Jangan Dibaca
Gamang
Aku tidak mengerti.
Akankah ini hanya jelmaan firasat firasat yang berkoloni di kepalaku ataukah ini semacam jaringan kecemasan yang diam diam menepikan akal sehat.
Aku tidak mengerti darimana seharusnya aku bercerita perihal kekacauan yang melandaku akhir akhir ini.
Semula, ini seperti titik hitam yang membuatku pusing. Entah itu pada pagi di saat asyik asyiknya aku bermanja dengan cangkir kopi atau pada malam malam yang banyak kuhabiskan dengan menulis.
Kemudian titik titik itu menjelma menjadi gumpalan hitam yang mengotori akal sehatku. Membuat jaring jaring rumit yang tak bisa kupahami. Pada akhirnya aku tumbang, kalah.
Baiklah, aku mulai dari tali yang kuikatkan pada kekasihku.
Kami bertemu setahun dalam dua periode waktu yang berbeda. Jarak yang mengharuskan kami demikian. Liburku hanya dua kali setahun, sekali dalam satu semester. Itupun terpotong dengan banyak agenda kampus yang cukup menyita waktu.
Masa masa kami cukup mudah. Dia katakan bahwa dia hanya mencintaiku. Hampir setiap hari, mungkin juga setiap kami bercakap cakap lewat media sosial. Namun cukupkah kita dapat mengindera hati dan pikiran seseorang hanya dari kalimat kalimat beratnya di ponsel pintar?.
Tak dapat kupungkiri bahwa sikapnya yang terlalu sering berubah ubah menjadikan itu seperti bahan bakar air mataku. Aku mencintainya, dia mencintaiku. Sepatutnya aku berhak aku tak bisa menghubunginya semau dan sebutuhku. Namun tidak demikian.
Dia semacam memegang kendali yang lebih kuat dalam hubungan kami.
Aku seolah terabaikan di tepian, saat suasana hatinya sedang tidak baik.
Ya, aku mengerti jika bidang ilmu yang ia geluti jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang kudalami.
Ya, aku paham bahwa ia butuh ruang sendiri.
Tetapi tak bolehkah aku, sebagai seseorang yang lebih berhak untuk dikejar mencoba untuk meminta waktu lebih?.
Aku yakin dia masih mencintaiku.
Hanya saja, terlalu sakit untuk menelan kenyataan bahwa dia menanggapi pesan pesanku dengan teramat dingin.
Seolah aku bukan siapa siapa.
Seolah di antara kami tidak ada ikatan apapun.
Hal tersedihnya adalah, aku tak bisa menemuinya. Aku tak bisa menatap matanya. Aku tak bisa merengkuhnya dalam pelukan sehingga dia bisa bercerita akan resahnya padaku.
Sementara di sini, aku banyak menunggunya.
Aku dirundung cemas yang ganas.
Tetapi, seolah aku tak bisa melakukan apapun.
Ketakutan ketakutan itu hadir.
Akankah ia masih mencintaiku?.
Akankah dia membagi perihnya dengan selain aku?.
Aku hanya bisa menangisi hal bodoh, misalnya ketika aku mengiriminya pesan yang begitu panjang. Aku berharap bahwa ia mengerti betapa aku ingin memperhatikannya lebih dari yang ia butuhkan.
Kadang kadang aku juga berfikir tentang hal hal yang belum terjadi.
Akankah ia tak ingin sebuah perjalanan yang panjang denganku?.
Sedang membagi waktu dan memisahkan antara urusannya dengan ‘tidak membuatku terluka’ saja ia belum bisa.
Pertanyaan pertanyaan yang tak terjawab selalu memenuhi pikiranku.
Setiap saat, setiap aku mengingatnya.
-
Tangis
Jangan tanyakan berapa banyak air mata yang telah kutumpahkan. Jangan hitung berapa ratus lembar tisu yang mulai tercecer saat aku menunggunya dengan gelisah.
Tenang, bukan begitu. Aku memang mudah sekali dipeluk haru.
Seperti saat ini, saat aku menulis ini
Saat ini pukul 15.59.
Aku bersimbah air mata.
Kadang aku bertanya tanya pada diriku sendiri, ini konyol sekali.
Menangisi hal yang tak mengubah kadar oksigen yang kau hirup, buat apa?.
Meratapi orang yang tak berkuasa atas deretan angka di kartu ipk, kau gila?.
Buat apa aku menangis untuk orang yang jelas jelas nanti akan kembali lagi padaku?.
Oh, mungkin memang ini adalah sikapku.
Ya sudah, aku terima saja pribadiku yang seperti ini.
Lalu aku kembali menangis.
-
Bertahan
Jikalau ada yang menanyakan betapa bodohnya aku yang mau maunya saja mempertahankan sesuatu yang menyakitkan, mungkin juga aku tak bisa menjawab.
Rasanya begitu berat saat aku tidak mendapati pesan pesannya di layar ponsel. Akankah itu perasaan yang wajar?.
Kalau kataku ‘Bukan benar benar sayang namanya jika ia tak bisa membuatmu menangis’.
