Tujuh Belas Menit Terakhir




“Minggu depan? Semeru?”


Lelaki ini tidak menjawab. Dia sibuk dengan gulungan tembakau di tangannya. Kepulan asap mengenai hidungku, menyeruak bersama harum napasnya. Aku tahu dia akan pergi dengan atau tanpa izinku. Memberi tahu saja sudah menjadi suatu keberuntungan, hal yang tidak biasa.


            “Dua sampai empat hari dari jam keberangkatan” sambungnya. Dia ikat rambutnya yang ikal hitam. Memeriksa tasnya, kurasa ia sedang memastikan keberadaan tiketnya agar tetap aman. 


            “Kapan berangkat?” tanyaku.



            “Lusa” jawabnya singkat. Dia bangkit dari tempat duduknya. Mengangkat tustel kemudian membidik pada salah satu objek yang menurut orang awam sepertiku biasa saja.


Itulah Rimba, kekasihku. Boleh jadi kalian tak suka dengannya. Sudah menjadi hal biasa kami tak saling sapa selama sepekan dua pekan. Dia tak mengabari kemana dia akan pergi, dia cuma yakinkan bahwa dia akan baik baik saja. Aku dilarang mengkhawatirkannya, tak boleh menghalangi apa apa yang ia ingin lakukan. Termasuk jika itu berhubungan dengan kepentinganku, merindukannya misalnya.



Sore ini kami bertemu setelah dia selesai dari sebuah tour. Sejak ia bergabung  dengan sebuah grub musik jazz dan dipercayai memegang bass, dia jadi lebih sering keluar kota. Meninggalkan rutinitas fardhu ainnya, kuliah. Bahkan sepertinya dia tidak akan ambil pusing jika harus menghabiskan masa muda di kampus dengan empat belas semester penuh, atau lebih. Dengan nilai yang biasa biasa saja, dengan prestasi akademis yang ala kadarnya. Kurasa yang terpenting buat hidupnya adalah tak sepi ketika ia berkunjung ke warung kopi. Lelaki ini sedemikian bebasnya, sedemikian santainya menjalani hidup.



Namun hal itu menjadikan aku ditimpa keragu raguan.


            “Ibuk menanyakan kamu” kataku basa basi setelah berdiri di dekatnya. Dia tak menoleh, sibuk membersihkan lensa. Memutar mutar perangkatnya kemudian kembali mencari sudut yang tepat untuk mengambil gambar.



Sejujurnya bukan menanyakan, tapi lebih kepada ingin kembali bertemu. Kembali untuk mengamati. Lewat kaca mata beliau yang sudah banyak makan asam garam, secara sekilas aku menyadari jika beliau sedikit tak suka. Atau malah, sangat tidak suka.


Aku menunduk, lelaki ini pasti tak mau mencerna kalimatku.


            “Rimba, datanglah ke rumah” pintaku, untuk ke sekian kalinya.


Kali ini dia menoleh. Merapikan anak anak rambut di dahinya. Dia menatapku, mencari cari celah dan alasan yang mungkin bisa ia gunakan untuk menolak.


            “Lusa aku harus berangkat, aku nggak bisa” jawabnya.


Bukankah masih ada hari esok?.



Aku ingat jika beberapa waktu yang lalu Ibu begitu gusar. Aku adalah bungsu dari empat bersaudara. Ketiga kakakku laki laki, semuanya sudah berkeluarga. Aku hanya seorang pegawai biasa di sebuah percetakan buku yang nyaris bangkrut. Bukan tanpa alasan Ibu memintaku untuk segera menikah. Kerjaan sudah ada, kendaraan sudah punya, rumah sudah diberi. Apa lagi?



            “Tapi Ibu sih maunya nanti kamu jadi PNS, terus suamimu juga minimal PNS. Biar ada simpanan di hari tua” kata Ibu suatu hari ketika aku sedang menjaitkan kancing bajunya yang terlepas.



            “Harus PNS ya Buk?” tanyaku, mencari cari kepastian yang kuharap bisa diubah.


         “Ya kalau PNS kan enak, Ndhuk. Masa depan terjamin, bisa nabung. Ibuk kan bisa menyekolahkan kamu dan kakak kakakmu juga dari gaji PNS. Jaman sekarang kalau hanya upah UMR mana cukup, kamu harus mencoba berpikir realistis” kata Ibu sesaat sebelum mengesap teh di hadapannya.



