Untuk Dihilangkan
Kuusap
dua tiga manik manik penghias ujung mata sebelum akhirnya tissuku berada di
tarikan terakhir. Sudah mau senja, sebentar lagi tempat ini lengang. Tetapi aku
masih ingin berpesta pora diantara banyak batu yang tadi kucoba lewati meski
dengan degub jantung yang membuatku hampir meledak.
“Aku
hanya bisa jatuh cinta beberapa kali” kataku, kembali memulai sebuah percakapan
menjelang datangnya warna orange di cakrawala. Ini adalah ujung sore. Singkat,
jingga, teduh, mendamaikan, dan yeng terpenting adalah : dia dapat mengerti
aku.
Kuusap
kembali anak sungai di pipiku yang terjal, entah sudah berapa ratus kali.
“Aku
hanya bisa jatuh cinta pada kasih sayang bapak, masakan ibu, bus yang
mengantarkanku sekolah, dan kamu”
Lagi
lagi pada kalimat terakhir aku menyebutkan istilah untuk manusia yang ini. Lagi
lagi aku menyebutnya dengan sengaja.
“Jadi
tolong, aku terlalu takut untuk kembali menjadi objek yang kau sia siakan”
Aku
kembali tersedu. Diantara wangi ilalang yang membuat kaki sakit. Atau banyak
debu yang kemudian mengucapkan permisi pada mata, meminta untuk larut dengan
kesedihan. Aku kembali berpesta dalam luka, sesuatu yang dia beri berulangkali
dan aku masih mau menerimannya.
“Kamu
tahu, Renjana?” dia membalas kalimat memintaku. Bibirnya yang dulu suka kuciumi
kini sibuk mengepulkan asap. Dia bilang mau berhenti menghisap itu ketika aku
sudah tak lagi mengejarnya dan menemukan lelaki lain.
“Aku
ini..” dia hunus kembali rokok yang tinggal separuh, menjentikkan ujungnya
kemudian.
“Adalah
manusia yang pantas kau hilangkan dari ingatan”
Kuremas
plastik sisa tissu yang seluruh isinya telah kulumatkan dengan air mata.
“Manusia
macam apa aku ini? Jana.. aku selalu membuatmu menangis. Aku ini pantas kau
hilangkan, kamu pantas mendapatkan yang lebih dari aku”
Aku
muak dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan.
Senja
menghantarkan rona jingga, juga membawa gerimis tipis tipis. Membasahi
rambutku, juga menyamarkan tangisan yang lagi lagi kuidap.
Dia
hisap kembali benda yang kubenci itu, asapnya lewat di depanku.
“Jana,
pulanglah. Ada peluk Bapak yang menunggumu. Ibumu selesai menggoreng pisang,
kamu harus pulang karena sebentar lagi turun hujan, aku tak ingin kau sakit”
Aku
sudah menggigil dari satu jam yang lalu. Tidak apa apa, aku merasa sangat
hangat jika berada di samping orang ini. Aku tahu hatinya sangat dingin, namun
molekulnya mampu kuindera dengan jalan apapun. Aku tahu di sana ada bahagia
yang harus kutelusur, walaupun dia telah menutup rapat rapat semua pintu hanya
demi satu alasan ‘Dia ingin melihatku berbahagia dengan yang lain’.
“Aku
mau ikut kemana pun kamu pergi” kataku.
“Aku
ingin mengalah asalkan kau biarkan ikut melangkah”
“Aku
akan terus mengikutimu bergerak meski harus merangkak”
“Aku
mencintaimu dari semenjak kau belum menjadi apa apa dan telah menjadi apa apa”
“Aku
mau ikut kamu, aku mau ikut matamu. Aku mau patuh pada kau yang membuatku utuh.
Aku mau segalanya yang tercipta oleh tanganmu. Aku mau menikmati setiap detik
dengan orang yang kucintai”
Lagi,
dia hisap rokoknya. Mungkin ini yang terakhir.
“Bagaimana
jika aku tak menginginkanmu?” tanyanya.
Mata
kami bertemu.
Aku
tahu jika tangan kanannya itu ingin mengusap segala hal yang membuat mataku
kehilangan binar.
Tetapi
ia hanya luluh pada logikanya untuk meninggalkanku cepat cepat.
“Bagaimana
bisa kamu seperti itu?”
Pelan,
ia rapikan anak anak rambutku yang menutupi dahi. Kemudian dia sentuh bagian
bawah telingaku.