Ini seperti sebuah analogi konyol dimana kamu akan terus memenuhi lambungmu dengan kopi sementara asam di dalamnya terus meninggi. Membuatmu menahan sakit.
Tetapi kamu tak ingin berhenti, kau ketuk ketuk nalurimu sebagai manusia tetapi masih tak bisa. Kau mencintai kopi dengan segala sifat jahatnya. Kamu bertahan meskipun organ pencernaanmu mengalami banyak luka.
Itulah aku dan rasaku padanya.
Aku tahu, sangat menyakitkan menunggunya untuk sekedar memperbaiki suasana hati.
Aku menunggunya, menunggu ia selesai dengan urusannya yang tak pernah ia ceritakan.
Aku menunggu dalam resah, pasrah, dan tanpa arah.
Akankah ia akan membawaku dalam sepenuh dan selengkap lengkapnya bahagia seperti yang kumau?
-
Pernyataan
Malam itu, entah untuk kali ke berapa aku menyatakan bahwa aku merindukannya.
Ada yang bilang, cinta itu patut untuk dikejar.
Aku melakukan itu.
Tetapi, balasannya membuatku bertambah sesak.
Lirih, kusembunyikan air mata dari balik bantal sembari pura pura tidur dan mengabaikan seluruh organ pencernaan yang minta diisi.
-
Lepas
Pada malam itu aku berjanji untuk tidak lagi menangis.
Mulai malam itu ketika aku perlahan melepasnya. Melepas yang memang seharusnya tidak kutahan.
Dalam diam aku masih berharap akan ada keajaiban yang kembali membawaku pada perasaan yang sempat kubangun.
Harapan harapan kecil dimana aku bisa mengelus rambutnya di pagi buta.
Harapan bahwa ia akan menemaniku dalam kereta, menjagaku yang sedang terlelap.
Perlahan aku mulai melepas segala yang membuatku lemah.
Harapan itu kutumpas sendiri.
-
Rindu
Aku ingat betapa menariknya cara Dilan, tatapannya yang tak bisa Milea lupakan hingga pada akhirnya kisah mereka terbaca dan disaksikan oleh jutaan pasang mata.
Milea mungkin diserang rindu yang bertahun tahun mengendap di dalam dadanya.
Begitu pula aku.
Karena nyatanya, lebih sakit tersiksa rasa kangen dibandingkan menahan diri dari tidak memaki oleh sikapnya di jauh jauh hari.
Aku rindu, sudah itu saja.
-
Jika
Jika ini hanyalah rasa bosan,
Mengapa tak bisa disembuhkan oleh selain kamu?.
-
Rela
Satu satunya cara untuk mengisi hati dengan keleraan adalah meyakinkan diri sendiri bahwa akan selalu ada pengganti yang lebih baik, jika kita mau memperbaiki diri.
-
Senyum
Pagi ini, pukul 08.04 waktu Indonesia bagian barat aku sudah bisa tersenyum.
Tidak ada lagi tangis,
Aku takut lautan puisi di mataku tumpah semua.
-
Masih
Aku, masih mencintaimu.
Tetapi aku tidak akan pernah merubah caraku dalam mencintai.
Aku akan tetap memasukkan unsur unsur air mataku tersebab oleh kamu dalam setiap tulisan yang kuungah di lini masa.
Maaf, jika caraku mencintaimu yang tak bisa tenang tenang saja.
Kita seharusnya hanya perlu bekerja sama.
-
Hilang
Aku harap seiring waktu kita akan mencapai apa apa yang pernah kita saling ceritakan berdua.
Aku berharap waktu akan menghapus harapan, rasa cintaku padamu, dan juga segala mimpi yang pernah kurangkai ketika kau hadir.
Aku belum berharap menemukan seseorang yang akan menggantikanmu.
Aku memutuskan untuk menghilangkan itu semua, tetapi masih berharap kau kembali menemuiku dalam keadaan yang berbeda.
-
Masa
Untukmu, di masa depan.
Aku menulis ini dengan penuh kesadaran.
Namun tolong, jangan jadikan tulisan ini sebagai bahasan dengan kekasihmu yang baru.
Menebak nebak apakah aku masih mencintaimu.
Aku hanya orang seni.
Dimana setiap kata yang menari dari jemariku, ada maksud yang tersembunyi.
-
Baturetno
08.14
06 April 2018
Dariku yang selalu ingin memperbaiki.
Kutunggu kau pulang.
Aku adalah sebenar benarnya rumahmu, kau hanya lupa.
Aku masih menunggu.
Aku sedang belajar untuk tidak lagi menyikapi hal hal dengan air mata.
Dan aku berhasil.
-
Ini adalah pukul 01.05 di Kota Malang.
Tempat dimana aku menahan setiap detik rindu yang menyiksa.
Karena baru kusadari,
Lebih sulit bertahan dari hantaman rindu seperti ini dibandingkan menahan diri untuk tidak memaki oleh pengabaianmu seperti di jauh jauh hari.
Komentar
Posting Komentar