Batal
Aku
menemuinya lagi, entah untuk kali yang ke berapa.
Masih
dengan cara yang sama di minggu minggu yang lalu. Aku dengan senang hati
membawa tas isi komputer portable, menembus banyak rintik hujan, rela membuka
payung tuaku yang sudah setengah rusak demi bisa melihat matanya. Kadang kadang
aku berfikir betapa bodohnya aku, mau berlari lari menembus dingin demi
perempuan yang maha keras kepala ini. Aku rasa aku memang sudah setengah diguna
guna olehnya. Bagaimana tidak? Jika aku mati matian menolak kata hatiku untuk
bertemu, aku malah yang merasa semakin gila.
Sama
dengan seminggu yang lalu ketika kami bertemu. Gadis ini memakai jilbab warna
hijau pupus, sweater warna hitam senada dengan warna bawahannya. Entahlah,
perempuan ini kurasa sangat menyukai warna warna gelap. Sendu seperti matanya.
Aku masih kurang paham juga mengapa setiap kami bertemu dia pasti sedang dalam
keadaan yang sama, tenggelam dalam tangis.
Aku
datang dengan tergopoh gopoh. Sedikit merapikan mantel buluku sebelum
memutuskan untuk duduk di depannya. Mata perempuan itu memerah, bengkak.
Wajahnya yang sudah terlanjur manis menjadi pias. Tissu di depannya tinggal
separuh wadah, yang setengahnya telah basah oleh air mata.
Cukup
lama aku terdiam hingga akhirnya perempuan ini yang memulai pembicaraan.
“Mas, kami berpisah lagi”
Sudah
kuduga, pasti dia akan mengatakan hal ini.
“Aku merasa sangat lelah, tetapi
jauh di lubuk hatiku yang paling dalam sungguh aku tidak ingin melepas” katanya
sembari menarik tissue untuk kesekian kalinya.
Aku
sudah mengatakan padanya berkali kali bahwa memang tidak mudah untuk keluar
dari lingkaran hubungan cinta yang salah.
“Kali ini aku benar benar hancur
saat ia meminta agar kita beristirahat dalam hubungan. Apa aku ini tidak pantas
dicintai, Mas? Apakah hina bagi seseorang untuk sekedar mempertahankan hubungan
denganku?”
Dia
terisak kembali hingga tersedu sedu.
Aku
ingin sekali memeluknya, menenangkan hatinya.
“Aku bodoh ya Mas?” tanyanya, tanpa
perlu kujawab.
“Ini sudah berkali kali dan aku
masih saja ingin bertahan? Apa aku ini benar benar masokis?”.
Aku
membiarkannya hingga masih banyak lagi kalimat yang ia katakan. Berputar putar
pada hal yang sama. Dia lelah disia siakan, tetapi dia sangat menyayangi lelaki
brengsek itu. Kemudian ketika ada jeda beberapa detik ia diam, aku mulai
menanggapi dengan sangat hati hati.
“Iya, kamu bodoh”
Wajah
itu terangkat, matanya menghadapiku.
“Kamu berjuang mendapatkan kembali
apa yang sempat kamu punyai. Sedangkan dia tidak. Dia membiarkanmu mengambang di
awang awang tanpa kejelasan. Apa itu belum cukup menjadi alasan untuk
meninggalkan?”
Gadis
ini menempelkan tissu pada matanya satu satu. Meresapkan banyak air di sana
hingga membuat kertas itu basah, luber.
“Kamu mau saja dibodoh bodohi dengan
imajinasimu sendiri. Lelaki akan tetap menjadi lelaki. Dia berjiwa bebas.
Dengan caramu menahan nahan langkahnya seperti ini, kau merusak suasana
hatinya” aku berkata dengan masih terus membayangkan wajah lelaki itu dan ingin
menonjoknya di suatu petang.
Ingin
rasanya kucongkel bola manusia yang membuat gadis ini menangis. Dunia ini
terkadang begitu kejam. Ada manusia yang tulus mencintai namun disia siakan.
Ada yang main main, dicintai sepenuh hati. Lalu mengapa korbannya lebih banyak
perempuan. Nah kalau sudah tahu hati perepuan itu rapuh seperti besi yang
diangin anginkan bertahun tahun, berkarat dan mudah patah, mengapa ada saja
pihak pihak yang sebegitu sadarnya mempermainkan hal itu?.
Gadis
ini menghentikan tangisnya. Untuk sejenak larut dalam deretan huruf di ponselnya.
Tersenyum,
menghapus semua air matanya.
“Mas, dia bilang rindu padaku”
bisiknya pelan sekali, seolah ada beberapa pasang mata yang mengawasi gerak
gerik kami sejak tadi.
Kutelan
ludahku. Mengurungkan tangan untuk keluar dari saku mantel.
Sebuah
cincin emas urung bertemu si jari manis.
Batal.
-
Malang
05.43
Tuesday 20 February 2018
Komentar
Posting Komentar