Menunggu Pagi
Hari
ini, untuk ke sekian kali aku kembali berteduh di hangatnya Kota Jogja.
Ada
setumpuk kue lapis yang kujinjing, tiga kotak tepatnya. Dengan varian rasa yang
berbeda, untuk orang orang yang berbeda. Dua jam lagi aku harus sudah bertemu seseorang.
Mengecup pipinya yang kasar, mengelus rambutnya yang acapkali berantakan.
Dan
benar, sesaat setelah aku menyelesaikan dua halaman buku, lelaki itu datang.
Kami
tak saling bersuara, hanya isyarat kebahagiaan. Kami berdua tak suka mengumbar
kata kata, lebih irit bicara. Hanya sentuhan yang tak pernah berjeda. Juga
senyum di raut wajahnya yang bersinar temaram.
Sebuah
studio film, lebih tepatnya studio komunitas film. Aku meletakkan seluruh
barang barangku pada sebuah ruangan. Sebentar lagi orang orang akan datang,
kami berdua harus menuntaskan sebuah ciuman.
“Aku sudah siapkan rasa vanila
kesukaanmu” kataku.
Kusodorkan
sebuah kotak kue padanya. Dia berterimakasih.
“Besok antarkan aku ke stasiun lagi
ya” pintaku sebagai imbalan. Lelaki itu mengangguk.
Aku
menyaksikan segala kegiatan di hari ini. Orang orang yang datang dan pergi.
Bersalaman dengan mereka yang baru sekali melihatku dan harus menjawab dengan
penuh kecanggungan ketika ditanya aku siapanya lelaki di sampingku. Setiap kata
dan rangkulan yang kutunjukan adalah sebuah tanggungan moral yang entah hingga
kapan aku bisa menahannya.
Lelaki
itu sesekali melihatku, seolah memastikan jika semuanya akan baik baik saja.
Aku percaya jika akan ada waktu yang tepat untuk memilih salah satu, atau kemungkinan
terburuknya ialah aku melepaskan kedua duanya.
Andai
saja aku bisa merubah waktu, mungkin aku tak kan seberani ini. Bermain dengan
lingkaran Kota Jogja dan orang orang di dalamnya. Mungkin jika aku tak bertemu
dengan lelaki ini, aku akan membusuk dalam kebosanan tiada ujung. Namun aku
yakin jika semua hal yang terjadi
pastilah mengandung maksud, aku hanya harus sabar menunggu alurnya.
Melihatnya,
menatap kegiatannya dari jauh, menyaksikan dia berdiskusi kecil dengan rekan
sekomunitas adalah hal yang menyenangkan. Sesuatu yang tak bisa kudapatkan dari
seseorang. Aku senang melihat lelaki itu berbicara, aku bahagia melihatnya
menuang minuman untukku, mempersilahkanku menyentuh segala hal yang menjadi
mainannya di tempat ini. Aku suka cara lelaki ini mengeluarkanku dari sebuah
kejenuhan yang melilit tubuh.
“Besok mau bawa apa saja?” tanyanya.
Aku menunjuk sebuah koper kecil dan sekotak kue lapis rasa coklat yang tersisa.
Satu kotak kue rasa pandan telah habis untuk hidangan orang orang yang datang.
“Itu saja? Yang lain tidak dibawa?”
Aku
menggeleng.
“Yang lainnya biar di kontrakanmu
saja, toh aku akan menginap lebih lama di tempatmu” jawabku.
Lelaki
itu tersenyum, penuh arti. Penuh rasa ingin mencumbu, namun terhalang kembali
oleh teriakan yang memanggil namanya.
Kupejamkan
mataku, mencoba menelisik adakah yang salah dari apa yang kuperbuat.
Tak
kutemukan apa apa.
Aku
tidak egois, aku hanya sedang bermain main dengan takdir Tuhan.
Dadu
sudah dilempar, masih kutungu berapa bulatan yang keluar.
