Teman?

 
 
Mengetik digit terakhir nomormu,
 
Pelan, harus kutelan kenyataan.
 
Bahwa sudah lebih dari sebulan kita kembali -berteman-.
-
Aku menyukaimu, tetepi membiarkan kamu pergi dengan apa yang kau pilih selanjutnya jauh lebih membuatku bahagia.
 
 
Mungkin aku patah.
 
Mungkin, dua minggu setelahnya aku masih menganggapmu sebagai salah satu ‘milikku’, hadiah 
 yang memang layak untuk kupeluk.
 
 
Mungkin tiga hari setelah ini aku akan terus terngiang oleh kalimatmu di sela gerimis sore itu:
 
“Sebaiknya kita kembali di titik awal kita bertemu”
 
Aku tahu betapa tatapanmu begitu dingin, meski tidak menghadapi mataku.
 
“Aku merasa bahwa kita lebih baik saling menjaga dalam doa”
 
Sore itu, hari terakhir ia menemuiku setelah tiga hari lamanya kita bertemu. Menghabiskan waktu bersama. Memenuhi hak untuk –melepas kangen setiap akhir semester- secara bergantian. Kadang aku yang ke Jogja, kadang dia yang ke Malang. Sore itu, dia giliran menyambangiku di Kota Malang.
 
 
Dan...
 
 
Mungkin juga itu terakhir kalinya untuk kami bersama sama melepas kangen sebelum..
 
Semuanya kembali kepada keadaan yang semula.
 
 
Gerimis berangsur memburuk, berganti menjadi paduan guruh dan berton ton air, melimpas di jalan jalan dan trotoar, mengiringi dua anak sungai di pipiku yang sama sama derasnya.
 
 
“Aku rasa kita..”
 
Dia tak melanjutkan kata katanya.
 
Tapi aku tidak, batinku berteriak.
 
Haruskah aku mengatakan bahwa aku lebih bahagia jika benar benar bersamamu?
 
Seperti semester semester sebelumnya.
 
Setelah kamu mengatakan “Hey aku menyukaimu” dan kemudian kita tidak canggung untuk saling menggenggam jemari satu sama lain?
 
Haruskah aku menegaskannya?
 
Bahwa aku sudah cukup bahagia kamu dapat melipat jarak walaupun hanya satu semester sekali?
 
Haruskah aku menceritakan semuanya kembali?
 
Sedihku, kangen, khawatir, cemburu, gundahku, semuanya.. saat kamu bilang “Tunggu sebentar ya, aku lagi ngerjain hitungan buat proposal. Klienku bukan orang sembarangan ini, he’s a special person and I have to deal with all of the...”
 
 
Aku, yang bertahan dari pengabaianmu selama ini namun tetap memberikan yang terbaik untuk..
 
 
Semuanya.
 
Persahabatan kita yang berubah menjadi satu misi.
 
 
Haruskah aku...
 
 
“Aku mencintaimu, tetapi...” suaranya tertahan di kerongkongan.
 
“Tetapi aku tak cukup memberimu bahagia yang kamu mau, bukan?” kataku, menyeka pelan air mata yang tumpah bermili mili.
 
“Aku pikir Jogja Malang sudah cukup jauh untuk sekedar menumbuhkan rasa rindumu, tetapi ternyata tidak” lanjutku kembali.
 
“Tetapi kita masih bisa menjadi sahabat, teman selamanya, bukankah aku masih berhak mendapatkan segala bentuk perhatianmu seperti yang kau janjikan?” tanyanya.
 
Iya, kamu masih berhak.
 
“Terimakasih” kataku, menolak tawaran pelukan yang ia ajukan.
 
“Aku yang seharusnya berterimakasih”
 
“Tidak, aku yang banyak merepotkanmu”
 
“Aku, lebih sering aku yang minta dimanja” sanggahnya.
 
“Tak apa, bukankah kita adalah teman?”
 
Mataku berkaca kaca kembali setelah kalimat itu meluncur.
 
Bukankah kita adalah teman?
 
 
Terimakasih untuk Jogja- Malang di waktu waktu yang lalu. Terimakasih, semoga pilihanmu yang terbaik.
 
 
Sunday 4 June 2017
00.58

Komentar

Postingan Populer