Danilla






Rane selalu datang dengan wajah pucat dan rambut sedikit berantakan. Jepit rambutnya tak pernah cukup untuk mengumpulkan helaian mahkota di kepalanya. Dia selalu datang terlambat, lebih telat daripada siapapun. Dia sering ditolak masuk kelas, tapi dia juga yang paling berani bersuara ketika siapapun terdiam.


            “Maaf tadi aku ada urusan di rumah, toko kue sedang sibuk sibuknya. Mana bagianku?” Rane selalu berkata demikian saat kami berkumpul untuk membahas tugas kelas. Aku tahu Rane memiliki sebuah toko kue kecil yang ia kelola sendiri dibantu dengan Sang Ayah, katanya dari situlah dia dapat meneruskan kuliah. Sebuah sumber kehidupan yang tidak bisa dia tinggalkan demi sebuah kata ‘tepat waktu masuk kelas’.


Rane tidak pernah menolak ketika ia diberi bagian tersulit, tersusah atau bagian terberat. Kadang kadang aku mendapatinya terlalu keras membuktikan bahwa dia mampu hingga hampir jatuh air matanya. Dia adalah perempuan  ‘paling susah menolak’ yang pernah kutemui di bumi. Beberapa kali kudapati ia menahan kantuk di sela sela matanya awas menatapi layar monitor, aku tahu dia lelah. Beban pekerjaan rumah di pundaknya memang tak pernah membuatnya menyerah.


Ketika tugas telah selesai, Rane buru buru menuju tempat sepeda kayuhnya. Dia melambaikan tangan dari jauh sembari bilang “Kabari aku kapan saja kalo ada yang kurang”. Setengah jam jarak kampus ke rumah Rane, dia akan segera menenggelamkan diri bersama adonan dan bau mesin pemanggang roti. Rane tidak pernah kembali hanya demi sebuah rapat organisasi yang banyak digilai mahasiswa masa kini. Bagi Rane, rapat kecil dengan para pegawainya lebih berharga dibandingkan berbagai program kerja.



Suatu hari Rane pernah bilang padaku begini “Damas, kalau nanti tiba tiba kamu ulang tahun, kamu bisa pesan kue padaku. Kudengar kabar ipk kita hanya beda angka di belakang koma. Kalau kamu mau juga bisa mengundang teman temanmu ke kedai kueku, ada kopi juga di sana. Tapi kalau kopi bayar” katanya. Aku tahu dia bercanda. Hanya karena aku adalah manusia satu satunya yang bisa ia ajak bicara dan tak pernah menolak jika diminta menjelaskan sedikit tentang materi kuliah.


            “Rane, ulang tahun tidak pernah tiba tiba terjadi. Ulang tahun itu sesuai dengan yang tertulis dalam akta kelahiran kita” jawabku.


Rane tertawa. Kaca mata bundarnya ia lepas, membetulkan riak rambut di dahinya yang lebar. Dia menepuk pundakku.


            “Tidak ada yang benar benar akan mengecek kapan hari ulang tahunmu, Damas. Lagi pula teman kita berubah tiap pergantian semester. Kau bisa ulang tahun tiga kali dalam setahun. Pertama di semester ganjil, kedua di semester genap, dan ketiga di musim liburan. Hidup ini mudah Damas hahahaha” Rane tertawa lagi. Wajahnya menengadah ke angkasa, seperti meminta persetujuan pada langit. Dia amat yakin jika apa yang baru saja ia katakan itu lucu, meski yang menemaninya tertawa hanya aku. Sementara teman teman kami yang lain hanya memandangi kami sambil berbisik bisik “Dua orang idiot sedang berdialog tuh”.



Aku tahu Rane punya semestanya sendiri. Semesta yang tak bisa disentuh oleh sembarangan orang. Rane adalah pemilik galaksi yang orang tidak akan bisa mengerti. Diajak berbicara oleh Rane adalah sebuah jalan pembuka untuk menuju dunianya. Dunia yang tak pernah kusangka sangka sebelumnya.


-

Bagiku, Rane adalah Danilla. Danilla dalam tubuh yang lain. 


Jika Danilla pandai bermusik, maka Rane adalah pemilik puisi terbaik. Dari jarinya yang mungil dan sorot matanya yang berteriak pilu, ia tak habis berkarya. Sedikit sekali yang tahu bahwa Rane adalah penulis kata kata di lini masa. 


            “Dulu, ibuku adalah seorang penggiat teater” kata Rane pada suatu sore yang sepi. Anak anak lain sudah pulang, sudah di ujung semester. Ujian semester telah berlalu, Rena tidak punya tempat untuk ‘berpulang kampung’. Sore itu kami berdua terjebak dalam hujan yang mengada ada, menahan dua langkah untuk berpisah dan mengucapkan sampai jumpa di semester selanjutnya.


            “Darinya aku mewarisi bakat yang tak bisa kubendung dengan cara apapun, juga segala upaya Ayah untuk menjauhkanku dari hal hal berbau seni. Semuanya terpatri dalam otakku, puisi, cerita cerita yang tertanam secara tiba tiba, kata kata yang tak terluapkan. Kadang kadang aku merasa hampir gila jika serangan itu datang. Ibu seperti memberiku kutukan, sebuah dendam yang tak terbayarkan kepada Ayah. Aku adalah alat ibu untuk terus hidup” Rena bercerita tanpa kuminta.


