One Day in Manhattan
“Aku mau burger”
Sore menggilas udara. Kami bergandengan tangan melewati eighth avenue, menyusuri gang gang sempit di sudut Manhattan yang tak ada di peta. Sebentar lagi senja turun, mempercepat langkah kaki kami untuk bergegas mencapai penginapan sebelum adzan magrib mengagetkan saku celana.
“Double cheese burgers, double chicken burgers, potato. Enough, hmmm do you have any ice cream?”
Kami masih tak mau saling melepaskan genggaman hingga tangan harus mengalah pada dua cup es krim. Makan malam tidak pernah sesederhana ini, namun ini bukan di Indonesia. This is New York! Tempat kerja yang secara drastis mengubah gaya hidup serba organikku menjadi sedikit nakal dengan berbagai varian junk food yang enak.
Sembari mengulum es krim, kami saling tenggelam dalam pikiran masing masing. Aku dengan susunan rancangan ‘membongkar tas ransel’ dan dia entah sedang memikirkan apa. Besok kami tidak bisa saling menyodorkan kopi seperti hari ini, aku harus bersiap siap bahkan sebelum sampai rumah. Kepalaku penuh dengan jadwal padat dan isi kertas yang entah harus mulai dari mana aku harus membereskannya.
“Aku udah lihat tempatnya, penempatan poster udah tepat banget. Kayaknya besok bakalan seru. Sayang ya aku nggak bisa ikut” keluhku sesaat sebelum mendorong gagang pintu. Hujan mengguyur halaman, tepat setelah kami menjejakkan kaki di lantai ruang tamu.
“Masih ada tiga event lagi kok, lain kali kamu harus belajar merayu bosmu deh”
“Ya tapi kan tetep aja jam kerja kita berlawanan haha”
“Iya juga ya, besok aku kirim foto fotonya aja”
“Nggak seru!!” kataku kesal.
Abong, film pertama yang membawa kami menjadi pengelana di Amerika. Aku penulis benang merahnya, dua tahun yang lalu ketika masih nyaman di pelukan Kota Jogja. Alih alih menjadi highlite di sebuah surat kabar, skenario randomnya malah dibuat matang oleh lelaki ini. Menggarapnya siang dan malam hingga pada akhirnya kami bisa saling berbagi atap di Manhattan, New York City.
“Mana lagi setelah ini?” tanyaku sembari mengoleskan kentang pada kubangan saus di depanku. Lelaki ini masih santai mengunyah burgernya, dia menggeleng.
“Paris, maybe. We never know”
Tiba tiba dia berdiri, berjalan ke arah jendela. Matanya antusias menatapi layar ponsel yang menampilkan wajah kecil di sana. Lelaki itu berubah menjadi ramah, menebalkan senyum dan tawannya.
“Hello Nadia, sudah makan belum? Iya Papa juga kangen. Seminggu lagi pulang”
Hujan masih menghantam halaman, juga kepalaku yang masih saja bebal.
Aku mau burger lagi, sebelum suami orang itu menghabiskannya seorang diri.
-Imonagura
Malang,
Saya lupa nulis ini hari apa. Doakan saya nanti berkarir di New York ya.
Gambar diambil dari: tumblr
Komentar
Posting Komentar