menggenggam tanganku kuat kuat ketika kamu merasa
takut terjatuh. Ada aku di sini” kataku sembari merapikan anak anak rambutnya
yang berantakan.
Senja
merambat, aku larut dalam pelukannya yang hangat.
“Kamu bukan manusia, kamu ini malaikat.
Jangan menangis begini, air matamu itu lautan puisi” bisiknya di sela sela aku
menikmati usapan lembut di punggung.
Dia
pasti mengingat betul akan hari hari panjang yang ia sia siakan dengan terus
membuatku merasa bukan manusia. Menyesali perpisahan kami di hari hari yang
lalu. Lalu ia mendapatiku yang masih menerimanya dengan baik, dia menemukanku
yang masih menunggunya dengan setia.
“Maaf aku selalu membuatmu menangis,
maaf selalu membuatmu menderita karena caraku memperlakukanmu. Aku memang tidak
sempurna, namun kamu selalu menerimaku. Mulai detik ini, izinkan aku dewasa dan
menua bersamamu. Kamu benar, menaiki bianglala adalah menghadapi hidup. Rasa
dan sensasinya bergantung dari tangan mana yang kamu genggam, tergantung dari
mata siapa yang kamu tatap ketika diliputi ketakutan” dia pupus kalimatnya
dengan kecupan pelan di dahiku.
Kecupannya
yang pertama setelah sekian waktu bersama dan dipisahkan di hari hari panjang
yang telah lalu.
“Aku, sebagai seorang lelaki akan
membayar lunas seluruh sakit hati yang dulu kuberi” dia lepaskan pelukan. Merogoh
saku jaketnya, berlutut dan menghujamkan tatapan lembutnya padaku sembari
menyodorkan sebuah kotak berwarna merah.
“Menikahlah denganku, kita hadapi
rendah tinggi ombak kehidupan. Aku mau menggenggam tanganmu setiap detiknya,
aku mau kamu”
Aku
tersenyum.
Memintanya
kembali berdiri setelah mengangguk. Tak kupedulikan tatapan orang orang yang
melihat kami saling membagi pelukan. Dukaku menguap, segala resah yang
mengendap mulai terurai, aku meleleh dalam detik detik yang khidmat.
Sore
itu senja berlalu. Kota Sleman masih berlanjut menyuguhkan alunan melankolis
yang semakin manis. Lelaki ini masih menggenggam erat jemariku saat kami
memasuki bianglala. Dia katakan semuanya akan baik baik saja asal aku tetap di
dekatnya.
Bianglala
menghantarkan kami pada puncak bahagia ketika obrolan kecil tentang rencana ke
depan mulai kami utarakan. Aku akan pulang, memupus rasa penasaran tetanggaku
akan pertanyaan mereka tentang ‘kapan aku akan menikah’.
Hari
ini aku pulang.
Menentang
panas dan aroma sinar matahari di kota ini.
Hari
ini aku akan menerima tamu.
Seseorang
yang akan datang bersama keluarganya, menemui keluargaku.
Memintaku
untuk dijadikan komponen bagi keluarga baru.
Bersama,
menaiki bianglala yang baru.
-
Malang
22.08
Tuesday
11 April 2018
Kepada seseorang yang kuyakini akan
kembali di suatu hari.
Komentar
Posting Komentar