Kembang Mayang
Aku
seperti berdialog kembali dengan diriku sendiri saat mendengar kata
‘Jogjakarta’.
Aku
tidak paham dengan kata orang tentang seberapa hangatnya kota ini menerima
tamu. Atau, sebegitu ramahnya ia menyambut kesedihan orang orang yang menyambang
membawa patah hati.
Mungkin iya, mungkin benar. Dengan menjejakkan kaki di bumi
istimewa ini, kau bisa jatuh cinta kembali. Kembali mengukir rasa damai yang
terkuras di hari harimu yang lalu saat kau habiskan di kota lain. Jogja punya
itu semua, terapi penyembuhan.
Lalu
bagiku, manusia yang kubilang sederhana tapi tak disetujui oleh pihak pihak
yang lain ketika aku mengatakan hal itu, bagiku Jogja adalah tempat dimana
segala imajinasi dan definisi keindahan terukir. Meluangkan waktu satu atau dua
malam dengan mengaduk aduk isinya tak kan mengundang rasa bosan, malah
menimbulkan rasa penasaran yang menyala nyala. Mungkin benar jika Jogja bisa secerdas
itu menjadikan dirinya ‘menempel’ pada ingatan seseorang, kuat sekali.
“Main
manten mantenannya nanti aja ya Ndhuk, sekarang bantu Bulik dulu menyiapkan
buat Kangmasmu”
Aku
tersenyum, beberapa diantara kami malah tertawa.
“Ya
masih lama tho Bulik, belum menyiapkan ini itu. Calon juga belum dibawa ke
rumah “ dari sudut ruangan ibuku menimpali. Jemarinya penuh dengan pacar,
seolah beliaulah yang akan resepsi besok.
“Yo
tidak apa apa, nanti kalo sudah ada yang melamar langsung aja. Nunggu apa lagi,
wong pekerjaan sudah di tangan” Bulik Tanti masih kekeh dengan pendapatnya, dia
katakan aku harus menikah paling tidak dua tahun setelah hari ini. Aku hanya
tersenyum, mencicil kelegaan di hati sanak keluarga yang kali ini sedang
berkumpul. Aku juga berharap hal serupa, Bulik.
“Mbak
Sekar kan belum punya pacar”
Raka,
adikku yang baru masuk SMP tahun ini ikut ikutan berembug. Gemas, kucubit
pinggangnya. Semua orang tertawa.
“Iya,
nggak kaya Raka yang pacarnya banyak. Itu loh Buk, pacarnya Mas Raka ada tiga”
kubalas pernyataan adikku. Dia tersipu sipu sambil mengelak “Enggak Buk,
Pakdhe, Bulik.. Raka nggak pacaran” dan kami semua tertawa.
Pernikahan
abangku dilangsungkan di Jogja. Entah, mungkin ini memang disengaja karena
memang calon istri abangku berasal dari Jogja. Namun rasanya tidak mudah buatku
untuk datang kembali pada kota ini. Jarak Makasar Jogja dan kesibukan proyekku
yang menyita banyak waktu adalah alasan utama mengapa aku tak bisa berlama lama
bahkan dalam suatu acara keluarga.
“Balik
ke Makasarnya seminggu lagi aja Ndhuk, nunggu Panji. Dia juga mau menyambangi
masmu”
Aku
tercekat.
Tiba
tiba sekelebatan kalimat kalimat bermunculan.
“Kan
dulu kamu sering to maen sama Panji, dia pasti pangling kalo lihat kamu
sekarang makin ayu. Ayodeh, jangan buru buru pulang ke tanah rantau. Liburan
dulu sebentar di sini” bujuk Bulik. Aku tertegun. Mencoba mengira ira akankah
tawaran ini bisa diterima.
Tak
urung aku mengangguk.
“Kamu
tau? Panji semakin guanteeeng. Semenjak kerja di perkapalan dia semakin gagah,
bukankah merasa sangat terhormat to masmu itu bisa disambangi seorang kapten
seperti Nak Panji itu?”
Kutelan
ludahku, pahit.
Kembang
mayang telah siap, aku sibuk menata nata agar semakin cantik. Sembari menata
perasaanku yang mulai terobrak abrik mendengar nama Panji.
