Girgio Armani





Ingatkah saat di hari itu kakiku menemukanmu?


Kita berada di rak yang sama.


Diantara deretan karangan Sapardi, Aan, Agus Noor, Dewi Lestari dan manusia manusia berotak kompleks lainnya.


Jarak satu meter kira kira,

Aku menginderamu.


Giorgio Armani, kukira itu yang kau kenakan. Wangi dan elegan.


Tiga menit setelah aku menuntaskan ‘Cinta yang Marah’, aku mau ‘Surat untuk Ruth’ milik Bernard Batubara di rak paling atas.


Dua detik, tak kudapatkan. Terlalu tinggi untuk manusia mungil sepertiku.

Hanya kupandangi sampul buku itu sambil terus menggigit gigit bibir.


“Mbak, mau buku yang itu?”

Aku menoleh, wangi Giorgio Armani dan bening matamu menginvasi.


Aku mengangguk.

Menahan degub jantung yang tiba tiba secara aneh menggila.


“Surat untuk Ruth, bagus Mbak isinya” katamu saat buku bersampul biru itu berada pada tanganku.

“Oh ya? Sudah baca Mas?”


“Lebih dari dua kali” jawabmu dengan segaris senyum.


Aku ingat semuanya. Saat kau tunjukkan bagian mana saja yang paling menarik untuk dibaca. Bagian mana saja yang harus dijelajahi oleh pemikiran. Bagian mana saja yang menyuruh kita menyiapkan banyak tissue. Bagian mana yang harus kita tanggapi dengan tawa. Dan dari semua itu, aku hanya memperhatikan warna matamu.


“Surat untuk Ruth, dalam sekali ya Mbak?” tanyamu kemudian, meminta persetujuan.


Aku mengangguk, kehilangan kata kata.

Yang kutangkap hanya indah matamu.

Bagaimana lembutnya suaramu saat mengatakan kata “Ruth”, seolah olah kamulah manusia yang menjejalkan potongan kisah pada buku itu.


Dan aku, sibuk dengan potongan potongan khayalanku sendiri. Kubangun hati hati, sesekali mencoba mencuri pandang padamu.


Setelah ini, kupikir tidak ada salahnya bercengkerama dalam ruang percakapan, merangkai emoji, merencanakan banyak kegiatan bersama. Dengan Giorgio Armani dalam serat jaketmu.


Lalu kau akan menggenggamkan payung ketika hari hujan. Menikmati dua mangkuk ramen di serambi toko, atau sekedar minum coklat panas saat udara Malang sedang dingin dinginnya.


Kubangun banyak potongan dalam dua belas detik aku berdiri di sampingmu.

Tiba saat kau katakan sesuatu ‘Sayang, aku ingin melamarmu dengan buku dan bunga”.


Belum sempat aku mengiyakan,


“Sayang? Udah?”


Bagai efek domino, semuanya runtuh.


“Mbak, saya duluan ya. Harus beli bukunya ya Mbak, Surat untuk Ruth” kamu melambaikan tangan kanan, sementara tangan kiri dalam gandengan seorang wanita cantik berambut sebahu.


Ah, Giorgio Armanimu masih tertinggal.


Wangi sekali.

-

Malang
08.10 Saturday 30 Sept 2017

Komentar

Postingan Populer