Menemani Bapak
“Dhuk,
kopinya ayo segera bawa keluar” lamunanku buyar saat kalimat itu masuk ke
telingaku. Buru buru kulempar serbet ditangan lalu sedikit merapikan rambut.
Kupantaskan dulu senyumku sebelum hilang dari pandangan Ibu, menuju ruang tamu yang
meriah.
Ada
canggung yang tak habis kutelan selama kakiku melangkah. Gincuku di bibir
kusentuh sentuh sendiri dengan gesekan gigiku yang berangsur ikut gemetar
dengan tubuhku. Kebaya ini tak cukup longgar, aku hampir mati dibuatnya.
Hal
yang membuatku semakin gugup ialah keheningan yang tiba tiba menyergap saat aku
mulai membungkuk menyilahkan tamu untuk menjamah hidangan. Entah, aku tak
begitu memperhatikan dengan jelas beberapa bisik bisik yang tiba tiba lewat. Namun
sayup sayup kudengar mereka memuji sanggulku, sanggul yang Ibu pilihkan pagi
ini. Juga sedikit kalimat ‘Oalah, ayu tenan jebule*1’ yang tiba tiba
saja membuatku sedikit tidak nyaman.
Sebelum
aku tergoyahkan oleh sebuah tatapan yang daritadi tak lepas mengawasiku, aku
buru buru kembali ke bilik dapur.
Ibu
menyambutku dengan mata berbinar binar.
“Gimana? Ganteng kan anaknya Bulik
Ganis? Ibuk memang tak salah pilihkan buat kamu. Kamu suka kan?” tanya beliau
sembari mengusap usap bahu kananku. Aku menatap Ibu, ini bukan yang pertama
kalinya beliau melakukan hal yang sama.
“Nirin nggak tau Buk, udah Ibuk aja
yang keluar. Nirin malu” akhirnya kuletakkan nampan dan aku kembali mengurung
diri di kamar.
Ibu
tak bisa mencegahku jika sudah seperti itu, lambat namun pasti beliau kembali
pada riuh suasana ruang tamu. Menemui yang katanya calon saudara saudaraku,
entah jadi atau tidak.
Aku
kembali menuju tempat pengasingan, menatap cermin, mencopot sanggul dan mulai
mencabut bulu mata palsu. Habis sudah tissuku untuk membersihkan riasan. Kebaya
ketat ini kutanggalkan. Aku kembali menangis.
Kembali
pada rutinitas saat Ibu memutuskan untuk mencarikanku laki laki untuk kunikahi.
Aku
menangis, sejadi jadinya. Lama sekali.
Hingga
aku tertidur, hingga mobil mobil mewah itu keluar dari halaman.
-
Ketika
pagi buta, Ibu sudah tidak ada di rumah.
Saat
itulah bagiku untuk kemudian diam diam mengendap endap menuju deretan mawar,
memetik bunganya entah tiga atau empat untuk kurontokkan bagian kelopaknya. Tak
lupa kasturi gugenggam erat, aku berlari meninggalkan rumah. Tanpa sempat
mengenakan alas kaki, aku siap menumpahkan banyak cerita pada seseorang.
Aku
selalu menyambangi tempat ini, setelah subuh, semenjak Bapak ditanam di sini.
Kubersihkan
daun daun kering dari atas pusara. Menciumi nisannya yang terukir rapi sebuah
nama disana, nama yang menjadi nama belakangku saat ini.
Bapak
adalah satu satunya manusia yang akan membelaku, apapun yang terjadi. Juga saat
aku memutuskan untuk keluar negeri memenuhi mimpiku yang sedang mekar mekarnya,
Bapak adalah orang pertama yang mengiyakan. Meskipun aku tau bahwa Bapak dan
Ibu berdebat setiap malam setelah itu.
Kutaburkan
bunga bunga mawar yang kubawa. Aku tahu setelah ini Ibu akan mengomel,
menyalahkanku karena bunga bunga indahnya menghilang satu demi satu. Tak lupa kutuangkan air, merata. Kemudian aku
berdoa setelahnya.
“Dari dulu hanya Bapak yang tahu apa
yang Nirin mau. Aku sayang Bapak. Bapak pasti juga tahu kan apa yang Nirin
pikirkan saat ini?”
Aku
tersedu.
“Semenjak Bapak nggak di rumah,
Nirin tersiksa Pak. Nirin butuh Bapak”
Aku
tahu segala upayaku untuk mencoba ikhlas ini takkan bisa menjadikan Bapak
kembali di sisiku. Hari hari semenjak Bapak tidak ada adalah hari yang sangat
berat. Bahkan ketika aku sudah selesai dengan studiku, aku tak juga lekas
membaik. Aku seperti kehilangan arah. Juga peran Ibu yang sangat mendominasi
hidupku. Rasanya aku ingin ikut Bapak.