“Kalau
begini kan bagus to, tambahin Ndhuk melatinya. Aduh ponakanku, semakin matang
saja ya. Cocok sama Nak Panji”
Kembali
kutelan ludahku, hambar.
-
Sore.
Kopi
di depanku tinggal separuhnya. Ada banyak hal yang ingin kutuntaskan sebelum
isi cangkir berpindah seluruhnya pada perutku. Kuputuskan satu hal yang pasti,
aku pulang sehari setelah acara pengajian dan syukuran atas pernikahan abangku.
Ketika
aku ingat cara Bulik meninggi ninggikan Panji di hadapan semua orang, aku mulai
merasakan pening yang tak bisa kulawan. Ketika semua mata seolah setuju dengan
rencana diam diam yang mulai kuendus, kuberanikan diri untuk menjauh. Aku dan
Panji bukanlah pasangan yang ideal untuk sebuah ikatan pernikahan, setidaknya
itu yang kupikirkan.
Kedai
kopi ini lengang, seperti di tahun tahun yang lalu.
Bukan
karena kopinya tak enak, sungguh.
Tetapi
mereka, orang orang itu berkata bahwa kedai ini seperti menghimpun banyak
kesedihan yang menyala nyala.
Kopiku
tinggal seperempat.
Kembali
pada tempat ini kira kira tiga tahun yang lalu saat kuputuskan akan mengakhiri
masa studiku di bulan itu juga. Kubilang aku mau kembali menjelajah Indonesia.
Mengikuti kemana pemikiran akan membawaku. Menuruti keinginan kakiku untuk
selalu bergerak. Memuaskan semestaku yang semestinya dinamis setiap detiknya.
Dan itu berarti menolak satu permintaan seseorang.
“Apa
aku belum cukup? Kurasa sudah cukup banyak. Aku pikir kau benar benar
menginginkan perjalanan yang lama denganku. Ternyata...”
Dia
katakan itu dengan hati hati, aku tahu hal itu. Matanya yang besar berkaca
kaca. Aku tak mengira dia tak cukup tangguh untuk menentang apa yang ingin
kulakukan setelah semua tahap mencapai gelar kupenuhi.
“Kita
bisa hidup bahagia tanpa kamu bekerja. Aku ini lelaki, aku penuhi kebutuhanmu.
Aku akan simpan uang banyak banyak, asal kamu tetap berada di rumah. Menunggu
aku pulang”
Kugigit
bibirku.
“Aku
sudah beli segala hal yang mungkin akan kita butuhkan. Semuanya sudah tinggal
pakai. Aku mau kamu, aku harap kamu mengerti bagaimana keluarga yang kuimpikan”
Tak
sepatah kata pun mampu kuluncurkan.
“Sekar,
dua bulan lagi aku resmi berlayar. Jika kamu mau, kutitipkan segalanya yang
kupunya. Hati, perasaan, rumah, semua hal yang punyaku nanti juga menjadi
milikmu. Apapun itu.. asalkan..”
Kuraih
gagang cangkir dan meneguk isinya.
“Aku
tidak mampu terus berdiam di rumah, Panji” kataku.
Dia
tatap mataku dalam sekali, meski dengan kilatan kilatan sebagai tanda kucuran
air mata entah di detik ke berapa.
“Kau
tau, aku ini mahasiswa alam. Rumahku bertebaran dimana mana. Aku punya kaki
yang diamanahi ilmu yang kupelajari bertahun tahun. Sayang Panji, aku mau
bermanfaat bagi sesama. Aku mau jadi istrimu, tetapi biarkan aku bekerja. Hanya
dengan itu aku akan merasakan apa artinya hidup”.
Dan
segala macam argumen yang kuberikan di sore itu pupus dengan kalimat “Maaf, aku
pikir aku akan menemukan diriku padamu. Ternyata dugaanku salah”.
Lalu
kami melangkah pada arah masing masing.
Dia
akan kembali berlayar, kembali meninggalkanku menuju lautan. Kembali pada
tempat yang memeluknya setiap waktu. Aku kembali pada pohon pohon yang kuukur
karbonnya setiap hari. Aku kembali pada jejak jejak seresah dalam hutan. Aku
kembali pada bau lintah, lumpur dan suara sungai.
Kami kembali pada semesta
yang berbeda.
