Memendam







Ada kalanya, menyimpan suatu hal sendirian itu lebih melegakan dibandingkan menuangkannya. Menutup rapat rapat hal yang kita rasakan, menguncinya kemudian membiarkannya larut bersama waktu terkadang lebih bisa mengobati rasa sakit. Meskipun iya, rasa sakit itu kita ciptakan sendiri akibat begitu banyak berharap. Kemudian ia menyerang tanpa aba aba, yang kita perlukan hanya satu titik untuk tidak benar benar membuat rasa sakit itu menang.


Kamu, tidak sesederhana rasa sakit yang dapat kutahan.

Kemudian, juga tidak serumit pagi. Dimana aku akan sangat uring uringan tanpa damai aroma kopi yang menohok hidung. Kamu tidak sederhana, kamu tidak rumit, kamu tidak biasa, kamu tidak kompleks, kamu juga tidak sedang, kamu tidak dalam pertengahan.


Kamu, adalah partikel paling sulit dipahami.



Kadang kadang kamu berwujud sebagai jingga senja menjelang ibadah magribku yang syahdu. Kadang juga kau bagai berhala yang kupuja puja, aku tahu itu berdosa. Kadang kau menjelma daun bidara, wangi namun mengisyaratkan kepergian seseorang ke alam bazrakh. Kadang kamu adalah segelas air putih yang hangat, menyembuhkan batukku. Kadang seindah apapun kamu, aku harus sadar bahwa bukan untuk aku kau diciptakan.


Aku, adalah manusia terbodoh saat sore itu aku mendengar penuturanmu.


Kau tahu bagaimana yang kurasakan selama ini?. Bagaimana aku menumpuk banyak bahagia saat berada di satu kendaraan yang sama denganmu? . Aku, yang harus menahan banyak rasa dan segala rona di pipi untuk kemudian tersipu sipu saat kau memandangiku berlama lama?. Aku, menceritakannya hanya pada angin yang kutemui. Saat sendirian, saat sedang tak bersama engkau.


Aku, adalah tipe sahabat paling buruk di dunia.


Saat aku memutuskan untuk jatuh cinta pada matamu.



Juga pada setiap kata kata yang membuatku semakin gila, terobsesi, kagum, kalut, kacau, terseret pada ruang kosong tanpa kau di sana.


Aku, jatuh cinta pada matamu.


Pada sore dimana kita saling dipertemukan dalam keadaan aku yang masih terendam perasaan yang hangat, tanpa kau yang berusaha memikat. Kau sudah lebih dari hebat, tanpa melakukan apa apa dan aku begitu saja terjerat.


“Aku menyukaimu”.


Kutelan ludahku, lidahku kelu. Aku mematung sekian detik setelahnya. Bertahun tahun aku mengenalmu sebagai sahabat dekat, kemudian saat ini terlihat sangat nekat. Perlahan kutepuk pipiku sendiri, apa ini semacam mimpi?.


“Aku menyukaimu, sedari dulu” katamu, lagi. Kucubit kulit lenganku.

Sore itu, aku beku.

Ini adalah saat yang tepat untuk kamu juga mengetahui perasaanku selama ini, kataku dalam hati.


Dan sore itu, kamu memandangiku hingga aku menutup pintu dan melambaikan tangan dari dalam. Memastikan jika aku kembali pada ayahku dengan baik baik saja, menenangkanmu dengan cara sederhana.


Kupandang dinding rumah, apa ini berarti aku dan kamu telah resmi menjadi sepasang kekasih?.


Bukan lagi sekedar menjadi sahabat maha dekat?.


Apa ini adalah jawaban atas doa doa selama ini? atau aku hanya terjebak dalam ilusi mabuk ftv?.


Kugigit bibirku, ah rasanya aku sudah mengambil langkah terlalu jauh.


-


Ada kalanya kita akan merasa lega dengan keputusan yang kita ambil, walaupun itu dengan tergesa gesa.


Waktu akan terus berlalu, aku pun akan terus berjalan. Pun dengan kamu, yang setiap saat aku rindukan.


Kita tak lagi bisa bertemu, dipisahkan oleh jarak dan keadaan. Berbeda kota, berbeda kondisi, berbeda keadaan, berbeda segala galanya.


Namun aku tetap menjadi yang paling setia menunggumu menyalakan ponsel, menelefonku dua minggu sekali. Kau bilang menjalani pendidikan sebagai calon tentara tidaklah mudah. Aku mengerti, aku paham, aku menerima, segalanya kubuat bahagia.


Semuanya berjalan, menggerus sisa sisa karam yang lalu. Saat aku mengatakan pada sore itu bahwa kita tidak seharusnya mengganti persahabatan dengan hal yang lain.

“Aku nggak bisa jadian untuk sekarang, kumohon kau mengerti. Aku, hanya tak mudah jatuh cinta”


Kataku pada malam itu, tepat di hari kamu menyatakan apa yang kamu rasakan terhadapku.


Aku tahu aku berbohong.


Aku tahu, kamu tahu aku sedang berbohong.


Aku, adalah manusia paling berdosa saat berkali kali ingkar dengan apa yang seharusnya aku katakan kepadamu.


“Nggak papa, tunggu aku ya. Terimakasih sudah mau jujur” jawabmu kala itu.


Semuanya berjalan, aku masih memilikimu dalam lingkaran persahabatan. Aku masih menjadi yang teristimewa untuk kau kirimi lagu lagu cinta. Aku masih menjadi yang termanis untuk kau pamerkan kepada sersan sersan lainnya, bahwa kau beruntung memiliki aku,

Dalam versi yang kamu mau.


-

Ini adalah tahun tahun terakhir aku mengentaskan studi. Aku menyiapkan banyak hal untuk wisuda, juga mungkin kedatanganmu yang disengaja.



Kulipat kebaya, kupersiapkan toga dengan hati hati. Aku memakai riasan terbaik, pertemuanku harus menjadi yang terapik. Kutanggalkan seluruh sosial mediaku demi mempersiapkan kejutan penampilan, agar semua orang terkesan dan pangling.


Kutanggalkan juga, perasaanmu yang kau bilang masih untukku.


Aku menerima kedatanganmu di wisudaku nanti, meski dengan ketabahan melihatmu menggandeng lengan wanita lain yang kau idamkan.


-

Malang 21.38
Sunday 10 Dec 2017
(This story based on true story by my beloved friend-Sinta. Hope you like it Sinta, I thought so much ‘bout your strongest heart. May Allah SWT always bless you)






Komentar

Postingan Populer