“Tetapi Nirin sudah bisa membuat
Bapak tersenyum atas gelar master yang Nirin persembahkan kan ya Pak? Bapak
suka kan?”
Angin
pagi berhembus pelan. Menyeduh kabut kabut dan membuat pandangan menjadi lebih
jernih. Embun berebut meluncur dari daun yang tertinggi, dan aku masih saja
merasa tertinggal dalam kehidupan.
Aku
berdiri, menuntaskan mawar yang kubawa. Kemudian menatap arah utara, sebuah
gubuk kecil yang kini tak berpenghuni.
Kuikat
lagi botol kasturiku, menyimpannya dari balik stagen*2.
Aku
pulang, meninggalkan Bapak.
Tetapi
aku berjanji akan menemani Bapak lebih sering daripada saat ini.
-
“Dua puluh enam tahun, dulu umur
segitu Ibuk sudah mengantarkan kamu masuk sekolah dasar” lagi, Ibu menyinggung
angka yang kini kuinjak. Tangan Ibu yang terampil mengepang rambutku sesekali
mengoleskan minyak kelapa. Rasanya sangat nyaman, sesuatu yang tak pernah aku
rasakan selama tiga tahun belakangan.
“Waktu Ibuk menikah dengan Bapak,
sebenarnya ada juga keinginan Ibuk untuk melanjutkan sekolah lagi. Tetapi,
nenekmu itu lumayan cerewet. Sampai sekarang masih juga begitu. Jadi Ibuk tidak
bisa menjadi seberuntung kamu, Ndhuk”
Aku
masih saja diam, membisu sembari memainkan ujung kemeja yang kupakai.
“Ya tapi, suatu keuntungan juga sih
Ibuk menikah muda. Umur segini sudah bisa melihat kamu dewasa, meskipun tanpa
Bapak. Ibuk selalu bangga Ndhuk sama kamu, kamu harus tahu hal itu” kata beliau
lagi. Ketika ikatan terakhir selesai, Ibu menutup botol minyak kelapa kemudian
menghadapi wajahku yang terus menunduk.
“Ibuk selalu sayang sama kamu,
Nirin. Tetapi Ibuk ndak bisa untuk membebaskan kamu selayaknya Bapak. Ibuk
punya cara tersendiri untuk menjagamu. Ibuk ini, punya naluri perempuan. Sama
dengan nenekmu, sama dengan Ibu Ibu dimanapun di sudut dunia ini. Ibuk ingin
kamu menjadi yang terbaik, didampingi oleh orang orang yang baik pula, Ndhuk
Cah Ayu*3”.
Aku
masih saja diam.
Aku
mengerti setinggi apapun studi yang telah kujalani bertahun tahun tidak akan
mengubah tradisi di keluarga ini. Membantah orang tua sama saja mendekati
neraka. Aku hanya bisa berkeluh kesah pada ruang yang kubangun sendiri. Lalu
kemudian diam diam menyesal mengapa dilahirkan dalam keluarga ini.
“Apa itu juga berarti Yoshi bukan
orang yang baik di mata Ibuk?”
Ibu
menatapku tajam, kemudian membalikkan wajahnya. Memandang arah lain,
menghindari kejaranku.
“Sebaik baiknya manusia macam dia
masih banyak yang lebih baik. Sebentar, Ibuk ada urusan yang lebih penting.
Jangan lupa lulur bengkoang sudah Ibuk racikkan di atas meja” selalu seperti
itu, Ibu menghindar jika aku mulai merengek untuk membahas seseorang.
Seseorang
yang aku cintai.
-
Sebenarnya
pertemuanku dengan pemuda itu tidak terhitung dalam skala pertemuan yang manis.
Aku
adalah gadis lemah yang masih saja larut dalam kesedihan ketika di hari itu
Bapak meninggalkanku dan Ibu. Ketika seluruh kerabat dan sanak keluarga telah
berangsur angsur meninggalkan pemakaman, aku masih saja tersedu sedu di atas
pusara Bapak.
Bahkan
Ibu juga tidak dapat membujukku untuk kembali ke rumah. Aku adalah manusia yang
keras kepala, aku tak mau diganggu kala itu. Tekadku satu, aku menemani Bapak.
Ketika
aku benar benar di tempat itu sendirian, merenungi segala hal yang tak bisa
kembali aku terpaksa mengalah pada cuaca. Air secara tiba tiba seperti
ditumpahkan dari arah langit. Mengguyur segala hal. Mau tidak mau aku melangkah
ke sebuah gubuk reyot di sudut makam. Dengan tertaih tatih karena perih ilalang
yang pelepahnya menikam kaki, aku akhirnya sampai.