Harus kuakui jika gaji di percetakan tempatku bekerja tidaklah besar. Tetapi cukup jika untuk memenuhi kebutuhanku sehari hari, karena aku masih tinggal bersama orang tua. Pernikahan bukanlah hal mudah bagiku. Terbiasa dikelilingi oleh para pekerja seni membuatku berpikir secara idealis. Bagaimana mungkin aku menikah dengan orang yang tak kucintai? Sekalipun hartanya bisa menjaminku sampai tujuh belas turunan?



            “Ibu dengar kamu sudah punya kekasih?” 


Aku tercekat. Buru buru kulipat baju yang telah selesai kurapikan kancingnya.


            “Ah, Ibu tahu dari mana?” tanyaku, berusaha menyembunyikan.


            “Tahu lah, mbok ya diajak ke rumah. Ibu pengen tahu. Nanti Ibu yang masak”


Awal pertemuan Ibu dengan Rimba memang sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Dingin, meski Rimba berkali kali melontarkan candaan di ruang makan. Ibu terpaku pada penampilannya yang awut awutan. Ibu terpana pada tas ranselnya yang jebol sana sini. Aku juga tahu jika Ibu tak habis habisnya mengelus dada melihat jampang Rimba yang nyaris menutupi seluruh janggutnya, mengerikan, tak pernah dicukur.



Tetapi Ibu ingin pertemuan yang kedua.


            “Hmmm, lusa aku antar ke stasiun ya” tawarku padanya.


Rimba menggeleng.


            “Nggak usah, biar aku berangkat sendiri”


            “Aku nggak pernah nganter kamu kalo pergi pergi” desakku memohon.


            “Nggak papa, aku sendiri aja. Kayak anak kecil deh”


            “Aku mau lihat punggung kamu yang lagi gendong ransel” 


Akhirnya Rimba mengangguk. Sore itu kami habiskan waktu. Waktu waktu yang langka. Waktu yang tak bisa kutebak kapan datangnya. Waktu waktu yang harusnya senggang untuk Rimba yang sudah semester sebelas.


-


Di peron stasiun kami duduk di sebuah bangku. Tak begitu panjang, namun cukup untuk meletakkan dua tubuh kami dan satu ransel besar. Rombongan pendaki yang lain menunggu di Kota Malang. Rimba sendirian dari stasiun ini.



Matanya tak lepas menatapi ponsel. Tujuh belas menit lagi keretanya akan berangkat. Kugigit gigit bibirku, gemas, cemas. Aku menoleh ke arah Rimba, ia tak bergeming.


Ini adalah saat pertama aku mengantarkan Rimba untuk memulai petualangannya yang ke sekian. Bagiku ini adalah momen yang cukup sakral. Aku bisa melihat Rimba mengenakan atribut jelajahnya. Rasanya aku cukup beruntung mendapatkan pria yang tak usah diragukan lagi pengalamannya di alam. Namun bukankah itu hanya sebuah bonus? Sedang kehidupan yang sesungguhnya hanya kita jalani di alam biasa, alam tempat berkumpulnya manusia?.



Tujuh belas menit yang terakhir sebelum kereta berangkat, kami masih saling diam. Lalu kuberanikan diri untuk menyentuh pundaknya. Rimba tersenyum, seolah bertanya ‘Ada apa?’



            “Ada yang ingin aku katakan” kataku. Menahan nahan air yang siap salto keluar dari pelupuk mata. Rimba menatapku, bingung karena aku mendadak serius.


            “Kita putus ya”


Rimba melepaskan genggaman ponselnya. Menelanjangi mataku. Masih tidak yakin, dia ingin aku mengulang kata kata sebelumnya.


            “Kita putus ya, Rimba”


Sebentar lagi kereta akan berangkat. Rimba diam, aku diam. Dia hanya menunduk. Tak mengucapkan apa apa. Dia berdiri, mengambil tas ranselnya, merogoh tiketnya, meninggalkanku, berjalan menjauh, mencari tempat duduknya di dalam kereta.


Tujuh belas menit terakhir, aku dapat melihat punggung Rimba. Tapi sayangnya aku tak bisa membuat Rimba untuk berhenti bermain main, termasuk bermain dalam sebuah hubungan.


Dalam tujuh belas menit, stasiun merekam jelas semuanya.



­
-
Malang
08.10
28 Sept 2018

Gambar diambil dari: https://clipartxtras.com/categories/view/9d42f15131fecab318ac13f3830b8fff204e4bbf/girl-drawing-tumblr-sad.html



Komentar

Postingan Populer