Pacar Nomor Sepuluh




Aku tidak mengerti kegilaan macam apa yang dimiliki pacarku untuk tipe yang satu ini. Dia adalah pacarku yang nomor sepuluh. Namun justru dialah yang kurasa paling baik diantara pacar pacarku sebelumnya. 



Terbiasa dengan kehidupan sederhana di kampung membuatnya tidak pernah merasakan bagaimana sejuknya air dari dalam galon. Ketika aku memboyongnya dari gubuk tua tempat ia tinggal menuju ke kota, menemui orang tuaku, dia dikejutkan oleh suatu suara gelembung yang dari dalam galon.
Ajaib, dia menyukainya.


Ini jauh lebih mudah dibandingkan pacar pacarku sebelumnya, tanpa perlu kejutan macam macam, tanpa perlu boneka yang lucu lucu, tanpa perlu pancake di hari minggu.


Lalu dengan susah payah aku mengatakan pada Papa Mama.


“Ma, di rumahnya alat seperti itu belum ada” kataku pelan, masih dengan menggenggam jemari lentik kekasihku. Bukan apa apa, aku takut dia lepas kontrol dan kembali menatap lama lama galon yang sedari tadi diam.


Papa dan Mama hanya terbengong bengong. Mama menggeleng sinis, Papa berulang kali berdehem, menurun naikkan letak kacamata tebalnya.


Kubilang lagi bahwa dia adalah tipe istri ideal. Cantik, penurut, pintar memasak, bisa bercocok tanam, mampu merawat siapa pun yang sakit, bahkan dia bisa mengurusi kolam ikan Papa di belakang rumah. Maka aku memohon mohon untuk menikahinya, membuat Papa dan Mama dengan kompak berteriak ‘Tidak’.


 “Masih banyak perempuan lain”

  “Selesaikan dulu skripsimu”

 “Bagaimana denganmu menghidupi dia? Pekerjaan?”

 “Kamu yakin akan tinggal bersama kami? Diawasi setiap hari?”

  “Rama, kamu masih dua puluh satu tahun”

Aku tahu Mama hampir menangis saat itu. Beliau memeluk Papa. Aku masih menggenggam tangan pacarku yang pandangan matanya terus saja tertuju pada sudut ruangan. Sebuah galon biru yang duduk manis disana.



Kuperkuat argumenku dengan mengatakan kembali kebaikan apa yang dia berikan padaku semasa KKN di pedalaman. Aku sakit, teman teman tiada yang mampu menolong karena data yang dicari bersifat individu. Aku pasrah ketika harus terbaring lemah di atas dipan reyot pada sebuah bilik milik warga setempat. Gadis ini, dengan sigap mengurusku hingga berhari hari. Mengantarku kemana mana tempat yang kuinginkan. Hingga pada akhirnya aku sembuh, tentunya dengan banyak mantra mantra dan peluk cium yang ia berikan. Sesuatu yang selalu dilakukan Mama ketika aku sedang menderita sakit apa saja.


 “Mama dan Papa selalu ngasih apa yang aku minta bukan? Tapi aku tahu kalau aku tidak akan diberi jika meminta baik baik. Aku mau menikah, Ma Pa”.


Papa berdiri, Mama menangis. Sebelum beliau mendaratkan tamparannya ke pipiku, kuberanikan diri mengatakan dengan lirih satu kalimat yang kusimpan erat erat di kerongkongan.


   “Pa, dia mengandung anakku. Calon cucu Papa”.


Tangan Papa kembali turun. Beliau memeluk Mama.


Kali ini pasti caraku berhasil, bukankah Papa yang mengajariku pertama kali tentang tanggung jawab?


-

Malang
05.53
Saturday 10 March 2018

Komentar

Postingan Populer