Hampir
saja aku berteriak ketika secara tiba tiba ada tangan yang mengulurkan sapu
tangan. Tetapi kemudian urung karena sadar bahwa tangan itu adalah bagian tubuh
manusia asli, asli dan masih hidup. Menyuruhku mengelap pakaianku dengan
kainnya kemudian mempersilahkanku duduk.
Kami
duduk di atas dipan berderit yang entah ada kecoaknya atau tidak. Lelaki ini
menyulut rokoknya, menghisapnya dalam dalam kemudian membiarkan asapnya luruh
bersama udara. Diantara rasa takut yang bergumul menjadi satu dalam dadaku, aku
patut berterimakasih pada orang ini. Setidaknya ada sedikit kedinginan yang
kumusnahkan ketika aku berteduh di gubuknya.
Dua
puluh menit berlalu, hujan tak juga reda.
Kami
saling terdiam, dia sibuk dengan rokok di bibirnya.
“Terimakasih” kuulurkan kembali kain
itu padanya. Aku tidak berani menatap pemuda itu, takut.
“Buat kau saja, hanya itu yang bisa
kuberikan” jawabnya, tanpa memandangku.
Kutarik
kembali tanganku.
“Kau pasti bagian keluarga yang
sedang berduka tadi pagi” tebaknya.
Aku
mengangguk.
“Bapakku yang berpulang” jawabku
pelan.
Dia
menghisap rokoknya dalam dalam.
“Dia orang yang seperti apa?”
tanyanya.
Entah
apa yang membuatnya ingin tahu, mungkin dia hanya sekedar basa basi. Namun aku
selalu menceritakan perihal Bapak dengan bersemangat. Hanya beliaulah satu
satunya hal di dunia ini yang bisa aku banggakan.
“Aku tak pernah belajar prihal surga
dan neraka, namun kuharap dia meringkuk di surga di kemudian hari” katanya
sambil mengakhiri rokoknya yang tinggal setinggi ibu jari. Dilemparkan ke
tengah hujan yang sedang intim intimnya mengamuk pada bumi.
Aku
menyempatkan kata ‘Aamiin’ sebelum kemudian berani melihat wajahnya.
Setelah
itu aku tak ingat telah menceritakan apa saja padanya.
Aku
hanya tau, dia memiliki warna mata hazel.
Indah.
-
“Ibuk mau ajak aku kemana?” aku
terkejut saat Ibu tiba tiba saja membangunkanku pukul tiga pagi dan beliau
tidak segera keluar dari rumah. Ini berarti aku tak bisa menemui Bapak hari
ini.
“Nanti kamu juga tau”.
Cepat
cepat kami bersiap dan kemudian meninggalkan rumah dengan tergesa. Aku masih
belum paham ketika Ibu memutuskan untuk tidak melewati jalan dekat makam
padahal jalan itu adalah jalan paling umum yang bisa dilewati.
Aku
tidak lagi bisa mengingat kejadian di hari itu dengan jernih. Aku hanya tau
bahwa semenjak hari itu aku tidak bisa menemui Yoshi. Gubuknya menghilang.
Bangunan itu raib bersamanya, entah kemana.
Aku
ingat bahwa di hari hari sebelumnya, Ibu pasti sudah mendengar bahwa aku mulai
menjalin cinta dengan pemuda tak berbapak ibu itu.
Ibu
pasti murka.
-
Ini
adalah tanggal ke enam belas, bulan ke tiga.
Hari
ulangtahun Bapak.
Kembali,
Ibu membawakan seorang lelaki yang tak kukenal. Memintaku membuatkan kopi dan
menyajikan kue kue manis buatan Ibu.
Kembali
aku mengenakan sanggul, lengkap dengan hiasan bunga. Kembali aku melukis alisku
dan memasang bulu mata. Kembali aku bersikap manis, menghidangkan benda di
nampanku dengan berbungkuk sopan.
Namun
begitu, aku juga kembali ke balik bilik. Tak mau bersusah payah menghadapi tamu
meskipun kali ini Ibu memaksa.
Masih
ada secangkir kopi di atas meja makan yang sengaja kusisakan, tadinya ingin
kuberikan pada Ibu.
Namun
urung.
Kopi
itu kutenggak sebelum memasuki kamar.
Aku
ingat satu hal, telah kuaduk sempurna kopi itu dengan serbuk Polonium.
-
Malang
06.43
Tuesday
13 February 2018
Note:
1. Ayu
tenan jebule (B. Jawa) : Aslinya benar
benar cantik (kalimat pujian).
2. Stagen : kain
panjang yang dililitkan di perut, tradisi orang jawa jaman dahulu agar perut
terlihat ramping.
3. Ndhuk
Cah Ayu : Ndhuk
(panggilan untuk gadis) anak yang cantik.
Komentar
Posting Komentar