Persetubuhan dengan Malaikat
Aku sudah bilang padanya bahwa aku belum siap. Aku belum mengatakan pada ibuku, ayah, dan adik adikku yang lain. Aku juga belum bertemu dengan kekasihku, atau lebih tepatnya mantan kekasihku. Aku belum bercerita pada mereka jika aku akan mati.
Dia datang lagi seperti hari hari yang lalu. Tepat ketika satu tegukan air teh memasuki kerongkonganku, saat aku sedang berada di titik paling sadar bahwa kematian akan melewati rongga pernapasan. Dia menatapku tajam dari depan pintu. Kadang kadang sempat mengibaskan sayapnya yang basah oleh air hujan yang ia lewati. Aku masih memegang kuas, siap menggoreskannya di atas kanvas. Dia memaksa masuk, merentangkan kedua tangannya di depan dada, ke arahku.
Aku selalu menahan napas ketika jarak kami berdekatan, sangat berdekatan. Aku bisa mengindera wangi napasnya, aroma mint dicampur stawberi segar. Deru molekulnya yang berlarian lalu melebur dengan molekul tubuhku yang sedang ketakutan. Meski yang kurasakan hanyalah hawa dingin, tetapi aku tahu dia sebenarnya belum terlalu tega untuk mengambil nyawaku.
“Ah kau datang lagi” keluhku. Mencoba melunakkan senyumnya yang teramat kaku. Dia menarik diri sejenak, mundur. Ditariknya sayap sayap di punggungnya yang terlanjur mekar. Dia merapikan setelan kemeja putihnya. Ya, malaikat juga punya busana khusus di hari paling istimewa dalam perjalanan dinasnya.
“Sudah berapa hari? 40 ya? Apa kau akan membawaku sekarang?” tanyaku. Meski aku belum siap, namun kucoba untuk tidak lagi mempedulikan keberadaanya. Aku mulai kembali berkonsentrasi dengan lukisan yang akan kubuat. Dia kembali mengambil langkah mundur, melayang mengitari ruangan. Melihat lihat lukisanku seolah mengerti, mengangguk angguk, menyentuh tekstur catnya dan juga membauinya.
Sejujurnya sebelum ini aku belum pernah bercakap cakap dengannya. Aku hanya selalu mengatakan ‘Aku belum siap, datanglah besok jika aku sudah selesai dengan lukisanku yang ini’ atau ‘Aku belum bertemu dengan mantan kekasihku, dia belum memberiku maaf. Aku takut masuk neraka’ dan juga pada suatu hari aku pernah mengatakan demikian ‘Datanglah besok, aku belum kawin. Aku tidak ingin ditertawakan setan hanya karena masih perawan’.
Dia selalu datang hingga 40 hari. Menemaniku menyelesaikan sebuah lukisan yang baru setiap pagi. Aku bisa melihat jika ia menikmati caraku menuangkan cat, menggoreskan kuas, juga caraku mencampurkan warna warna untuk membentuk warna baru. Aku tahu ia juga ingin meminum teh yang sama denganku, hanya saja Tuhan melarang ia makan dan minum.
Dia kembali mendekat. Lukisanku masih seperempat bagian yang baru kuselesaikan. Kutatap matanya, hijau terang. Juga raut wajahnya yang begitu murka, aku yakin itu hanyalah sebuah bagian dari kode etik ‘pencabutan nyawa manusia’. Kurasa hatinya begitu lembut. Aku bisa merasakan getaran dadanya ketika ia berusaha menyentuh kulitku.
“Jika kau mencabut nyawaku sekarang, kau tidak bisa melihat lukisanku lagi setiap pagi. Bukankah kau mengaguminya?” sungguh, aku hanya sedang berusaha untuk mengulur waktu hingga pada akhirnya sampai pada detik di mana aku siap untuk melepaskan ruhku.
Dia diam. Kembali mundur. Raut wajahnya berubah. Makhluk itu memalingkan tubuhnya.
“Ambil saja nyawaku sekarang. Toh setelah itu kita tidak akan bertemu lagi” aku bangkit dari dudukku. Menghampirinya yang masih melayang layang. Berdiri di belakangnya, menunggu. Dia membalikkan badannya kembali, menghadapiku.
Mata kami bertemu. Mata hijau itu, mata yang mengawasiku setiap pagi tiba tiba timbul kaca. Entah mengapa ia menjadi emosional. Bukankah ini adalah saat yang tepat? Meskipun aku belum terlalu siap.
Kali ini aku ingin menyenangkan makhluk lain, malaikat ini harus selesai menuntaskan tugasnya dengan baik. Bukankah hal dosa jika aku menghalangi ‘kesuksesan karirnya’ hanya karena aku yang belum siap?
