Ulang Tahun Pernikahan
Pagi
ini aku dibangunkan oleh suara bising panci dan penggorengan. Aku ingat hari
ini adalah hari yang istimewa bagi ibu. Ulang tahun pernikahan.
Bagi
ibu, bapak masih berada di tengah tengah kami. Meski kuakui sudah terlalu
sering kuingatkan bahwa beliau sudah punya kehidupan yang baru.Begitu besarnya
rasa cinta ibu pada lelaki yang telah mengkhianatinya itu. Hingga tujuh tahun
setelah bapak tak pernah pulang pun, ibu rutin merayakan hari ulang tahun
pernikahannya. Meskipun ibu memasak sambil kadang kadang berderai derai air
matanya, meskipun masih menganga luka di hatinya. Ibu sangat menyayangi bapak.
Sebuah
tumpeng nasi kuning tersaji lengkap dengan berbagai jenis lauk. Buah buah segar
terhidang. Ada banyak camilan yang ibu sengaja buat jauh jauh hari. Es limun
dan kopi susu kesukaan bapak juga tersedia. Semua diletakkan sedemikian rapi di
atas meja makan. Terlihat seperti sesajen, mengingat manusia yang ibu impi
impikan tidak akan pernah hadir. Ibu memintaku duduk di sebelahnya. Air mukanya dipaksa berseri seri namun aku
masih bisa mencerna rona kesedihan pada wajahnya.
“Ini adalah ulang tahun ke tiga
puluh tiga” kata beliau. Meskipun tak ada lillin berbentuk angka tiga berjumlah
dua, semuanya masih tampak meriah. Ibu mengajakku berdoa. Menitikkan air
matanya yang tambah menyayat perasaanku. Kami berpelukan dalam haru. Ibu
bilang, di hatinya masih ada bapak.
Tangan
ibu gemetar mengambilkan bagian nasi kuningku. Menambahkan lauk pauk yang
kusuka. Dia mengambil untuk dirinya sendiri dengan bagian yang amat sedikit.
Selepas ini ada kegiatan yang rutin kami lakukan untuk menghabiskan masakan,
menyambangi panti asuhan.
“Rani, bagaimana hubunganmu dengan
Fahmi?” tanya beliau tiba tiba. Hampir saja aku tersedak. Buru buru kusodokkan
bibir gelas agar ibu tidak curiga bahwa aku terkejut dengan pertanyaannya.
Dalam
anggukan dan kalimat kalimat yang meluncur dari mulutku sekilas kukatakan bahwa
kami baik baik saja. Aku mencintainya dan dia juga menyayangiku layaknya
sepasang kekasih. Ibu tersenyum, tenang. Dia mencicil rasa bahagia, mungkin
juga untuk sejenak beliau dapat melupakan bapak.
Harus
kuakui bahwa kegagalan rumah tangga ibu menjadikanku takut untuk menikah. Masih
terang dalam ingatan bagaimana di kala itu bapak meninggalkan ibu. Berbulan
bulan ibu terpuruk, sakit lahir dan batin. Ibu harus merelakan kebahagiaan
keluarganya terenggut oleh kehadiran perempuan lain. Bapak meninggalkan kami
berdua, mengejar kebahagiaan yang katanya tidak pernah kami berikan.
Aku
tidak membenci bapak, namun semenjak saat itu aku begitu mencintai ibu. Mencintai
caranya membalas dendam akan perbuatan bapak. Mencintai sikap ibu yang menahan
amarahku dan mencegah rencanaku untuk menghilangkan perempuan baru bapak dari
bumi. Bahkan aku tidak peduli dengan pekerjaan lamaku yang mengharuskan kami
berdua berpisah berlama lama, kutinggalkan. Aku mencari pekerjaan baru yang
dekat dengan rumah. Meskipun dengan gaji kecil, aku hanya ingin berjumpa lebih
sering dengan ibu.
“Jaga baik baik Fahmi. Ingat umurmu
sudah cukup matang. Ibu tidak butuh kau beri banyak uang, Ibu ingin melihat
kamu bahagia” bisiknya sembari memegang pundakku. Aku menahan diri untuk
menangis. Bayangan bapak melayang layang. Bukankah dulu bapak juga menjanjikan
bahagia untuk ibu? Bukankah dulu bapak juga figur paling sempurna untuk seorang
ayah?.
