Ibu
Rindu pulang.
Aku
bilang pada Mas Ranu aku harus segera pulang.
“Kangen
Mas, sudah tidak dapat kutahan lebih lama. Aku mau jadwal paling pagi besok.
Semua perlengkapan Naura lima hari ke depan sudah siap. Sudah kupisah pisah
pula apa yang harus dia bawa dari selasa hingga jumat. Aku pulang sabtu sore
dari sana” kusambar piyama dan mulai memejamkan mata. Aku sempat menangkap raut
kegelisahan dan rasa tak rela dari mimik Mas Ranu, tetapi kemudian ia cium
keningku. Mengucapkan selamat malam dan merapatkan selimut sejurus kemudian.
Paginya
aku benar benar meninggalkan rumah ketika putri kecilku belum sempat memanggil
untuk meminta peluk. Aku sudah bilang akan kembali secepatnya ketika sakitku
sudah membaik. Bukan aku tak peduli akan keadaan anakku yang membutuhkan ibunya
sebelum memulai hari hari yang panjang. Aku hanya tak bisa menolak keadaan yang
menjeratku.
Aku
rindu Ibu.
Tidak,
tidak pernah aku merasa seburuk ini dalam menanggapi perasaan. Dulunya aku
sering menekannya kuat kuat. Membiarkan aku menahan rasa hingga penghujung
tahun, cuti hari natal. Atau juga hanya mampu kulampiaskan saat hari raya,
kumpul bersama, menikmati senja dengan seduhan teh dan senda gurau yang biasa.
Tetapi
kali ini, aku bahkan tidak mengenali perasaanku sendiri.
Dalam
dinding pesawat, aku mengutuk hari hari yang telah lalu.
Mengapa
aku harus bersedia meninggalkan ibu di hari tuanya? Menikmati renta yang
menggerogoti tubuh. Membiarkannya berambut kusam, melewatkan keriput di
wajahnya, menghindari tatapan matanya yang tak lagi jelas?.
Aku
butuh pelukan ibu saat ini.
Lalu
aku ingat Naura.
Kembali
kukutuki diriku sendiri yang belum bisa menjadi sempurna untuknya.
“Nak,
Ibu akan kembali dalam keadaan yang jauh lebih baik. Ibu janji” kataku penuh
hikmat pada jendela pesawat, aku akan segera kembali.
-
Ketika
membuka mata, yang pertama kali kulakukan ialah memastikan bahwa Naura dalam
keadaan baik baik saja.
“Mas?
Sudah bangun? Jangan lupa seduhkan bubur ya. Minta tolong Mas” buru buru
kuterobos hiruk pikuk bandara Soemarmo pagi itu. Masih pukul sepuluh pagi, jam
jam nya Naura terbangun.
“Iya.
Sudah kumandikan Naura. Kamu sudah sampai?”
“Mas,
jangan lupa susunya nanti ya Mas. Buburnya jangan terlalu encer, Naura nggak
suka” tak kuhiraukan pertanyaan Mas Ranu sebelumnya. Pikiranku mendadak
berpusat pada manusia kecil yang telah melahirkanku menjadi seorang ibu, Naura.
“Iya
sayang, kamu jaga diri baik baik. Salam buat Ibu, jangan lupa cek barang barang
bawaan”.
Kututup
sambungan telepon.
Mencari
taksi untuk segera sampai di rumah, aku harus segera memeluk penghuninya saat
ini.
Aku
tak bisa duduk dengan tenang meski jalanan Kota Solo terhitung lengang. Berkali
kali kutelfon nomor Ibu. Tak terjawab. Perasaan khawatir tumpah ruah di dadaku.
Ibu, aku rindu.
Sudah
setahun ini kukatakan pada Ibu untuk tak usah mengurus ladang. Semuanya telah
kuatur, ada pekerja setiap hari. Aku ingin di hari tua Ibu lebih banyak
menyenangkan hatinya di rumah. Meski tanpa hiasan tawa cucu cucunya yang jauh
di perantauan, aku tak ingin Ibu menjadi lelah. Di ujung senjanya sudah cukup
beliau merasakan jarang dikunjungi anak perempuannya ini, jangan lagi beliau
terbebani dengan tanggung jawab ladang. Aku mau Ibu beristirahat, sebagai wujud
bakti dan sedikit penebus dosa dosaku atas waktu yang tak dapat kuluangkan.