Tiba tiba saja merengkuhku. Dia mendekapku, sama persis seperti manusia yang sedang memeluk. Aku bisa merasakan kulitnya bernapas. Hanya saja aku tak bisa menyentuhnya. Aku bisa merasakan tanpa menyebut ini sebuah ‘sentuhan’.
Tanpa kutahu bagaimana awalnya, bibir kami beradu. Berlanjut hingga sebuah persetubuhan di ruang tamuku yang lengang. Aku bisa merasakan sayapnya mencengkeram tubuhku. Lembut dan tajam, panas dan dingin, nyaman namun membuatku berdegub. Aku bisa melihat mata hijaunya melumatku, remuk, aku dijajah kekuatannya. Sinar matahari pukul sembilan menelanjangi kami, aku tak bisa menolak segala pesonanya.
“Kau tahu? Tuhan akan marah jika melihat ini” kataku saat kami selesai dengan pergulatan berat. Dia berbaring di dekat lenganku. Sayapnya ditekuk. Tetapi tangannya masih memelukku, erat sekali.
“Apa setelah ini kau akan masuk ke dalam neraka?” tanyaku lagi.
Makhluk itu masih diam. Tiba tiba ia menangis. Dari mata hijaunya ia mengeluarkan air yang hangat. Kuusap dengan ujung telunjukku, tetapi tak bisa. Air itu terus menderas.
“Kau tahu, aku merasa jika aku telah jatuh cinta padamu dalam waktu 40 hari sebelum ini” dia berkata pelan, seperti berbisik.
Aku tercekat. Mencoba mencerna kalimatnya yang tak bisa langsung kumengerti.
“Jika aku adalah manusia, aku bahkan rela mati untukmu. Apa yang lebih indah dari pada seorang perempuan yang menyukai bunga bunga, pandai melukis, mahir memasak kue kue? Apa yang lebih indah dari melihat jiwamu yang pernah patah?”
Kutelan ludahku, aku masih saja tidak paham.
“Aku telah banyak menjelajahi jiwa manusia yang lain. Bagiku kamu berbeda. Bagimana mungkin ada manusia yang mau menyakitimu? Apa mereka tidak mampu membaca mata, perangai, gerak tubuhmu yang bahkan jauh lebih menarik dari jenis malaikat manapun?”
Dia mengeratkan pelukan. Tangannya naik turun di bahuku. Mengelus dengan sangat lembut dan tertata.
“Bagaimana bisa aku mencabut nyawamu?”
Dia menangis, keras. Sesenggukan hingga aku tak mampu menenangkannya. Tubuhnya yang tinggi besar masih mendekapku dengan penuh rasa memiliki.
“Mantan kekasihmu seharusnya tahu akan ini semua daripada aku. Dia bahkan tidak mengerti lagu apa yang kau sukai”
Dia menghentikan tangisannya sejenak. Kutatap mata hijaunya. Dia tersenyum.
Dia kecup dahiku sekali lagi. Cukup lama. Dia hapus air matanya. Kurasa aku juga mulai menyukai mata hijaunya.
“Menyenangkan jika bisa menyanyikan
lagu itu sembari bermain air dan ditemani segelas tequila” gumamnya.
Aku terkekeh, kemudian tawaku
terhenti mengingat suatu hal.
“Bukankah jika ada malaikat yang mencintai manusia, dia akan mati?”
Dia berdiri, merapikan sayapnya yang mulai rontok satu per satu bulunya. Setelan kemeja putihnya ia rapikan kembali. Diraihnya jemariku. Mengecup punggung tanganku.
“Kurasa aku tak perlu menjawab mengapa aku harus membiarkanmu mati seorang diri”
Dia menciumku lagi, mencabut nyawaku. Membiarkan raganya mati di ruang tamu rumahku. Aku membiarkan jiwanya jatuh pada jiwaku. Sedikit nakal pada ketentuan Tuhan, aku tidak peduli jika setelah ini kami akan dilempar ke dalam neraka.
-
Pagi itu adalah hari ke 41.
Lukisan masih tiga perempat bagian yang belum selesai. Di samping kuas tercecer obat bius, pereda rasa sakit dan juga berbagai jenis kapsul lainnya. Sudah cukup rasanya benda benda itu aku tinggalkan untuk menjadi jawaban mengapa aku harus pergi.
Patah hati adalah alasan terkuat yang mereka sangka menjadi penyebab aku memutuskan untuk mati. Mereka tidak tahu saja, aku sedang asyik bercinta dengan malaikat bermata hijauku. Makhluk yang tidak akan pernah menyakiti, yang rela mati hanya karena jatuh cinta padaku.
-
Malang
08.17
Saturday 26 January 2019
https:mke block chain
Komentar
Posting Komentar