Sore itu aku melihat Rena mengikat rambutnya dengan kuncir lucu warna merah jambu. Kacamatanya sesekali terjatuh, hidungnya terlalu kecil. Tidak seperti Danilla, Rena tidak memiliki hidung yang mancung. Tapi dia tetap Danilla di mataku.


            “Tapi Ayah bilang, seni akan membuatmu bodoh. Ayah selalu terobsesi pada pastry dan kue kue. Di usia enam tahun aku harus sudah bisa mengaduk adonan untuk pastel, tapi Ayah akan melemparkanku ke gudang dan mengunci pintunya jika aku ketahuan membaca buku fiksi. Sekalipun itu berjudul ‘madre’ karya Dewi Lestari, sekalipun buku itu bercerita tentang sebongkah menu roti baru. Ayah akan memaki jika aku dekat dekat dengan hal yang disukai Ibu. Kadang kadang aku merasa tersiksa”


Aku menghela napas. Mencoba membayangkan jika Rena akan melawan apa yang dikatakan ayahnya. Tapi itu bukan Rena, itu bukan sifat Danillaku. Rena begitu lembut. Seperti bulatan bolu pandan panas yang baru saja tanak dari dalam oven. Rena adalah perempuan yang patuh.


            “Ibuku meninggal dalam perjalanan menuju sebuah gedung pertunjukan. Pada suatu malam di bulan Februari, menjelang ulang tahunku yang ketiga. Tiket nonton teater masih terselip di saku jaketnya. Sejak saat itu Ayah begitu membenci hal hal berbau seni”.


Rena tersenyum kecut, menghentikan sejenak ceritanya. Jarinya yang lentik memegangi kacamatanya, mengentaskan titik titik air di ujung mata, menghilangkannya hingga ia tak terlihat sedang menahan tangis.


            “Tapi itu sama sekali tak menghentikanku. Ibu hidup dalam darahku. Dalam tubuhku, darah ibuku berlarian, berpindah pindah, selalu membelah, tak pernah benar benar mati ataupun hilang. Ibu bersamaku meski Ayah membunuh jiwanya”.


Sore berubah menjadi senja dan Rena masih saja mengelak jika dia sedang menangis. Baru kali ini aku melihatnya terlalu menikmati sore tanpa mengkhawatirkan catatan pesanan, kue kue manis dan asin yang harus ia bereskan. Baru kali ini aku melihat Danillaku begitu larut dalam percakapan yang haru, dan aku adalah satu satunya yang melihat itu semua. 


            “Diam diam aku sering menyelipkan berbagai macam bentuk kata dalam setiap pesanan kue, sebelum diambil oleh pelanggan. Aku memberi mereka pesan pesan dari Ibu yang tak sempat lahir. Mereka, pelanggan pelanggan itu selalu kembali datang. Mereka bilang kata kataku terlalu manjur. Semacam ramuan untuk meneguk bahagia dalam kemasan yang lain. Ayah tidak tahu, Ayah sibuk dengan komposisi. Ayah tidak mengerti aku menyalakan banyak puisi dalam kue kue buatannya”.


Sore merangkak naik, kami masih terjebak dalam detik detik yang penuh, tidak terkurangi oleh apapun. Rena, Danillaku tiba tiba bangkit. Matanya yang bulat berbinar terang, kurasa tangis membuatnya semakin cantik. Juga jemarinya yang panjang dan langsing semakin menarik, berjodoh dengan semburat jingga warna senja. Dia tersenyum, membetulkan letak kacamatanya yang terus melorot karena hidungnya terlalu kecil.


            “Damas, selamat ulang tahun. Maaf Rena sudah bercerita terlalu banyak”


Rena menyodorkan sebuah kue kecil, bertuliskan ‘Selamat Bertambah Usia, Damas’ di atasnya. Aku masih tertegun, tidak bisa berkata kata hingga ia hilang dari pandangan., menjauh dengan sepeda kayuhnya. 


Danillaku pulang, tanpa ucapan perpisahan dan janji untuk bertemu di kesempatan selanjutnya. Hujan memang sudah berhenti, namun tiba tiba detak jantungku melaju. Sebuah kertas mungil terselip di antara ornamen kue. Aku menahan napas, Danillaku menitip sebuah pesan:


‘Damas, bisakah kau senantiasa mendengarku bercerita?
Hingga kita berdua merenta.
Aku dan kamu menikmati teh celup di dekat jendela, kau riang dengan kukis kukis manis yang kubuat dengan penuh cinta’
-Rena

Aku baru menyadari jika hari ini Danillaku tidak berantakan, rambutnya wangi bunga kenanga. Diam diam aku berjanji pada diri sendiri, Danillaku harus berjodoh dengan kemampuanku mendengar. Hingga ia bisa bercerita apa saja dengan merdeka.


-
Malang
21.04
Thursday 3 January 2019
Gambar diambil dari: http://www.thebinde.com/2015/08/danilla-diantara-lagu-dan-romansa.html




Gambar diambil dari: https://www.flickr.com/photos/hendisgorge/29854668982

Komentar

Postingan Populer