Harap
harap cemas, karena angka akan menentukan langkahku selanjutnya.
-
Lelaki
ini memelukku. Erat. Amat erat seolah ini merupakan pelukan terakhir yang
sanggup ia berikan. Kami menunggu pagi, menikmati dingin suasana dini hari
sebelum akhirnya berpisah kembali.
“Lima belas menit lagi aku ke tempat
biasa, jaga diri baik baik” pesannya kepadaku. Aku mengangguk. Lima belas menit
itu waktu yang tidak sedikit. Tetapi dia sudah bersiap siap.
Lelaki
itu pergi, melambaikan tangan. Tiba tiba aku merasa dirundung sebuah perpisahan.
Padahal aku tahu tiga hari lagi kami akan bertemu kembali. Aku akan menginap
dan menikmati aroma tubuhnya setiap aku membuka mata. Menikmati senja dengan
musik musik dan cerita dari buku buku yang berbeda. Tiga hari lagi kami akan
makan berdua dan bercerita banyak hal, tentang hari ini dan hari yang akan
datang. Kami akan terus bersama, meski harus mengorbankan beberapa hal.
Aku
kembali menunggu di sebuah bangku. Memeluk koper kecilku juga kue lapis rasa
coklat. Kuhela napas berat, dia pasti terlambat bangun sehingga telat
menjemputku.
Dua
lagu berlalu, lima belas lembar buku terlewati. Aku meredam amarah, dua
panggilan telepon kubatalkan karena tak terjawab. Sedikit kesal, sedikit cemas,
tumpukan rindu tiba tiba menguap, digantikan oleh ruam ruam kesakitan akan
tamparan kenyataan. Dia belum dewasa, dia belum bertumbuh seperti yang ku
inginkan.
“Ra, sorry telat. Tadi telat bangun”
Kulepas
headsetku. Aku mengangguk sebagai
tanda bahwa aku tak apa apa, tidak juga marah. Tak ada pelukan, tak ada kecupan
kecil di punggung tangan.
“Ra, nggak kangen?” godanya.
Aku
tersenyum. Membiarkan lelaki ini menggandeng tanganku. Kami keluar ke pintu
stasiun. Diam diam kuamati sebuah kedai kopi yang kami lewati, kekasih keduaku
ada di sana sedang menatapku. Dia tersenyum, melambaikan tangannya dengan hati
hati, mengatakan ‘aku mencintaimu’ dari jauh dengan caranya yang tak biasa.
Lelaki
di sampingku ini sangat baik. Juga lelaki yang tadi pagi mengantarku ke stasiun
demi sebuah skenario ‘baru datang di Jogja’ juga baik. Aku memilih untuk
menjebakkan diri di antara keduanya. Meski keduanya memilih rasa kue yang
berbeda, vanila dan coklat. Meski keduanya tidak kenal satu sama lain. Mereka
berdua hidup dalam tubuh dan jiwaku.
Kalian
boleh saja menuduhku perempuan yang tidak benar, tapi aku sungguh mencintai
keduanya. Mereka amat berbeda, dan dari situlah aku belajar banyak hal baru.
Pada Dean, kekasih pertamaku aku belajar untuk mengalah dan sabar. Sedang pada
Ve, kekasih keduaku aku belajar bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Keduanya
esensial. Keduanya penting.
Dean
menggandengku meninggalkan stasiun yang masih ramai dengan orang orang yang
datang dan pergi. Kami akan bersama dua hari lamanya.
Ve,
akan menungguku dengan segenap rasa di hatinya.
Kota
Jogja selalu menyambutku hangat, mesra, penuh kerinduan.
Jangan
tanya kapan semua ini akan berakhir, aku sedang menikmati semuanya. Tidak ingin
berakhir cepat cepat.
-
Malang
16.36
Sunday
6 Jan 2019
Komentar
Posting Komentar