Dua





Matanya berbinar.


Tetapi kemudian kembali meredup. Aku paham bahwa kabar ini begitu menyusahkan hatinya.


“Saya hanya menyampaikan, Ukhty” kataku kemudian. Ikut menunduk, menghormati rasa kecewa yang kuberikan padanya di senja yang damai itu. Sempat kulihat bibirnya mengucap sesuatu.


Pelan, dia tersenyum. Singkat sekali, namun mampu menggetarkan hatiku. Lesung pipitnya yang manis kembali merata, hilang dalam pipinya yang sedikit gembil.


Ketika ia menutup pintu aku melangkah gontai dari halaman rumahnya yang hangat. Mungkin hari itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan gadis manis berkerudung lebar nan anggun itu. Tugasku telah selesai, meski dapat dikatakan gagal.


Undangan masih bertumpuk pada ransel kotakku. Aku harus bergegas, sebentar lagi hujan mengganas.


Dari balik jendela rumah yang kutinggalkan, sayup sayup terdengar isak yang mengeras.

-


Lima hari setelah Mas Danu melangsungkan pernikahan, aku kembali kepada rutinitas sebagai mahasiswa tingkat akhir. Meski tak dapat kupungkiri jika aku masih terbayang bayang akan rona wajah seorang perempuan muda yang wajahnya tak habis dikatakan cantik, tertimpa cahaya lampu walimahan tempo hari. Kusut kusut di sekitar matanya masih dapat kuindera dengan baik meski riasannya menebal. Aku masih ingat jika ia adalah orang yang baik, orang baik yang sedang merasa kehilangan orang baik.


Sayu benar kulihatnya ketika erat tangan Mas Danu menjabat jemari penghulu di kala itu. Dari wajahnya yang pias, aku menangkap rasa ikhlas yang dipaksakan. Entah karena dia sudah mulai sedikit ‘meracuni’ perasaannya sendiri dengan cekokan ‘bahagia yang dibuat buat’ atau yang lainnya. 

Siang itu Mas Danu melepas masa lajangnya, sekaligus melepas ingatan pada gadis bermata indah yang sedang mengawasinya dalam pesta itu.


Tak urung, diusapnya titik titik air dari sudut matanya.


Dua puluh menit kemudian gadis itu berlalu, pamit kepadaku dengan senyuman yang masih ia paksakan.


“Bilang selamat pada Abangmu, Ya Akhi. Saya pamit dulu, oiya.. aku tunggu dan berharap kau segera menyusul untuk menyempurnakan separuh agama seperti Bang Danu” katanya, masih dengan binar mata yang tiada duanya.


Aku mengangguk berat. Tanpa menjabat tangan, tanpa sepatah kata pun. Hanya senyum, aku sungguh tak dapat berkata kata.

Seperti dijalari oleh kesedihan yang ia rasakan, aku ikut ikutan seperti sedang ditinggal kawin.


Lambat, kuikuti langkahnya menuju pintu keluar. Masih sempat wajah cantiknya menegok sebentar ke arah Mas Danu, seseorang yang pernah ia harapkan menjadi pendampingnya.


Kuhela napas berat.

Aku kehilangan sesosok calon kakak ipar nan shalihah.


Lima hari setelahnya hingga hari ini, aku tak bisa menemukannya lagi.


Mbak, semoga digantikan dengan yang lebih baik dari abangku ya.


-


Lima derajat.


Dari Nagoya University, merambat hingga kedai kopi langganan. Udara mendingin, salju bertebaran membuat bibir membiru.


Daun daun pohon maple mengkristal, persis seperti ditaburi gula pasir.


Aku bergegas melangkah, ada sebutir apel menungguku di dalam sana.


            “Hello Yunma, how do you do?” gadis itu memelukku hangat. Sebuah sambutan yang tak kuduga. Tak urung aku membalas pelukannya. Menghormati langkah panjangnya yang telah mempertemukan mata kami berdua.



Tak kusangka, dia tau apa yang ingin kupesan.


            “Aku tahu kamu kangen banget sama pie apel” katanya dengan ekor mata yang melirik genit. Disodorkan piring kecil itu padaku sesaat setelah seorang pelayan menghampiri kami untuk mengantar pesanan. Aksen bahasa inggrisnya yang lucu lengkap dengan gigi gingsulnya cepat melelehkan suasana beku. Sesaat aku merenung, kapan terakhir kali aku bertemu gadis ini?.


            “So, ada rencana pulang ke Indonesia?” tanyanya hangat, sesaat setelah memsaukkan potongan cake ke mulutnya. 


Aku mengangguk, lalu tertawa. Aku tak tahu akan pulang kapan.


            “I do, masih cinta banget sama negara ini. But, I miss pecel lele so much. Don’t you, Yunma?” tanyanya dengan nada menggemaskan. Rambut ikalnya ikut bergerak pelan saat ia mendekatkan wajahnya padaku.



Aku tersenyum, ya Marri. Aku rindu. 



Kami saling terlibat dengan hal hal menarik. Mengulang kejadian kejadian lama waktu kami disatukan pada atap yang sama. Saling berebut hadiah menulis tingkat sekolah. Bersaing dalam hal apapun kecuali olahraga. Kami saling berkunjung setiap dua minggu sekali di rumah masing masing. Mengulang ulasan tentang mimpi mimpi panjang yang kita bangun bersama sama hingga akhirnya kita memilih untuk berjalan sendiri sendiri.



            “Do you miss Me, Yunma?” tanya gadis itu. Menggeser posisi duduknya agar lebih dekat padaku.