Aku
mengangguk. Kalut dengan pikiranku sendiri. Semakin hari aku merasa bahwa
pernikahan semakin membuatku takut. Perpisahan memang bukan gunting
kebahagiaan. Namun bukankah dari sanalah sesungguhnya ladang subur kebahagiaan
dirusak?. Aku teringat betapa baiknya hati bapak selama kami masih disatukan
dalam rumah ini. Tangan hangatnya, deretan gigi putihnya, suara beratnya yang
menentramkan ketika mendongeng untukku sebelum tidur kini bagai berputar putar
di kepalaku. Akankah ini sebuah bentuk keadilan yang Tuhan berikan untuk
menguji hati ibuku yang tabah?.
“Jaga baik baik martabatmu sebagai
perempuan. Kita tetap bisa hidup dengan atau tanpa lelaki. Namun, hidup akan
terasa lebih sempurna jika kita bisa saling membagi kasih. Saling menyayangi.
Hidup bukan hanya perkara besok mau makan apa. Ketika kamu sudah menikah, ada
banyak hal yang harus kalian hadapi bersama, berdua, berpegang eratlah. Jaga
baik baik kekasihmu” kata ibu, mengakhiri kalimatnya dan segera menyambar
piringku yang telah kosong.
Aku
gamang. Pikiranku merambat ke mana mana.
Fahmi memang telah berencana menikahiku, entah kapan waktunya. Namun, jika
pernikahan hanya perihal menjemput bahagia, tak bisakah kita menciptakannya
sendiri. Saat ini aku hanya punya ibu yang menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku
hanya memiliki satu tempat bernaung. Tak bisakah aku berbahagia dengan satu hal
yang kupunya? Hanya aku dan ibu, tidak dicampuri dengan urusan yang lain
seperti halnya pernikahan.
Ibu
membereskan semuanya. Menata segalanya. Aku tahu betapa sempurnanya ibu sebagai
seorang wanita. Dan wanita seperti ibu, masih saja ditinggalkan.
-
“Pas” lelaki ini tersenyum, lesung
pipinya mengajakku untuk ikut tersenyum. Dia remas jemariku. Dia membayar benda
yang melingkar di jari manisku. Kami melangkah keluar. Kugandeng tangannya.
Kami meluncur ke sebuah rumah yang aku belum pernah mengunjunginya.
“Aku nggak perlu bilang sama Mama.
Soalnya Mama pernah bilang kalau nanti langsung menikah saja, tidak perlu acara
pertunangan. Mama sudah lihat fotomu, dia suka. Katanya kamu kelihatan manis
dan cerdas. Mama suka baca puisi puisimu, dia bilang kamu orang yang dinamis”
katanya sembari asyik memegang kemudi. Aku diam, tersenyum. Kucegah bibirku
untuk menyahut macam macam. Aku lebih banyak menunduk. Menjinakkan pikiran
pikiranku sendiri. Aku didera cemas dan kegelisahaan yang tak berkesudahan.
Semua bermuara pada rencana pernikahanku dengan Fahmi yang kian dekat. Menikah
sama saja dengan menambah pundi pundi kebahagiaan. Sayangnya, hal itu juga
mungkin saja memotong jalur bahagia yang lain. Aku harus meninggalkan ibu,
misalnya.
Kami
sampai di senuah rumah dengan arsitektur Belanda. Aku tahu jika di kawasan ini
memang tempat bagi rumah rumah kuno yang hanya bisa dimiliki oleh orang orang
berkantung tebal ataupun pejabat. Memasuki halamanya, aku merasa amat berat
melangkah. Lelaki ini meraih jemariku, menggenggamnya erat dan menciumnya
sekali. Dia elus rambutku, dia bilang jangan takut.
Kami
disambut oleh seorang perempuan cantik berkebaya ungu. Aku tertegun. Kupandangi
dari sanggul hingga selop hitam yang ia kenakan. Kulihat senyumnya yang amat
familiar. Tubuhku mengeras, lidahku kelu. Dunia serasa berhenti berputar. Kutampik
tangannya, aku menghambur keluar. Tangisku meledak.
Perempuan
itu adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang sering bapak temui diam
diam, tujuh tahun yang lalu.
-
Bogor
Saturday
13.34
14
July 2018
Komentar
Posting Komentar