Senja




Saat ini aku sedang hidup di era di mana orang orang berlomba lomba menjadi yang paling ‘nyeni’ dengan memuja muja kata senja, kopi, kenangan, dan tumpukan kata kata manis walaupun kadang kadang membuat geli.


Tulisan ini dibuat pada pukul sebelas kurang, di sebuah kamar yang damai. Kota Malang, hari Jumat, tangga 12 April 2019. Dengan iringan sebuah lagu berjudul Lara, dari sebuah grub band indie bernama Dialog Senja.


Di sini, izinkan aku sebagai tuan suku blog ini memberikan persektif yang sedikit berbeda tentang dunia per’senja’an yang kabarnya sedang naik daun. Ini semua tentang aku, duluku, kini dan yang akan datang.


Jika senja di kota kota identik dengan kegiatan bersenda gurau dengan pasangan, teman, ataupun sahabat berjuang di sebuah warung kopi. Obrolan tentang sastra, budaya, teknologi, gosip terkini, ataupun hobi dan aneka warna perkembangan finansial, senja di desa tak akan pernah sama. 


Senja untuk orang muda adalah kebebasan yang mewah. Sebuah upaya menikmati ciptaan Tuhan juga untuk menghabiskan jatah kiriman orang tua. Sedang bagi orang orang di luar sana, senja adalah sebuah ‘batas waktu’ dimana kehati hatian digulirkan. Senja tak kan pernah sama dalam kacamata orang yang berbeda.


Bagi bapakku, senja adalah waktu yang tepat untuk pulang. Sapi sapi di rumah sudah menunggu. Juga ada teh panas buatan ibu, ubi rebus, atau apapun yang dapat menuntaskan lelah. Senja bagi bapak adalah waktu untuk mencapai puncak ketenangan melewati pematang sawah, membawa sekarung rumput, juga mungkin pepaya matang untuk dihadiahkan pada anak anaknya.



Sedangkan bagi ibuku, senja adalah waktu untuk memastikan segalanya telah tepat pada tempatnya. Nasi sudah siap, sayur sudah dipanasi, rumah telah rapi. Senja adalah waktu terbaik untuk memarahi adikku yang susah disuruh mandi. Bagi ibu, waktu senja merupakan detik detik paling berat di mana bayanganku tiba tiba muncul. Kala senja, ibu berdoa untukku. Semoga aku baik baik saja di manapun aku berada.



Bagi orang orang desa, senja adalah kedamaian menata hidup. Tidak ada kalimat kalimat puitis dalam makan malam mereka. Tetapi senja bagi mereka adalah pengingat bahwa akan selalu ada hari esok yang mungkin lebih baik. Tak kan ada cemas selama gudang masih dihuni oleh berkarung karung padi, jika hujan masih bisa dibaca kapan datangnya sehingga musim tanam bisa dilihat hilalnya. 


Orang Jawa menyebut senja dengan kata ‘surup’. Waktu di mana anak anak dimasukkan ke dalam rumah, tidak boleh bermain main di luar karena bisa kena sawan. Sedangkan untuk anak anak ibu dan bapakku, senja adalah waktu menjelang rutinitas mengaji dan merenungi hidup.


Meskipun kini, senjaku diisi oleh hal hal baru. Salah satunya adalah kamu.



-
Dariku, yang sedang bingung mau nulis apa.

Komentar

Postingan Populer