Hal yang paling aku takutkan. Sesuatu yang lambat memisahkan kami. Aku tahu hal itu, tetapi aku memilih untuk diam. Memilih agar tak ada yang tersakiti oleh apapun dan siapa pun. 


            “Errr, Yeah I think I really...”

            “You lie” lesu, Marri menundukkan wajahnya yang berangsur pias.

Aku menghela napas panjang. Mencoba menetralkan detak jantung dengan menyapu pandangan ke arah jendela. Salju meluncur begitu cepat, menghantam tanah, terinjak manusia manusia di atasnya. Kulirik layar ponsel, turun hingga empat derajat. Cuaca begitu kacau akhir akhir ini.

            “Do you miss me, Yunma?” kembali, Marri menginginkan jawaban.

Aku hanya bisa mengangguk, menatap matanya yang bulat indah untuk sedetik kemudian kembali pada lamunan di luar jendela.


            “Yunma, kamu sadar nggak kamu banyak berubah”


Kuteguk kopi di depanku. Mematung saat gadis ini terisak, semakin memperdalam rasa bersalahku selama bertahun tahun. Rasanya amat nyeri, namun aku tak tahu harus mengobatinya dari arah yang mana.

            “Marri, kita adalah sahabat baik. Aku mau kita seperti ini saja, sudah cukup. Aku mau menjaga diri, aku mau menjaga orang yang akan memilikiku nanti. Juga kamu. Kamu harus paham bahwa apa apa yang dipaksa sebelum waktunya tidaklah menjadi baik”


Sungguh ingin kuusap air matanya yang meluber membasahi pipinya. Namun ini adalah sumber dari ketakutanku sendiri. Marri adalah Marri, sahabat masa kecilku. Yunma adalah Yunma, seseorang yang yang menjadi pelindungnya. Abangnya, seperti yang diamanahkan mendiang bunda Marri. Yunma adalah abang, bagi Marri. Tidak akan ada yang lebih dari itu, Marri.


            “Bagaimana mungkin kamu akan terus terusan kuanggap sebagai kakak sedangkan kita saja tak jadi terikat menjadi saudara, Yunma” tanyanya. Giliran aku yang menunduk, tak tahu harus menjawab model bagaimana lagi.


            “Mbak Ais sudah melupakan Mas Danu, Mas Danu sudah menemukan yang baru. Apa sih Yunma yang membuatmu enggan mengakui bahwa kau juga menyukaiku?”


Bukan begitu, Marri. Aku menyanggah mati matian dalam hati, namun terlalu sulit untuk mengatakannya. Sekali lagi aku tak ingin satu diantara kita kembali terluka.


Salju tak henti menasbihkan diri pada Tuhannya, terus meneroboskan hawa dingin hingga ke dalam kedai. Gadis yang terisak di depanku ini, tak berhenti menyembunyikan wajahnya dari balik mantel bulu. Aku ingin memeluknya, namun amat berat. Kuurungkan tanganku untuk menyentuhnya, aku mematung. Aku dihujami rasa bersalah.


Maaf Marri, maaf aku yang tak bisa membalas perasaanmu.

Ini semua terlepas dari Mbak Ais dan Mas Danu yang tak jadi menikah. Kita memang tak jadi melebur menjadi satu keluarga. Dan aku, juga tak punya angan angan untuk mewujudkan itu denganmu. Kau perempuan yang baik, aku hanya tak mampu memilihmu yang terlampau sempurna.
Kutelan ludahku, aku tak mampu mengatakan lingkaran kalimat yang sudah kususun dalam kepala.


            “Aku tidak pernah percaya Yunma, aku tidak pernah percaya jika kau tak punya perasaan yang sama terhadapku. Aku sedih Yunma, aku harus meluangkan banyak detik untuk menemuimu. Aku berharap banyak. Aku berharap kau yang akan mengatakan jika kau menyukaiku terlebih dahulu. Tak bisakah, Yunma?”


Maaf Marri, kataku dalam hati.

Ini adalah hari terburukku bersama sahabat terbaikku.

Salju bertebaran, aku berdoa bahwa perasaan Marri cepat berterbangan.

Bukan aku yang patut dan layak untukmu, Marri.

            “You’d change, Yunma”

Mata gadis itu memerah, marah. Melihat reaksiku yang tak lagi mengizinkannya menggenggam tanganku.

            “Inikah yang kau sebut pelajaran baru itu? Yunma?”

Nagoya semakin gelap. Aku semakin gelagapan. Tak sanggup kuhadapi mata Marri.

            “Aku telah memutuskan untuk hijrah setelah melihat kakakmu, Mbak Ais”

-

Pulang.

Ini adalah momen terbaikku, salah satunya.

Mas Danu baru saja dikaruniai putra pertama, sedang lucu lucunya. Ah beruntung sekali kau, Nak . Sebentar lagi kau akan menemui pamanmu yang tampan ini, gumamku dalam hati.


Pulang.

Aku ikut menjemput kalimat yang dikatakan Mas Danu tempo hari bahwa “Selamat, kau diterima. Dia telah melihat kesungguhanmu memperbaiki diri”.

Aku pulang, menemui gadis yang akan segera kupinang.

Telah kusiapkan beberapa buah kado untuk Azkal, putra Mas Danu. Juga sebuah kado untuk Marri, sahabatku.

Kusematkan kalimat “Selamat atas pernikahanmu, semoga Allah SWT merahmati. Semoga senantiasa diliputi kebahagiaan dan selalu sakinah mawaddah warohmah”, alau aku tahu suami Marri bukan seorang muslim.


Satu hadiah lagi, satu kotak kecil.

Untuk Mbak Ais,

Calon istriku.

-

Malang 19.09
Wednesday 27 December 2017





Komentar

Postingan Populer