Garam



"Aku ingin menjadi garam"



Aku diam, menunggu.


"Sudah cukup, bagiku"


Langit masih saja kelabu, namun tidak ada tanda tanda akan datangnya hujan.


Dan kami masih terjebak dalam rasa nyaman yang semakin menumpuk, menindih keinginan kami untuk pulang.


Satu persatu pelanggan yang lain meninggalkan kedai.


Menyisakan 3 pasang bola mata dalam tiga kepala yang masih menyala, tak bernafsu untuk sekedar menutup dua menit saja menuruti kantuk.


Lambat, terdengar bunyi mesin menggerus kopi.


Seperti mengiringiku untuk menatap mata manusia di depanku lebih lama.

"Kalau kamu?" dia balik bertanya, masih membahas tentang -kamu ingin menjadi apa buatku?-.

Aku terkejut, belum siap akan jawaban.


Dia giliran menatapku, membuat pandanganku beralih pada cangkir kopi yang isinya telah raib.



"Aku.. ingin menjadi.."

"Kamu pasti akan bilang mau jadi Ranger Pink" tebaknya sebelum kuselesaikan kalimatku.


Ini sama sekali tidak lucu.



Lagi, kuhela nafas panjang.


Tapi tak juga kutemukan jawaban hingga tiga ratus detik setelahnya.



Akankah aku harus menjawab pena, penggaris, kalkulator, atau mungkin kacamata?


Aku ini ingin menjadi apa ya untuknya?


"Sudah?" tanyanya, mencari kejelasan.

Aku menggeleng.



Disentuhnya pundakku, "Nggak papa kok, jangan pucat gitu ih. Ekspresimu itu lho haha" katanya memecah kekakuanku.



Dia meneguk kopinya, mungkin untuk yang terakhir di malam itu.


Sudah pukul dua dinihari.

" Kenapa kamu ingin menjadi garam, By?"



Dua detik setelahnya dia hanya melempariku senyuman, menawariku -rasa gemas- akn lesung pipitnya yang manis.



"Perlu dijawab kapan?" dia bertanya balik.


Aku mendengus kesal.


Dia tertawa.

"Ya nggak papa, pengen aja menjadi garam"


Eh aku nggak mau jawaban macam itu, protesku dalam hati.


Barista di belakang kami masih setia pada catatan resepnya dan bunyi mesin yang kadang terasa geli di telinga. Mungkin dia sedang banyak bereksperimen hingga lupa mengusir kami.


"Karena aku ingin jadi seseorang yang selalu kamu butuhkan"

" Setiap waktu" lanjutnya.

"Sepanjang hidup"

"Bahkan saat kau sedang makan bakso sekalipun, aku mau menjadi garamnya"



Aku tertegun.


Oh jadi..


"Kalau kamu sampe nggak bisa mikir kamu mau jadi apa buatku, mending kamu milih jadi kuah soto aja"


Kutatap matanya, ah dia bercanda lagi.

"Mana tau kita bertemu dalam satu mangkuk. Aku mencintaimu, duhai kuah soto yang kurang garam"



Dan kali ini aku benar benar tak bisa menahan untuk menimpuk bahunya dengan sepatu.


Tapi setelahnya aku berbisik lirih:


"Terimakasih, garam inggrisku"



-

Komentar

Postingan Populer