Babi!!






Ini adalah ide yang paling gila!!


Aku mengutuk berulang kali apa yang dibicarakan Resti. Sejak kemarin sore aku sudah menolak mentah mentah rencananya. Namun kami sudah berjalan terlalu jauh, sudah terlalu banyak halang rintang di kepala yang kami takhlukkan. Resti bilang ini adalah jalan terakhir. Satu satunya harapan yang bisa ia sembah setelah cara cara sebelumnya gagal total.

Resti berkaca, dari setengah jam yang lalu. Mengelus elus pipinya yang putih, dagunya yang mulus. Berulang kali ia mengedipkan matanya, mengendus rambutnya sendiri hingga terbatuk batuk. Dia membaui udara, melepas satu persatu pakaiannya kemudian dengan tubuh telanjangnya ia menarik tanganku.


Kami menuju kamar. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan segala perabotan dan sesajen telah tertata rapi. Resti berlutut di hadapan dupa, menyalakannya. Hidungnya kembang kempis. Dia menghela napas panjang. Kurasa dia telah melupakan segala sumpah serapahku dan mulai melanjutkan acara ‘merayunya’. Dia merengek, memintaku untuk duduk di depan lilin yang telah benderang.


Aku menggigit bibir, menyaksikan Resti menungging di samping sebuah kelapa muda yang telah dibuka bagian atasnya. Rambutnya ia gerai. Dia membelakangiku. Dalam samar cahaya lilin aku melihat Resti menggelinjang, kepalanya bergerak gerak. Kakinya yang jenjang mengeliat. Dia berteriak lemah hingga sebuah suara erangan mengudara.


Aku menahan napas, memastikan jika nyala lilin tidak berubah. Resti, kini telah berubah menjadi seekor babi. Matanya memerah, moncongnya mencuat. Tubuh sempurna Resti berubah menjadi berbulu, hitam dan kasar. Babi itu, babi Resti. Resti jadi jadian. Melihatku sejenak, seolah meminta izin sebelum keluar dari ruangan. Kemudian makhluk itu melesat, berlari menuju pintu. Menyisakan aku yang menggigil ketakutan.


            “Satrio harus jadi milikku, apapun yang terjadi” kata Resti berapi api, dua minggu yang lalu setelah hubungan mereka berakhir. 


Sebagai sahabat dekatnya tentu aku berusaha untuk mencegah Resti melakukan hal hal buruk termasuk mengganggu rencana pernikahan Satrio. Dua minggu Resti memutar otak, mencari celah bagaimana ia bisa mengembalikan Satrio ke dalam pelukannya. Semua cara gagal, dari mulai rencana meracuni calon istrinya hingga menyewa sniper. Tuhan begitu sayang dengan Satrio, dia menikah dengan kekasih barunya. Tetapi Resti tidak mundur. Entah dia sudah teramat gila atau memang telah diperbudak oleh obsesi terhadap Satrio.


            “Aku mau jadi babi. Ini adalah satu satunya cara terampuh. Aku akan menjadi babi, menyelinap ke rumah Satrio, aku curi hatinya dan kularutkan dengan ramuan di dalam tembikar. Nanti jika hati itu sudah kudapat, Satrio pasti akan menceraikan istrinya dan kembali kepadaku”
Malam ini, aku dipaksa Resti menginap di rumahnya. Sebuah jebakan yang tak kuduga duga menjadikanku gemetaran di depan sebuah lilin. Di luar sedang hujan, angin berdengung. Kurapalkan banyak doa yang entah dapat mencelakakan Resti atau tidak. 


Detik melaju, orang orang mungkin sudah terlelap. Aku mendadak cemas. Sudah satu jam dan Resti belum kembali. Lilin masih menyala, tinggal setengahnya. Angin masih menderu. Musim hujan senantiasa ganas. Aku diringkus cemas.


            “Jangan sampai lilin ini padam”

Aku ingat sorot mata Resti yang mengatakan itu padaku.


Aku tergidik, membayangkan betapa dinginnya udara luar. Lalu bagaimana Resti mampu menahan sedangkan ia dalam kondisi tak tertutupi sehelai benang pun? Dadaku berkecamuk resah. Berulang kali kututupi nyala lilin dengan kedua tanganku.


Pukul dua pagi, lebih tiga belas menit.

Resti belum juga kembali. 

Dalam balutan kecemasan aku masih saja berharap jika semuanya berjalan seperti yang Resti inginkan. Tembikar tanah liat di sampingku seperti menyala, bersiap akan kehadiran seonggok hati yang siap dimasukkan ke dalamnya. Satrio akan kembali, tentu jika Tuhan berkehendak.

Angin menyeruak. Hujan tiba tiba menghantam disertai gemuruh. Ketakutanku memuncak hingga ke ujung syaraf. Tak dapat kubendung rasa gelisahku.


Lilin padam, tertiup amukan angin. Aku menjerit, namun terlambat.

Menggigil, aku terjungkal. Terseok seok kakiku melangkah ke luar. 

Hujan menghantam langkahku, aku harus mencari Resti. Mungkin esok hari akan kucari dukun yang kemarin menyuruh Resti menjadi babi, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri.


-
            “Saat lilinnya mati, aku sedang bersiap untuk membelah dadanya. Namun sayang, aku kemudian berubah menjadi manusia. Hanya dalam dua detik. Aku terjatuh di pelukan Satrio yang sedang tertidur pulas. Di saat yang bersamaan, istrinya membuka pintu. Dari kamar kecil sepertinya, dia kaget melihatku berpelukan dengan Satrio” Resti tersenyum kecil. Bibirnya yang tipis memamerkan ekspresi kepuasan.


            “Saat lampu dinyalakan aku melihat istri Satrio menjerit. Satrio masih belum sadar jika aku berada di atas tubuhnya. Aku tahu tubuhku lebih baik dan lebih bagus dari tubuh istrinya yang gendut itu. Perempuan itu menangis, ke luar kamar. Satrio masih kaget melihatku ada di sana” Resti menyulut batang rokoknya, membiarkan aku yang masih terheran heran.


            “Saat itu juga, istri Satrio minta cerai. Tugasku selesai”


Resti tertawa, semesta ada di genggamannya.
-
Malang
16.06 Wednesday 23 Jan 2019
Gambar diambil adri : Freepik


Komentar

Postingan Populer