Memasuki
halaman rumah aku disambut gemericik air dari keran. Pelan kudekati sosok itu,
memeluknya dari belakang dengan menumpahkan isak yang tak dapat kutahan.
“Ibuk,
Sekar pulang” kataku.
Ibu
terkejut melihatku. Kami saling memeluk, air mata kami meleleh.
“Ibuk,
Sekar kangen” kataku lagi.
Jilbabku
ikut basah oleh karena air di wajah Ibu yang berpindah pada kain penutup
kepalaku.
“Ndhuk,
kamu ngapain di sini?”
Kucium
punggung tangan Ibu. Diusapnya pundakku. Ketika aku akan memeluk lagi, bibir
Ibu menanyakan dengan lebih jelas:
“Kamu
tinggalkan Ranu dan Naura demi bertemu Ibu?”
Aku
mengangguk.
“Ndhuk,
Ibu tidak pernah meninggalkan kamu waktu kecil dulu”
Kutatap
sepasang mata Ibu. Ada sedikit marah di sana. Aku dapat menginderanya dengan
sangat baik.
“Ndhuk,
kok tega kamu tinggalkan Naura? Ndak kasian sama Ranu? Aduh Nduk, suamimu itu
juga kerja lho”
Ibu
pasti ingat bahwa aku adalah manusia paling keras kepala. Tetapi tak sekalipun
aku diajari untuk membantah kata suami. Ada nada cemas dari kalimat beliau,
mungkin takut aku pergi ke sini tanpa izin dari Mas Ranu. Atau kemungkinan
terburuknya, Mas Ranu terpaksa mengizinkan karena aku terus merajuk.
“Aku
kangen sama Ibuk”
Kupeluk
tubuh Ibu lagi.
“Sudah
telfon suamimu?”
Aku
mengangguk.
“Ndhuk,
sudahkah Ibu bilang padamu bahwa surga istri terletak pada ridho suaminya?”
Aku
mengangguk lagi.
“Ibu
lebih baik tak kau jenguk, daripada kau tinggalkan tanggung jawabmu sebagai
seorang ibu. Naura lebih membutuhkanmu, Ndhuk. Suamimu lebih utama saat ini.
Tolong mendewasalah”
Aku
tertegun.
Menyesali
detik detikku sebelumnya yang kutahan tahan.
“Nanti
aku mau bicara sama Ranu, jangan lagi ijinkan kau pergi dengan tergesa gesa
seperti ini. Tidak...”
Belum
tuntas kalimat itu meluncur, kupeluk tubuh Ibu. Meraung raung pada pelukannya. Mengingat
betapa setianya Ibu pada sosok Bapak meskipun pada akhirnya mereka tak hidup
dalam biduk yang sama. Kembali mengenang kala Ibu menasehatiku berkali kali
jika aku sedikit nakal dan banyak memaksa Bapak untuk pulang ke rumah kami.
“Ibuk
hanya tidak ingin nanti Ranu meninggalkanmu seperti yang dilakukan Bapak pada
Ibu, Nduk” katanya dengan pelan. Mengelus punggungku.
“Peliharalah
baik balik suamimu itu. Surga ada di tangannya. Menurutlah pada ia yang menjadi
nahkoda rumah tanggamu kini. Bukankah sudah kukatakan berkali kali?”.
Aku
semakin tersedu.
“Naura
butuh Bapaknya, dalam segala hal. Jangan kau kira ia bisa semandiri kau, lalu
mulai sejak dini kau perlakukan dia seperti itu. Tetap akan beda rasa sentuhan
ibu dengan bapak, kau adalah yang masih menyimpan kepingan surga Naura pada
telapak kakimu. Pergilah pulang dan lakukan kewajibanmu sebagai istri”.
Aku
semakin terisak.
Lalu
aku menyadari satu hal.
Mungkin
aku hanya rindu nasihat nasihat Ibu.
Tetapi
aku lebih rindu lagi kini,
Dengan
tatapan Mas Ranu, yang melepasku dengan berat hati pagi ini.
-
Malang
11.48
Wednesday
07 February 2018
Komentar
Posting Komentar