Aku Rumahmu, Sa
“Jangan tambahkan
apapun” cegahku. Dia menurut. Meletakkan kembali kotakan gula pada tempatnya.
Dia sodorkan secangkir kopi yang masih mengepul asapnya. Kutanggapi dingin,
menghadap jendela.
Dia menghela napas
berat. Mau menunggu reaksiku. Sesekali tangannya memainkan vas bunga kecil di
hadapannya. Mengusir jenuh atas sikapku.
“Aku lelah” kataku
memecah sunyi di antara kami. Sesaat kemudian aku menyerah pada pipiku yang
basah. Menurunkan harga diriku di depannya.
“Kamu sepertinya masih
belum paham akan konsep pulang” katanya.
“Kamu harus kembali
pada rumahmu” dia meneruskan bicaranya.
“Aku selalu pulang pada
rumahku” belaku di sela tangis yang kubenci.
“Kau pulang pada biduk
yang salah, kau pulang pada yang bukan menjadi takdirmu”
“Apa selama ini aku
pernah memilih takdir yang mana yang harus aku datangi?”
“Setidaknya jangan
menuruti takdir yang akan membawamu pada patah hati menahun”
Dia meraih piring pancake
di hadapanku. Mengirisnya kecil kecil, melumurinya dengan cokelat yang sejak
tadi berada di dalam cawan. Kembali ia letakkan di tempatnya, mempersilahkanku
menikmatinya.
Aku masih basah akan
air mata, masih tak mau melihat matanya.
“Sa” panggilnya lembut.
Meraih jemariku yang seolah membeku oleh terpaan angin dari jendela si samping
kami.
“Apa tak cukup jika
selama ini aku berusaha untuk menjadi gravitasi yang terus memintamu untuk
memilih? Apa terlalu berlebihan jika aku memintamu untuk sekali saja menjadikan
aku rumahmu? Sa, aku ini kurang apa? Aku ini kurang siaga apa dalam menemanimu,
Sa. Apa memang sabarku ini sia sia? Setelah sekian lama aku yang menjadi
sandaranmu saat patah hati berkali kali. Apakah aku ini tak cukup menjadi salju
di keringnya hatimu, Sa?”
Kutelan ludahku, pahit.
Dalam genggaman jemarinya yang kian menghangat , sungguh aku tak bisa mengelak.
Aku butuh pundaknya yang utuh. Pundak yang tak pernah dibagi untuk siapa pun
selain untukku.
“Sa, benarkah semenjak
dulu, tak ada sisa di sudut terkecil hatimu untukku?”
Apa iya seperti itu?
“Tak adakah sedetik
saja kau izinkan namaku terlintas pada imajinasi ‘masa depanmu’ yang amat kau
impi impikan itu, Sa? Tak adakah?”
Aku semakin terisak.
Dan kata kata
selanjutnya dari bibirnya yang indah kian melembut. Semuanya, mungkin hampir
semuanya dia ungkapkan sekarang. Semuanya yang ia rasakan selama menjadi
pelindungku. Selama ia selalu menahan pergolakan emosinya sendiri saat aku
tersakiti. Mungkin sudah seharusnya jika...
“Sa” dipererat
genggamannya pada jemariku. Kuberanikan diri menghadapi matanya. Mata yang selalu
tampak teduh, tenang, yang mampu mendamaikan seluruh rongga pernafasanku saat
aku merasa sesak.
“Apa selama ini aku tak
cukup banyak menumpahkan namamu dalam doaku?”
Sudah, cukup, kumohon.
“Sa”
“Aku mencintaimu, lebih
baik dari mereka yang datang dan pergi selama ini”
Sudah, aku ingin..
“Yunma” panggilku
kemudian. Mengalah pada posisi stagnan yang tadi kudekap erat. Kuhapus satu
satu lelehan di pipiku, saat dia ingin membantuku, kutepiskan tangannya.
“Aku hanya ingin kamu
sadar bahwa ada satu hal yang perlu kamu ketahui” kutarik selembar tissue dari
wadahnya. Mengelap mataku yang kutahu tak kan kering bahkan dalam lima menit
selanjutnya.
“Aku sudah lebih dari
tau apapun tentang...”
“Kamu tak mengerti
perihal yang satu ini” potongku cepat. Aku tak mau dia terus memenggal
kalimatku seperti sebelum sebelumnya.
“Yunma, kamu harus tau
sakitnya memiliki sesuatu yang tak sesuai dengan dugaan kita sebelumnya”
Dia diam, menatap
mataku tajam.
“Semua akan terasa
biasa, ketika kita sudah menggenggamnya”
“Semuanya, Yunma”
lanjutku masih dengan air mata menetes satu satu.
“Dan aku tidak ingin
itu terjadi padamu”
“Biarlah seperti ini
Yunma, kau akan kecewa jika nanti benar benar memilikiku sepenuhnya”
“Semua akan terlihat
biasa setelah kita memilikinya, semua akan terasa biasa ketika kita telah
berada dekat padanya, semua akan terasa biasa ketika kita telah berhasil
meraihnya, termasuk aku”
Aku menangis lagi.
Disaksikan lilin lilin
kecil dalam ruangan.
“Aku tak ingin kau
merasakan apa yang telah aku rasakan, seperti yang sudah sudah”
“Apa yang telah aku
alami selama ini”
“Aku, aku yang
terabaikan setelah dimiliki. Aku yang tak lagi...”
Pelan, dia kembali
membuatku tak menuntaskan kalimat saat tangannya dengan cepat meraih jemariku.
“Sayang sekali, Sa. Aku
adalah tipe orang yang sangat menghargai apa apa yang aku punya. Kamu tau siapa
aku, Sa. Dari dulu tak pernah tau siapa ayah dan ibuku, lalu apakah pantas aku
bersikap seperti itu? Bersikap seperti mereka yang menyia-nyiakanmu?”
Dia lepaskan
genggamannya.
Beralih membuka tas
ranselnya yang besar. Mengeluarkan isi di dalamnya.
“Kamu ingat gelang
pemberianmu di ulang tahunku yang ke sepuluh ini? aku menyimpannya tanpa berani
memakainya, Sa. Aku tau kamu membuatnya hanya untuk aku. Dan memakainya sama
dengan memperpendek usinya. Aku tak mau gelang ini rusak”
Aku tertegun, antara
rasa kaget dan tak percaya campur aduk menjadi satu.
“Dan mungkin kamu tak
pernah sadar bahwa aku menyimpan semua surat yang kau kirimkan ketika aku masih
di Jogja. Kamu mungkin tak kan percaya bahwa aku menyimpan semua foto masakan
yang pernah kau kirimkan padaku. Kamu juga tak pernah mengerti, Sa.. aku
menyimpan apapun yang orang lain beri padaku dengan sangat baik. Maka
berlebihankah jika aku meminta Tuhan untuk memberikan kesempatan padaku untuk
terus menjagamu? Mengentaskan sedihmu. Berlebihankah jika aku meminta Tuhan
untuk membuatmu percaya bahwa akulah satu satunya manusia di dunia ini yang mau
menampung apa apa yang menjadi gundahmu, Sa?”
Aku pasrah.
“Sa, bolehkah aku
menjadi rumah yang kau cari cari selama ini?”
Aku tak mengangguk,
namun juga tak menggeleng. Masih membiarkan tetes tetes airmata menghuni
pipiku.
“Baiklah Sa, kamu hanya
perlu tau satu hal. Bahwa rumah sejati selalu menunggu tuannya pulang”
Malang
09 March 2017 19.48
Komentar
Posting Komentar