Aku
kembali pada titik sebelum mengenal Panji, manusia lautan yang sebelumnya masih
bisa kubaca matanya setiap akhir semester. Panji kembali pada titik sebelum dia
masuk ke dalam duniaku. Kami kembali pada nol derajat yang berbeda, dunia yang
berlainan.
“Nak
Panji mau datang lebih cepat, katanya sekalian ziarah ke makam eyangnya di
Sleman. Besok mampir ke sini”
Masih
terngiang suara Bulik Tanti tadi pagi sebelum aku meninggalkan rumah.
Kutandaskan
kopi di depanku.
Tiba
tiba aku dipeluk segala kenangan yang entah datang dari sisi yang mana saja.
-
Namun
begitu, aku dan dia sama sama menyukai satu hal.
Terjebak
di saat hujan.
Jauh
sebelum ia mengatakan bahwa ingin terus bersamaku, dia katakan bahwa dia
menyukai hujan, tatapan mataku saat bulir bulir air itu menghantam tanah, dan
aroma jaket dimana kita saling membaginya menjadi dua.
“Kamu
tau, apa yang paling menarik dari hujan?” tanyaku. Kutadahkan tanganku,
membiarkan telapak tangan untuk bercumbu dengan tetesan air.
“Tau”
jawabnya. Dia menggosok lengan bagian kirinya pelan, dingin.
“Apa?”
kembali, aku bertanya.
“Air
hujan itu berakhir ke laut. Sebuah tempat yang damai” katanya kemudian.
Aku
tertawa.
“Kamu
ini sejenis mengidap syndrom ‘one piece’ atau bagaimana sih, Panji?” kelakarku
sambil menyenggolkan bahuku padanya.
Dia
tertawa.
“Aku
mau jadi Jack Sparrow”.
Kami
tertawa.
“Kalo
buatku, ada hal lain” kataku kemudian. Kuhirup aroma telapak tanganku yang
basah.
“Apa?”
tanyanya.
“Hujan
mengaktifkan berbagai mineral pada tanah. Mineral menjadi nutrisi bagi tanaman.
Tanaman yang menghidupi kita, manusia” kataku.
Kami
semakin terjebak pada hujan yang tidak mau berhenti.
“Aku
suka hujan, Panji”
“Aku
juga” jawabnya. Aku ingat senyumnya yang manis, aku ingat matanya yang
bercahaya, aku ingat raut wajahnya yang cerah.
“Setidaknya,
hujan yang menahan kita terus bersama. Berlama lama berdua”
Setelah
kalimat itu keluar dari bibirnya, giliran aku yang terjebak rasa canggung luar
biasa.
“Aku
suka hujan, yang menjebakmu untuk bersamaku”
-
Panji
adalah teman baik abangku, teman yang tak kan melewatkan hari bahagia
sahabatnya. Dia akan hiasi foto kenangan pernikahan teman temannya dengan
senyumnya. Dia datang tepat ketika aku sedang membereskan kembang mayang.
Dan,
dia masih seperti dulu.
Ketika
kami saling berjabat, mengabarkan keadaan masing masing, kemudian matanya yang
indah itu seolah menanyaiku sesuatu.
“Wahh,
Nak Panji sudah bertemu Sekar rupanya. Makin ganteng ya sekarang”
Iya
Bulik, semakin ganteng walaupun kulitnya telah berubah menjadi kecoklatan. Iya
Bulik, masih sama seperti dulu. Ganteng, batinku.
Menuju
dapur, menyiapkan hidangan untuk Panji, aku harus meredam pedihku sendiri.
“Iya
Bulik, tanggal dua belas minggu depan” sayup sayup terdengar suara Panji yang
lembut disusul dengan kata “Ooooh ..” panjang dari Bulik, dan “Semoga
dilancarkan semuanya ya. Nak Panji”.
Giliran
Panji yang akan meminta jasa Bulik membuatkan kembang mayang.
Aku
sudah pandai memilihkan melati terbaik Panji, aku mau bantu Bulik membuatkan
kembang mayang untuk pernikahanmu. Setidaknya masih di Jogja kan? Aku tetap
bisa hadir.
Entah,
mungkin teh manis yang kuaduk mulai berangsur menjadi asin. Aku menangis terlalu
banyak.
--
Malang
15.31/
Saturday 07 Oct 2017
Komentar
Posting Komentar