Pada Suatu Hari




Suatu hari di tahun 2002.


Waktu itu Ibu bilang ada tetangga baru. Rumah bercat biru dekat gardu. Kutak tanyakan dia lelaki atau perempuan. Aku dipenuhi rasa riang, melupakan dasar dasar sebelum berangsur mengenal.

Kudatangi rumahmu, dengan naluri seorang gadis balita yang tak jelita. Sepertinya dulu rok coklatku begitu kusut, namun ketika kulihat gigimu yang terindikasi gula gula hingga berwarna hitam keungu unguan mau tak mau tawaku meledak.


“Akibat makan permen dan coklat”

Katamu, dengan mimik lelaki kecil yang sibuk mengenyot sosis dalam kemasan. Air liurmu berderai derai, persis manusia yang baru mengenal apa itu ‘makan’.

Tetapi aku paling suka bagian ini.


Saat bibir kecilmu memanggil namaku dengan lucu. Lalu aku tersenyum malu malu menyambut tanganmu yang mungil. Kuputuskan saat itu juga memanggilmu ‘Adek’ dan kau memanggilku ‘Mbak’, meski kita tanpa hubungan darah.


Suatu hari di tahun 2002.



Maka sejak hari itu aku sering bertandang ke rumahmu yang damai. Menerima segala bentuk asupan konsumsi yang ibumu berikan untuk menyuapi kita berdua. Setiap sore aku mencium kecut aroma keringatmu akibat berlari lari denganku. Kita berkejaran tiada henti, du pasang kaki kita kemana mana berdua. Baru kembali ketika senja, kemudian tak akan berpisah sebelum lengkap aku selesai mandi di rumahmu dan melambaikan tangan dengan berteriak ‘Besok aku akan kembali’.


Kita ditumbuhkan di taman kank kanak yang sama. Aku hidup dengan aroma minyak rambutmu yang khas setiap pagi. Saat kedua tangan kita saling bertautan setelah mencium punggung tangan ibumu. Lalu kita menebas jarak, menyeberang jalan desa dengan langkah hati hati atau kadang tergesa gesa. Kita tertawa tanpa jeda ketika kita melepas penat dari sekolah. Kubilang macam macam dan kau adalah manusia yang paling suka mendengar ceritaku.



Aku hidup dalam kau dalam potret masa kecil yang tak habis kulindas, namun tetap membekas.
Jika siang tiba, kutanggalkan baju seragam biru telur bebek dengan rok biru tua dan pita pita di rambutku untuk segera menemuimu di rumah. Mengganggu acara makan siangmu. Aku membawa buku sisa latihan di sekolah lalu kita akan mewarnai semuanya setelahnya.


“Yey, tinggal tiga halaman lagi yang belum kita warnai” teriakmu setiap selesai satu halaman. Lomba mewarnai berdua membuat kita semakin tahu bahwa teknik yang benar ialah dengan menggoreskan pensil warna satu arah dengan konsisten. Aku menyukai tangan kecilmu dan cara caramu memperlakukan semua alat tulis dengan baik, menghitung hitung jumlahnya sebelum disimpan dalam kotak, menyerutnya ketika tumpul dan meniupnya pelan pelan hingga membuatku tertawa demi melihat gigimu yang menggemaskan.



“Mbak Esti, cita citanya apa?”

Aku ingat suatu hari dengan angin sore yang meniup anak anak rambut kita menemanimu untuk menanyakan hal itu. Aku lupa kala itu menjawab apa, namun aku ingat apa jawaban akan cita citamu sendiri  yang kuanggap konyol:


“Aku mau jadi petani” katamu dengan riang.


Aku, yang waktu itu menganggap petani bukan merupakan suatu cita cita lantas tertawa. Buat apa menggeluti bidang yang tak kan membuat hidupmu sejahtera? Kau ini lucu, untuk apa menjadi petani? Tanyaku dalam hati.


Aku tumbuh dengan ingatan ingatan tentang persahabatan masa kecil kita.


Aku adalah yang paling tak bisa melupakan betapa indah masa masa hujanku ketika pulang bertiga dengan kau dan ibumu. Aku tak punya payung. Ibuku tak punya waktu untuk menjemputku ke sekolah. Dan itu adalah jalanan paling mesra ketika kita melewatinya bertiga, saat kau sepayung berdua dengan ibumu dan aku dipinjami payungmu yang lebar dan hangat.


Aku merasa, ibumu adalah ibuku yang kedua. Kau adalah adikku selamanya.

**


Suatu hari, di tahun tahun berikutnya.


Aku tidak pernah ingin semua menjadi seperti ini. Aku, adalah yang paling lemah daya ingatnya tentang kesalahan kesalahan orang terhadapku. Aku, adalah seringan ringannya hati yang mudah memaafkan. Namun, mungkin itu tidak berlaku untuk kau.


Bermula dari cara caraku menghindar di masa masa mendekati remaja. Aku dirasuki hormon yang tak bisa kukendalikan. Hal itu tak kusadari lambat laun menjadi alasanku untuk kemudian menumbuhkan rasa canggung diantara kita berdua. Aku, tumbuh lebih dulu daripada kau yang masih kuanggap selalu sebagai anak kecil. Hingga kita berangsur menjauh, menjauh, menjauh dan kemudian seakan lepas.


Aku, tak ingin kehilangan sahabat lelaki yang baiknya seperti kau. Sesungguhnya itu yang aku rasakan.


Namun pada akhirnya, kita memang dipisahkan oleh banyak hal. Aku yang mulai tak pernah menyapamu, aku yang gengsi, aku yang tak memiliki senyum seperti masa kecil kita dulu, aku yang tak lagi seperti ‘Mbak yang kau kenal’, aku yang mengasingkan diri dari pergaulan, aku.. yang menjelma menjadi seseorang yang menghindar dari duniamu.



Padahal, kadang kadang aku merasa bahwa kaulah yang banyak berubah.

Kau, semacam bukan lagi adikku yang manis.

Kau, menjelma menjadi manusia yang tak bisa kusapa karena meningkat hebat. Sementara aku berdiam di zona nyaman, tanpa ada bayanganmu di keseharian.


**

Sekian waktu berlalu.

Kita dibesarkan dalam keluarga yang entah mengapa semakin hari semakin terlihat tak akur.

Bukan salahku ataupun salahmu, kita hanya menjadi korban, mungkin saja.

Jauh di lubuk hatiku yang laing dalam, aku ingin kembali menjadi Mbakmu yang tak canggung menyambang rumah besarmu.

Kini dalam hari hari yang kering, aku kian merasa asing.

Jika kau membaca ini, tolong hubungi aku.

Aku mau mengembalikan keadaan kita seperti dulu.

Kau sahabat pertamaku yang tak pernah menyakiti, aku menyukai cara caramu memperlakukan aku dengan baik.

Asal,

Jangan ulangi lagi perkataan yang dulu kau pernah satu kali bilang,

Bahwa kau menyukaiku diam diam.


-

Malang
17.13- 3 November 2017
(Untuk teman masa kecilku, semoga Kota Jogja menjagamu dengan baik. Kini hanya setahun sekali aku dapat menjabat tanganmu, itu sudah lebih dari cukup. Namun jika kau merasa cerita ini untukmu, kumohon hubungi aku. Aku ingin segera pulih dari rasa bersalah).

Komentar

Postingan Populer