Mama




Sedari kecil aku akrab dengan bunga bunga.


Tetapi aku selalu bilang pada Mama “ Ma, aku nggak suka bunga sedap malam”.


Mama yang lembut dan baik hati mengelus rambutku, merapikan poniku yang mulai kembali panjang. Pelan pelan ia katakan bahwa itu semata mata untuk menghormati Papa. Mulai hari itu aku selalu bertanya tanya, siapa manusia yang disebut ‘Papa’?.


Hari hariku dihabiskan dengan banyak bacaan yang mengharuskanku berlama lama di ruang baca. Mama suka mengoleksi buku buku. Mulai dari sains, pengetahuan umum, kuliner, tata cara apa saja hingga buku buku yang berkenaan dengan kasih sayang. Aku selalu menemukan kata kata dan sosok sosok yang buatku itu begitu aneh. Seseorang yang biasa disebut sebut dalam novel novel dengan sebutan ‘Ayah, Bapak, Daddy ataupun Papa’.



Ketika aku mulai dewasa aku baru sadar bahwa aku tumbuh tanpa lelaki. Satu satunya manusia yang kuanggap berbeda dari aku, Oma dan dan Mama adalah Opa. Beliau sudah memasuki usia senja. Hanya suka duduk duduk menikmati suara burung di terasnya atau sesekali jalan jalan di sekitar kompleks. Aku kadang mengantarnya untuk menjadi imam di mushola, beberapa diantara jamaah ada yang sudah sangat akrab dan bahkan memanggil Opaku dengan sebutan ‘Papa Imam’.


            “Mama, apakah aku punya Papa?” aku menanyai Mama di suatu hari ketika kami sedang asyik berkebun. Mama memandangku, tersenyum kemudian masih saja diam.
            “Apakah aku dilahirkan normal seperti manusia lain kebanyakan? Dengan suara adzan Papa? Apa aku seperti itu Ma?” kutanya lagi. Mama masih diam. Tangannya yang berlumuran tanah sibuk merapikan pot pot bunga. Aku mulai gemas, aku mulai cemas. 


            “Ya, kamu punya Papa” jawab Mama.

Mama menghela napas berat. Menyudahi pekerjaannya. Raut wajahnya berubah menjadi lebih lelah dan pucat. Dibereskannya cetok, bunga bunga yang terlanjur dipotong juga tanah tanah yang masih berserakan.


Mulai hari itu, aku merasa amat sangat bersalah.


Aku menjadi sibuk menyalahkan diri sendiri setiap aku mencoba untuk menanyakan perihal Papa kepada Mama. Aku sayang Mama, tetapi aku menjadi membuatnya bersedih. Hari hari Mama sudah sangat melelahkan dengan banyak tugas kantor juga banyaknya bunga bunga yang harus diurus. Juga bunga sedap malam di dekat kamarku yang harus segera diganti setiap tiga hari sekali.


Meskipun aku sungguh tidak suka wangi bunga itu, menurutku cukup mistis. Bulu kudukku selalu berdiri setiap melihat Mama malam malam mengganti bunga sedap malam itu dengan yang baru.
Aku memutuskan untuk diam, tidak ada lagi obrolan tentang siapa sosok Papa di benakku.


-

Nama Mamaku adalah Kinanti. Lebih lengkapnya Sekar Kinanti. Sekar berarti bunga dan Kinanti berarti lagu. Mama sangat cantik, apalagi kalau berias dengan sanggul yang dibuat secara alami dari rambutnya.


Mama hanya mengajariku bagaimana memilih baju yang indah indah. Juga bagaimana caranya memikat perempuan. Mama selalu tahu mana perempuan yang benar benar cantik, baik cantik parasnya ataupun cantik hatinya. Mama adalah tempatku berkonsultasi dalam hal apapun.

Hingga pada suatu hari aku mengenalkannya dengan seorang perempuan, teman satu kelasku. 


Tapi setelahnya, dia bilang tidak mau bertamu lagi.

            “Tangan Ibumu begitu aneh, aku belum pernah berjabat dengan perempuan seperti itu” kudengar itu dari mulutnya. Aku antara bingung dan tersinggung. 


            “Lain kali jangan bilang apa apa tentang Mamaku” jawabku.

Seterusnya, setiap aku bawakan Mama perempuan yang lain semuanya berakhir sama.


            “Fahri, aku menyukaimu. Tetapi tidak dengan...” itu kata kata yang kudengar dari pacarku yang paling baru. Kuputuskan dua hari yang lalu setelah ia berani mengomentari Mama.


Tetapi Mama tidak marah. Mama masih tetap sayang padaku.

-

Pagi itu di hari minggu aku memutuskan untuk tidak pergi kemana mana. Mama telah lebih dahulu meninggalkan rumah, aku di rumah dengan Opa.


Tidak seperti biasanya, Opa memanggilku. 


            “Kamu mirip sekali dengan Kunto di masa muda, Le” kata beliau. Mengelus elus poniku.
Aku diam. Sudah lama Opa tidak memanjakanku seperti ini. Opa telah banyak pikun, mungkin beliau mengira aku adalah orang lain.


            “Kunto mana Le? Belum pulang dari pasar? Opa mau bubur sumsum” kata Opa.


Aku terdiam.


Lama.


Kurogoh sebuah kartu identitas usang dari saku jaketku. Kunto Wijaya. Kelahiran Klaten tiga puluh delapan tahun yang lalu. Golongan darah B, seluruhnya mirip dengan identitas Sekar Kinanti kecuali pada bagian nama dan orientasi seksual.


Lututku lemas.


Mama adalah Papaku.


-
Malang
Tuesday
10.59 13 March 2018
Pict from Tumblr


Komentar

Postingan Populer