Binglala



'Bapak, itu apa?' mataku tak lepas dari cahaya samar samar yang tiba tiba melintas dari timur ke barat saat aku dan Bapak sedang asyik menjalani ritual mengamati bulan purnama.


Bapak terdiam sebentar.

Namun kemudian meraih tanganku.


'Nduk, itu cahaya orang mati. Ayo masuk, ayo sembunyi di dalam' ajak beliau.


Tapi aku masih merasa terpesona dengan cahaya putih itu. Datang dari barat kemudian ke arah timur dan kembali lagi begitu seterusnya.

Bapak terus memegang lenganku erat.

'Bapak, itu bagus' kataku lagi masih dengan rasa takjub yang memenuhi setiap inci rongga dada.


'Nduk, sudah malam. Ayo masuk. Nanti dicari Ibuk lho. Ayo ndang bobok. Nanti Bapak dongengin cerita Dewi Sekartaji'

Kutatap mata Bapak, berbinar binar.


' Dewi Sekartaji yang katanya secantik aku ya Bapak?'

Bapak mengangguk. Menggandeng lengan mungilku menuju pintu rumah.


Nyanyian jangkrik mengawali tidur malamku yang sederhana. Sesederhana cara Bapak membahagiakanku lewat cerita cerita penghantar tidurnya untukku.


-

'At 10.20 am, okay. See you there. Thankyou so much'

Kututup sambungan telepon.

Dari jarak sekian ratus meter kulihat puluhan burung gereja melintas. Sibuk mencari penghidupan.


Kuhela napas berat.

Sebentar lagi adalah putaran kedua dan aku harus turun dari sini.

Tiba tiba aku terserang rindu.

Rindu pada Bapak.

' Pak, itu cahaya apa?'

Aku masih sangat ingat raut wajah Bapak yang kelabu. Digerogoti rasa cemas.

Aku ingat telapak tangannya yang mendingin saat kusentuh. Aku ingat pada setiap kalimatnya yang ia lahirkan secara hati hati.

'Nak, Dewi Sekartaji adalah gadis yang baik dan penurut. Maka kamu harus menjadi seperti itu ya. Nurut sama kata kata Bapak' dielusnya rambutku lembut.


Aku mengangguk angguk kala itu.

Aku ingat Pak, itu bukan cahaya orang mati.

Itu cahaya bianglala.

Bianglala di pasar malam.

Salah satu tempat yang paling Bapak hindari karena memang Bapak jarang mempunyai uang.

Dan beranjak dewasa, aku paham Pak..

Bahwa untuk sekedar mengajakku naik bianglala, Bapak tidak ada uang.


Cahaya itu, Pak..
Aku mengintipnya diam diam dadi balik pintu saat Bapak telah tertidur.



Bapak, aku paham.


Dan saat ini juga air mataku bercucuran.

Ingat betapa Bapak sangat sayang padaku. Ingat betapa banyak jatah makannya yang beliau sisihkan demi aku meminta lebih. Ingat pada sepeda kumbang Bapak yang kotor setelah menembus berkilo kilo jarak sepulang dari ladang.


Aku paham, Bapak.




Burung gereja kembali berhamburan.

Menukik ke sana ke mari.


Melengkapi pagiku di kota ini.


Kuseka air mataku, sebuah pesan masuk :

-Still at London eye? Let me see you there in10 minutes-



Kuseka kembali air mataku.


Bapak, putri kecilmu ini dengan kesabarannya mendapat yang lebih baik dadi sekedar cahaya bianglala pasar malam. Putrimu ini sudah di sini Pak, di tempat yang jauh lebih indah daripada cahaya bianglala.




Aku di London Eye, Pak. Dadi sini banyak kuucap doa untuk Bapak.



Cahaya hidupku.


Aku rindu Bapak.



-

Komentar

Postingan Populer