Jatuh Cintalah
“Jatuh
cintalah, tidak apa apa” katanya lembut sesaat sebelum ia meraih jemariku. Aku
mengangguk, menepikan tubuhku pada punggungnya.
Gerimis
belum usai, pertemuan kami juga belum selesai. Mataku terpejam saat tangannya
yang berat mengunci jemariku dengan erat. Aku menikmati setiap detik yang
mengalir, membawaku pada nuansa biru, ungu, merah jambu, putih, toska, jingga,
hijau muda dan segala warna yang tak lagi mampu kuindera.
“Jatuh cintalah sekali lagi, tidak
apa apa” katanya lagi. Wangi tubuhnya mengudara, membawaku mengangkasa.
Diringkus tatapan matanya yang teduh, aku tercekat pada pekat. Kali ini sudah
tidak ada lagi jarak, aku dan dia dilipat lipat oleh sebuah perasaan yang sama.
Perasaan enggan meninggalkan.
Matahari
bergerak menjauh, tenggelam pada senja yang bahagia. Aku menarik diri ketika
mulai berpeluh, mengusir rasa inginku yang belum lindap. Kecupan di bibir kami
sudahi, hujan tak mengizinkan. Sudah hampir malam, reda.
“Jatuh cintalah seperti sembilan
bulan yang lalu” katanya saat pelan kuteguk sebotol air mineral yang kurogoh
dari saku tas ransel. Kuhela napas berat. Apa aku sudah siap?.
Di
depan kami ombak masih bergulung gulung. Deburnya berlari lari menuju bibir
pantai untuk saling berciuman. Purnama segera tiba, semakin keras suaranya.
Menyentil nyentil telinga, mengatakan untuk siap dikunjungi di hari hari
berikutnya.
Kembali
kuhela napas.
Tatapan
kami beradu.
Akankah
kita saling kembali menemukan celah celah kekurangan lalu berniat
memperbaikinya? tanyaku dalam hati.
“Jatuh cintalah lagi, hingga
terbukti bahwa hanya akulah yang mengizinkanmu untuk sembuh” katanya. Mata itu
menatapku hingga luruh. Aku menunduk, mendadak lebih ingin menatapi arah laut
yang mulai menghitam oleh gelap. Hanya ada suara ombak yang beradu dengan desir
angin laut yang tak kunjung lenyap, sedang debar jantungku serasa berkejar
kejaran, bersaing dengan irama alam.
Kutarik
napas dalam dalam. Menguapkan sedikit sesak dalam ragaku yang masih betah
berlama lama tinggal.
“Jatuh cintalah lagi padaku, tidak
apa apa. Jangan kau lawan, biarkan hatimu yang berbicara”.
Kutelan
ludahku. Diam diam aku terka sendiri kondisi hatiku saat ini. Masih, masih saja
remuk. Bukankah lelaki ini yang menghancurkannya? Sementara dia sendiri tahu
bahwa ada dia di dalamnya?.
Masih,
masih saja koyak.
Masih,
masih juga berdarah darah. Berhiaskan tambalan dimana mana.
Lalu,
dengan mudahnya kini dia kini kembali hadir. Menawarkan untuk kembali dengan
alasan mau mencintai dengan wajar dan bersikap seolah manusia normal.
Dalam
temaram cahaya rembulan tanggal dua belas, aku memutuskan untuk berhenti.
Berhenti
menahan kegaduhan dalam kepala yang membuatku terus meminta lelaki ini untuk
berada di sisiku.
Berhenti
untuk merasa baik baik saja dengan semua yang telah ada.
Malam
merangkak naik, bibir kami kembali bertautan. Aku dapat merasakan tarikan
napasnya yang begitu berat, begitu panas, begitu menginginkanku. Acapkali dalam
keheningan dan mata terpejam seperti ini aku berusaha keras untuk menerka nerka
isi hatinya. Seringkali aku bertanya tanya akankah hanya ini alasannya untuk
kembali dan mengalirkan hangat tubuhnya. Akankah dia merindukanku dalam bentuk
bentuk sentuhan lain yang belum pernah kucoba?.
Tangan
itu turun ke punggung, memperkecil jarak antara kami berdua. Memaksaku untuk
terus berperang dengan gemuruh dalam dadaku saat lumatan lumatan keras itu
bersitegang dengan bibirku yang nyaris lelah. Hampir saja kubuka mataku namun
kuurungkan karena lambat laun semakin kunikmati sentuhannya yang memabukkan.
Kuakui aku memang merindukannya dalam dalam. Kulawan debar dalam hatiku, naik
dan kembali naik, pasang dan kembali pasang hingga akhirnya pelan pelan bibir
kami menyudahi dengan sendirinya.
Dia
kecup dahiku dengan lembut.
Dalam
desir angin yang berdert derit lemah ia dekatkan bibirnya pada telingaku dan
berkata lirih:
“ Jatuh cintalah selagi aku masih
ada”
Aku
kembali terpejam dalam dekapannya yang tak kunjung usai. Kurasa bahu kanan
lelaki ini sudah basah dengan air mata yang kuteteskan diam diam. Dia berkata
kata lagi, mendamaikanku, mengatakan bahwa ia tak akan pernah mencoba lagi
meninggalkan, lalu aku kembali didera cemas.
“Jatuh cintalah selagi aku masih ada
di dalam hatimu”
Dalam
pelukannya yang tak ingin kubatasi dengan durasi, aku mencoba menelisik
kesungguhannya. Dalam setiap gerakan tangannya mengelus puncak kepalaku, aku
merasakan hal yang sama dengan waktu waktu sebelumnya. Lelaki ini tak pernah
sungguh sungguh berubah. Lelaki ini tetap manusia yang kukenal sembilan bulan
yang lalu. Bahkan aroma tubuhnya, molekul, serta jika mungkin aku harus
bertaruh waktu untuk mempelajari ulang gugus gulanya, lelaki ini masih tetap
sama. Sesungguhnya tidak ada alasan bagiku untuk menolak ajakannya, namun
akankah ia akan terus menerus pergi dan kembali seperti ini?.
Pergi,
kembali, kembali pergi, pulang, pergi dengan mencari cari alasan, lalu kembali
karena rindu, pergi lalu kembali mencariku, pergi mencari yang lain dan kembali
mencari cariku.
Dalam
dekapannya, aku memikirkan banyak hal. Akankah aku ini terlalu setia? Atau aku
ini bodoh? Atau aku terlalu setia dan akhirnya menjadi bodoh? Ataukah kebodohan
yang memaksaku untuk berlaku setia?.
“Jatuh cintalah, tetapi tetaplah
jatuh padaku. Pada tempat yang tepat”
Aku
tak bisa berkata kata. Angin laut tak mampu merampas kemesraan yang kami
bangun. Dalam dekap aku masih berpikiran yang macam macam.
Akankah
aku jatuh cinta pada apa itu setia?
-
Bogor
Tuesday
11.03
10
July 2018
Pict from: tumblr
Komentar
Posting Komentar