Perempuan Dimar
Aku
mengenalnya hanya dari gaya bahasa, melalui tulisan tulisan menyedihkan yang ia
hiaskan di lini masa.
Aku
bilang pada diriku sendiri, itu sangat berlebihan. Bagaimana mungkin hanya
untuk menunjukkan ia seorang penulis, atau calon penulis atau apalah itu, dia
harus menuliskan banyak quotes tak berguna pada dinding akun sosial medianya.
Tetapi
yang paling menyedihkan bukan itu. Bahwa yang receh receh begitu adalah hal
yang bisa menarik perhatian sahabatku, aku benci kalimat ini, sahabatku adalah
calon kekasih dari penulis yang ku hina hina di atas.
Setiap
saat, setiap aku mulai menjelajahi dunia maya dan menemukan tulisannya, aku
semakin benci. Semakin menjadi jadi. Ya, mungkin aku hanya cemburu. Aku tak
bisa menghabiskan waktuku yang maha berharga demi yang begitu begitu. Aku
cemburu lantaran Dimar yang tak bisa berhenti memuja tulisannya.
Hal
itu membuat waktu waktu yang banyak kuhabiskan dengannya menjadi tak bernas
sama sekali. Detik detik yang kuhabiskan dengannya menjadi hambar. Tatapan
matanya tak bisa lepas dari monitor, bibir yang terus terus meringis bahagia,
gerak tangan yang mengisyaratkan rasa bangga telah menemukan gadis itu. Semua
menggangguku.
Hingga
pada akhirnya aku tahu bahwa perempuan itu tidak bisa Dimar temui secara
sembarangan. Terlalu jauh, perlu banyak waktu untuk menunggu. Lalu untuk apa
aku ini Dimar? Aku yang kini di depanmu berdiri. Menemanimu dengan banyak tugas
kuliah dan menikmati adegan marahmu setiap saat. Aku tidak cukup buatmu?.
“Dia akan pulang dua minggu lagi”
katanya dengan nada amat sumringah. Akhirnya bagian yang paling tidak kusuka
datang juga. Perempuan itu akan datang, menemui Dimar, menggeser posisiku, lalu
apa lagi?.
“Menurutmu, aku harus menyiapkan apa
agar terlihat mempesona di depannya?” tanya Dimar.
Aku
menggeleng.
“Maaf, kan aku nggak pernah suka
sama cewe” jawabku sembari nyengir. Dimar mengacak acak rambut panjangku,
menciptakan senyum yang kemudian cepat cepat kusembunyikan.
“Jaket navy ini masih cukup keren
nggak?” tanyanya sambil menggerakkan bahunya yang lebar. Aku memeriksa sedikit
tekstur kainnya dan mengangguk setuju.
“Cukup sih, toh cuma mau ketemu calon
pacar kan?” tanyaku menggoda. Dimar tertawa.
“Kalo bisa sih ntar sekalian
kuajakin nikah aja”
Bertahun
tahun aku menjadi sahabat Dimar, baru kali ini aku mendengar dari mulut
mungilnya perihal pernikahan.
Sore
ini Dimar memutuskan untuk memesan sebuah bucket bunga palsu untuk calon
kekasihnya itu. Dalam hati aku mendoakan agar wajah perempuan itu beda jauh
dari fotonya. Bagaimana pun aku sedikit banyak tak rela Dimar tiba tiba
mendekati orang lain selain aku.
“Mich, doain berhasil ya. Ntar aku
traktir cat akrilik” janjinya. Aku hanya membalas kalimatnya dengan lirikan.
“Semoga nggak salah pilih ya Dim”
ucapku pelan saat punggungnya lenyap dari hadapanku.
Dimar,
bisakah aku saja yang menjadi galaksimu?.
-
Aku
tidak paham betapa istimewanya gadis itu dalam pusaran dunia Dimar hingga
setelah pertemuan pertamanya itu ia tak pernah sekalipun mengangguku di
sanggar. Setiap saat pikiranku dikacaukan dengan dugaan dugaan mereka sudah
berbuat apa saja di belakangku. Aku tidak ingin menemui Dimar hanya untuk
mendengar ceritanya yang mungkin juga bisa membuat mulutnya berbusa busa
sangking bahagianya. Apalah arti semua itu jika hanya akan menambah luka di
hatiku?.
Namun
ada suatu kesialan yang membuatku berpikir ratusan kali untuk membenci
perempuan itu. Tuntutan profesi. Tergabung dalam suatu sanggar seni peran
membuatku harus memutar otak untuk naskah pementasan yang apik. Bodohnya, aku
serta merta berniat menemui pusat rotasi Dimar itu demi sebuah plot cerita.
Apa
tidak ada orang lain? Cerita yang lain? Bukankah karya karyanya juga hanya
seputar roman picisan yang cepat membuat bosan?.
Setelah
kupikir pikir lagi, memang tidak ada salahnya. Hitung hitung sekaligus
memperbaiki hubungan komunikasiku dengan Dimar.
