Teruntuk yang Hidup dalam Puisi Puisiku



Aku masih saja setia mendalami puisi. Satu satunya hal yang kutahu, kau menyukainya. Jauh sebelum aku memutuskan untuk jatuh cinta (kembali), aku telah banyak menulis itu demi menyenangkan hatiku. Bukan apa apa, setidaknya hanya hal itu yang kubisa.


Aku sibuk memikirkan banyak hal. Menyempatkan menulis puisi di ujung jam tidur merupakan salah satu hal yang kusyukuri karena dengan itulah aku memperlakukan indra perasaku dengan baik. Aku masih setia pada sajak sajak yang bersliweran dalam lini masa. Membacanya berulang ulang. Mendeteksi maknanya dengan pengetahuan sastraku yang dangkal. Atau bahkan menuliskannya kembali dengan segala intuisi yang kumiliki.


Kadang kadang ketika menulis itu, ada banyak bayangan yang tiba tiba hadir. Seolah aku menulis rentetan huruf huruf itu demi eksistensi mereka. Aku lebih banyak menyukai saat dimana Bapak yang hadir. Yang kutahu, aku tak punya memori ‘menyakitkan’ selama mengingat beliau.



Kadang kadang juga, ada seseorang yang sudah lama kuenyahkan dari alam pikiran. Manusia yang dulunya sering kubatin ‘Duh, semakin ganteng saja orang ini’ padahal kami sudah tidak pernah berkirim surat atau kabar lewat media sosial. Bukan karena aku masih cinta, mungkin aku hanya mengingat dia sebagai satu satunya orang yang dapat membuat jantungku serasa mau berlari dalam jarak lima puluh meter. Atau juga, mungkin karena butuh waktu bertahun tahun untuk melupakan lelaki itu, karena seringnya kita satu sekolah. Atau juga, karena dia menyandang predikat sebagai orang pertama yang ‘nakalnya’ bikin aku tetap betah berlama lama memandangnya dari jauh.



Kadang kadang juga, muncul seseorang yang dari dulu kukagumi namun tak diizinkan Tuhan untuk aku mendekat padanya. Dia muncul dengan proporsi paling banyak di satu waktu. Warna bayangannya jingga atau kadang kadang ungu gelap, warna kesukaannya. Kadang dia hadir seolah olah ingin mengajakku untuk berani mencoba, seperti mengulurkan tangan. Seperti ingin mengajak menari nari. Yang kuingat, dia menyukai dunia fotografi. Kadang kadang aku membayangkan suatu pagi langkahku berada di peron Stasiun Lempuyangan, dan  kudapati dia melambai setelah mencari cariku. Kami menikmati pagi dan saling memeluk. Dia katakan ‘Terimakasih ya sudah mau menjadi pendamping wisudaku’. Aku tersenyum, dia sentuh puncak kepalaku. Meski semua itu hanya khayalan, yang kutahu ini adalah tahun terakhirnya menjalani studi sebelum kemudian menyandang sebuah gelar sarjana.



Kadang kadang, aku menjadi ingat pada diriku sendiri. Banyak puisi yang menggambarkan aku. Aku semacam larut di dalamnya. Hilang bersama rintik diksi dan rima. Hanya saja, aku tak menemukan siapa siapa di sana. Mabuk seorang diri.


Aku rasa aku memang sedang dilanda kebingungan akan banyak puisi yang tercipta dari jemariku. Akankah aku benar benar menyukainya atau hanya sekedar ‘bentuk pelarian’ ku setelah aku lelah dengan kenyataan bahwa aku bukan ‘orang sastra’?.



Namun begitu, boleh aku berprasangka baik. Mungkin saja ada manusia yang kemudian mengenal karakterku dari tulisan. Mungkin saja ada manusia yang sependapat denganku bahwa sastra itu menjadikan banyak luka menjadi aksara yang bermakna. Sakit hati menjadi rapi, bahagia seperti menembus angkasa. Mungkin saja ada manusia yang ‘menikmati’ karyaku dan mendapatkan kelegaan. Sesuatu yang tak harus didapatkan dengan membayar royalti, beda ketika nanti aku sudah mengemas seluruh puisiku dalam sebuah buku.



Pada akhirnya, aku tetap setia.


Walaupun aku baru mengenal karya sastra model itu semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Terus menuliskannya adalah satu satunya cara untuk mensyukuri nikmat ‘kepekaan’ akan kata kata yang diberikan oleh Tuhan. Meskipun kadang, perlu banyak ‘paseo’ untuk mengelap keyboard yang bersimbah air mata.



Pada akhinya, ini seperti bukan lagi pertanda cinta. Namun sebuah hubungan berkelanjutan, aku dengan masa lalu, aku dengan masa sekarang dan aku dengan masa depan.



Meskipun, dalam puisiku ada beberapa manusia yang hidup di dalamnya.


Dan mereka tidak pernah tau akan hal itu.


Aku akan tetap setia pada apa apa yang sanggup memuaskan perasaanku.


Apa apa yang dapat membuatku lega.


Lewat puisi, kuharap dapat mempertemukan kita kembali.


Kita,


Aku dan,



Entah hati yang mana.


-


Malang
00.14 / 01 Oct 2017

Komentar

Postingan Populer