Kemarau





Musim kemarau. Bongkah tanah terpecah pecah. Tak ada air untuk sekedar membiarkan umbi singkong merekah. Juga hawa dingin yang berjingkat kala matahari menyingsing digantikan oleh panas yang dibawa angin dari lautan. Tak ada yang mengira hidup di sini seperti apa, hampa.


Musim ini padi tak cukup menyenangkan, apalagi mengenyangkan. Serangan wereng batang coklat. Tak banyak yang mengerti ini adalah dampak mencekam dari penebangan liar kawasan hutan buatan di pinggir desa. Sepuluh bulan lalu dibabat, hampir habis. Memang hanya petinggi dan aparat desa yang terlibat langsung, tidak lebih dari karena kurangnya edukasi ekologi. Manusia lainnya mengais ranting, sekedar untuk menyalakan bara api di tungku rumah. Sudah cukup bagi mereka mendapat remah remah, tak ingin juga ikut ditangkap polisi jika kasus ini diusut.


Tidak akan menjadi masalah besar bagi warga yang tak menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun akan berbeda dengan mereka yang susah payah membangun dinasti dan pengharapan pada sekeping biji. Bulir bulir yang kabarnya bisa digantikan dengan uang. Akhirnya menjadi pil pahit, modal tidak kembali. Merugi tiada henti.


Angin musim kemarau terlampau panas di siang hari. Cerah memang, tak cocok untuk digunakan keluar rumah. Terpaksa, jika sapi sapi merengek minta rumput. Musim paceklik seperti ini tidak ada tempat bahkan untuk meminjam uang, semuanya serba mahal.


            “Ibuk sih pasrah Ndhuk. Memang sawah dan rumah ini bukan milik Ibuk. Terserah Pakdhe Pakdhemu itu yang lebih berhak. Ibuk tak punya kuasa”
Kuseruput isi cangkir di depanku. Bukan kali ini saja aku mendengar bahwa ada kerabat yang minta warisan segera dibagi. Rumah ini, reyot. Namun memang bukan punya kami. Sekalipun telah delapan belas tahun lebih aku meninggalinya, meskipun dari lahir hingga kini Ibu juga tak pernah beranjak dari tempat ini.


            “Amanahnya Buk?”


Ibu menggeleng, aku yakin lebih karena tidak tahu jawaban yang tepat.


Aku terpekur. Masih menjadi mahasiswa tingkat tiga aku tak punya cukup uang untuk menyarankan kami sekeluarga pindah. Aku masih punya eyang yang lain. Tapi bukan berarti menggampangkan kata ‘pindah’ yang tak pernah terpikirkan.



Dulu waktu eyang putri masih hidup, beliau bilang semua buat Ibu. Bukan tanpa alasan, tetapi karena Ibu lah satu satu nya yang mampu merawat eyang kakung dan eyang putri hingga ajal menjemput. Sementara kakak kakak Ibu yang lainnya telah lama meninggalkan rumah, mencari penghidupan di lain pulau. Lebih sejahtera, lebih kaya raya. Ibaratnya Ibu tak punya apa apa dibandingkan tempat yang kini kami tinggali.


Dan kini, semuanya diungkit.


Sementara wasiat harus ditunaikan sebelum membagi warisan, seharusnya. Dalam ajaran agama yang kami anut, itu jika semua anggota keluarga mau ‘manut’.



Perbincangan macam ini adalah suguhan rutin setiap aku pulang ke rumah. Sebelum Ibu berangkat ke sawah, mencoba menyambung hidup agar tak redup. Kadang aku malu, aku tak bisa ikut serta. Bahkan sering hanya duduk duduk di depan televisi, sambil sesekali sok berideologi.



Ini musim kemarau, tetapi suara tak boleh parau. Jika aku boleh berandai andai sedikit, hmm betapa indahnya hidup sejahtera di kota. Kubangun bisnis raksasa, kuboyong keluarga dari tanah ini. Aku tak suka berebut, biar tak jadi ribut. Seandainya aku ini milyader di usia muda, pasti mudah bagiku menyelesaikan perang dingin ini.


Ah, aku tak paham mengenai hal hal yang harus diselesaikan oleh orang dewasa seperti itu. Namun jika kuingat betapa aku mengenal apa itu nikmat isi cangkir yang penuh dengan air hitam yang bernama kopi itu di rumah ini, tiba tiba aku merasa sedih. Tertusuk haru luar biasa. Bagaimana mungkin aku tega menjual kenangan pahit manis masa kecilku demi sebuah ‘perdamaian keluarga besar yang haus pembagian harta?’ Ah, lagi lagi aku bermimpi menjadi seorang milyader, biar segera kuangkut Bapak dan Ibuku ke planet mars yang damai tanpai tikai.



Jika boleh dirunut, sungguh Ibuku adalah manusia paling penurut dan sama sekali bukan penuntut. Dilahirkan dengan cerdas namun tak ada kesempatan meneruskan ke perguruan tinggi. Tak menyerah, merantau ke Jakarta. Namun entah akal bulus atau desakan fulus, Ibuku mau dibujuk untuk kembali ke desa yang kemarau ini. Hidup serba kekurangan dengan Bapak dan Ibunya yang menjadi kedua eyangku. Mengurus sawah, merawat ladang, membersihkan pekarangan yang luasnya cukup memeras keringat. Ibuku setabah tabahnya manusia, tapi inikah balasannya?.


Lalu sedikit demi sedikit, ketika rumah dengan bahan full kayu jati yang katanya bernilai investasi cukup mahal ini berdiri kemudian dua puluh tahun setelahnya kedua eyangku berpulang. Tidak meninggalkan apa apa kecuali wasiat tak tertulis yang sebetulnya telah disepakati ke enam anaknya yang budiman. Rumah, sawah, pekarangan yang luas itu milik siapa pun yang menjaga eyang. Meskipun Ibuku juga punya tanah sendiri kemudian, jaga jaga katanya, untuk diwariskan padaku (mungkin).



Desa ini kemarau, desa ini tak banyak uangnya.


Dan begitu mirisnya ketika dengan keadaan serba kejepit ini, apa yang ada harus dibagi bagi, dipecah pecah, demi nama keluarga.



Ah, aku masih seorang anak kecil yang tak paham apa apa.


Aku mau jadi milyader, lalu kubangunkan istana buat Ibuku. Ada ladang kecil di samping rumah, kolam ikan, gazebo full wifi kemudian mushola kecil yang ada air mancurnya di depannya.



Ibuk, tunggu aku sukses. Akan kubuatkan rumah penuh kenangan dan kesenangan, aku mencintaimu.


-


Malang

20.20 WIB 1 Sept 2017


Untuk Ibuku, semoga sehat selalu.


Komentar

Postingan Populer