Mataku
sudah terpejam, aku siap dengan segala hal selanjutnya.
Aku
dapat merasakan napasnya dalam jarak sedekat ini. Perlahan dia cium mata
kananku.
“
Sudah
lama sekali kamu tidak memakai giwang, Renjana”
Aku
tercekat.
Baru
kuingat, iya memang seperti itu.
Semenjak
masuk bangku kuliah, aku harus melepaskan segala perhiasan yang kupunya. Juga
giwang emas pemberiaan mendiang nenekku. Giwang yang kata lelaki ini membuatku
terlihat semakin cantik. Harus kutanggalkan demi biaya semester empatku waktu
lalu.
“Aku
mau melihatmu memakai giwang lagi” katanya seperti mengalihkan pembicaraan.
“Renjana,
kekasihku. Aku mau berhenti merepotkanmu. Jangan lagi sibuk berlama lama
memikirkan aku yang bahkan tak tahu kapan bisa menebus giwangmu. Aku ini ingin
melihatmu berbahagia. Aku menginginkan untuk melihatmu kembali pada koleksi
buku buku dan bunga. Aku tahu, aku tak bisa penuhi hal itu. Kamu terlalu mahal
Renjana, kamu terlampau berhaga untuk manusia yang tak sanggup memberimu
bahagia sepertiku. Kamu punya hidup yang perlu kau bangun dengan hati hati.
Kelak dari rahimmu akan lahir manusia manusia tangguh yang lucu, aku mau itu
bukan karena aku”.
Senja
berangsur malam.
Menyebarkan
hawa dingin yang menusuk tulang pinggang.
“Renjana,
kamu dibesarkan bukan untuk manusia buruk sepertiku. Aku ini mudah sekali
berubah. Aku takut melukaimu lebih dalam. Pulanglah Sayangku, aku mau
memikirkanmu malam ini dengan tenang. Aku mau kamu tidur dengan cantik, jangan
bengkakkan mata indahmu lagi dengan banyak air mata”.
Dia
memegang kedua bahuku.
“Pulang
ya, sekarang. Buatkan coklat panas untuk bibirmu yang manis. Aku mau melihat
Renjana semakin cantik karena tidak begadang malam ini”.
Aku
masih tersedu, kuremas tissuku yang telah menjadi bubur dalam genggaman.
“Bagaimana
kau bisa melihatku bahagia sedang penyebab rasaku adalah kamu?” aku rebah dalam
bahunya, membasahi sisi kirinya.
“Bagaimaa
kamu bisa meramalkan banyak hal tentang aku? Bagaimana mungkin kamu tahu hal
hal yang terbaik untukku? Bagaimana bisa?”
“Sedang
kamu tidak pernah mengerti arti hadir apalagi takdir. Menurutmu, apa yang
membuatku mati matian bertahan dari pengabaian? Semudah inikah kamu menukar
segalanya?”
“Kamu...”
“Renjana,
pulang sekarang ya. Jika kamu mencintaiku” potongnya sebelum aku menuntaskan
kalimat terakhir.
Dia
rapikan kembali rambutku yang basah oleh hujan.
“Renjana,
kamu harus berbahagia”
Iya
aku tahu.
Malam
menggilas pestaku.
“Renjana,
kau akan kenakan giwang itu jika kau telah menemukan pria baik baik. Aku mau
melihatmu kembali pada duniamu. Jangan buang buku buku dalam rak, ya. Rawat
terus bunga bunga. Akan tiba saatnya manusia luar biasa berlutut untuk
melamarmu dengan buku dan bunga. Akan ada yang nantinya menebus giwangmu. Aku
mau melihat Renjana yang cantik”
Dia
kecup keningku, sesuatu yang suatu hari nanti harus kukenang.
Dia
bisikkan sesuatu:
“Lihat,
Bapak dan Ibumu telah datang. Pulang ya, tidur yang nyenyak. Aku mau
memikirkanmu malam ini, kamu yang cantik jika tidur sebelum larut malam”
Aku
menoleh pada arah utara.
Kulihat
dua sosok manusia, satu bapakku yang tersenyum dan si sebelahnya seorang wanita
yang sibuk dengan tangisnya.
Berdiri
tenang, di pintu masuk pemakaman.
Menantiku
untuk pulang, memaksaku
untuk sadar jika aku sedang bercakap cakap sendiri dari tadi.
-
Malang
01.38/
Sunday 01 Oct 2017
Komentar
Posting Komentar