Mana
tahu, perempuan itu akan segera paham bahwa aku yang lebih membutuhkan Dimar
sebagai bagian dari semestaku.
-
Pertemuan
kami berlangsung singkat. Hanya seputar perizinanku untuk mengadopsi cerita
pendeknya menjadi sebuah teks yang lebih panjang. Perempuan itu setuju tanpa
meminta imbalan apa apa. Aku seperti tak tahan berlama lama dalam suasana
seperti ini karena tangan Dimar yang tak lepas menggenggam jemari gadis itu.
Jujur
saja aku muak.
Aku
buru buru pamit. Kubilang ada urusan yang lebih penting.
Lalu
tiba tiba air mata mulai berjatuhan saat kudengar sayup sayup “Mas, kita jadi
nikah tahun depan?”.
-
Ini
adalah kali pertama Dimar melihatku di atas panggung. Tentu saja aku lebih dari
mengerti bahwa ini atas permintaan kekasih barunya. Mereka datang dengan basa
basi membawakaku bunga, menyemangatiku saat sedang jelek jeleknya wajahku
dirias dengan dempul warna putih dan ukiran kerak kerak khas kulit manusia tua.
Memang
tidak ada alasan kuat yang mampu membelaku saat ini. Mengapa aku begitu
membenci perempuan yang baik itu. Mengapa aku begitu terobsesi untuk menjadikan
Dimar satu satunya objek yang perlu kugali. Di atas panggung seolah aku
menumpahkan segala amarahku pada diri sendiri. Menimbulkan banyak tepukan
meriah yang menjadi akhir pertunjukan. Aku tahu seharusnya saat ini aku mulai
luluh akan kebaikan yang mengisi ruang ruang hatiku, seharusnya aku
memposisikan diri sebagai manusia beruntung yang dapat mengenal perempuan
Dimar.
Lagi
lagi ia membuatku terpukau saat di belakang panggung. Ia memelukku dengan
hangat, mengucapkan selamat.
Perempuan
ini membuatku berkaca kaca, aku membalas pelukannya dan meminta maaf dengan
lirih.
“Maaf jika naskahmu sedikit
kubelokkan” kataku.
Perempuan
itu tertawa, dia menyentil lengan Dimar.
“Bagus kok, Dimar saja malah baru
tahu kalau kamu juga jago mengedit naskah” kata perempuan itu disambung dengan
senyum Dimar.
Senyum
yang dulunya sepenuhnya menjadi hakku.
-
Hari
hari selanjutnya aku menjadi jauh lebih riang dan ringan. Tidak ada lagi
harapan harapan bodohku tentang menjelajah angkasa dengan Dimar. Kubiarkan ia
melayang layang dengan pikiran pikiran uniknya yang menjadi lebih kaya setelah
bersama dengan perempuan itu.
Sementara
perempuan itu dengan pelan namun pasti diam diam membuatku terpesona dengan
karya karyanya yang tidak pernah kemarau. Aku tak lagi membencinya, aku
mengiklaskan rasaku yang pupus sebelum mekar. Aku membiarkan segala amarah yang
muncul menjadi kerdil setiap kulihat kembali kenyataan. Bahwa Dimar memang
lebih bahagia dengan perempuan idamannya.
Baru
saja aku menghirup kelegaan untuk beberapa detik, Dimar tiba tiba menelefonku:
“Mich, aku pernah bilang kan? Aku mau
hidup dengan seorang penulis. Kata Kharisma P Lanang, mereka tidak perlu
diragukan lagi daya tahannya dalam menghadapi hidup” katanya dengan intonasi
yang begitu ditata.
Dimar
berhenti sebentar, aku tahu dia menghela napas yang berat.
“Oleh karena itu, bolehkah aku Alfa
Dimar Ramadhan dengan segala kerendahan hati meminta Micha Santoso untuk
menjadi pendamping hidupku selamanya?”.
Aku
tertegun.
Kemudian
sedikit terperangah dengan cerita Dimar yang mengatakan bahwa selama ini
perempuannya itu mendekatinya hanya demi sebuah proyek novel. Dia angkat kaki
dari semesta Dimar, menghilang menuju galaksi yang lebih terang.
“Tapi aku bahagia karena belakangan
ini aku melihat novelnya telah banyak dicetak di toko toko buku ternama”
pungkas Dimar.
Detik
detik selanjutnya aku dipusingkan oleh kenyataan bahwa memang aku bukan sebenar
benarnya penulis seperti yang Dimar kira dan aku adalah seorang lelaki. Lelaki
yang mencintai Dimar, mencintai matanya, bahkan saat pertemuan kami bertahun
tahun yang lalu.
Tetapi sungguh, aku ingin menjadi
perempuan.
Perempuan Dimar yang seutuhnya.
-
Malang
07.35
Wednesday
23 March 2018
Pict
from google
Komentar
Posting Komentar