Mas Gunawan
Pukul 03.15, jarum di dinding itu berteriak berisik seiring dengan langkahnya menurut waktu. Asap nikotin memenuhi ruangan. Bersumber dari lelaki di depanku. Pandangannya seolah masih kosong, tak ada apa apanya. Masing masing dari kami masih terdiam, menyelami pikiran masing masing.
Lingkaran berdiameter sejari manisku ini masih kugenggam. Menunggu detik selanjutnya, mana tahu akan datang keajaiban. Mana tau ada beberapa memori yang tersangkut ke kepala manusia di depanku ini. Mana tau ada tarikan yang membuatnya tidak jadi menghilang, lepas, dan pergi dari sisiku. Mana tau kami berdua akan..
“Sudah hampir pagi”
Aku mengangguk.
Dia mendesah pelan, lalu kembali membisu. Menghisap rokoknya dalam dalam kemudian membiarkan asapnya meninggi.
Kugigit bibirku pelan, getir rasanya.
Kusambar kopi di depanku, menandaskannya dalam satu kali teguk. Dingin, memang sudah sedari tiga jam yang lalu. Dan manisnya yang menggelitik tenggorokan membuatku terbatuk. Membuat lelaki itu perlahan mematikan rokoknya.
“Kita harus bagaimana?” tanyaku kemudian.
Dia menggeleng seolah mengatakan ‘tidak ada’.
Aku pasrah.
Setidaknya jika memang kita harus berakhir, bukankah harus ada perayaan?.
“ Tapi, aku masih menyukaimu untuk saat ini”
Iya, aku paham.
“Tapi, aku juga tidak bisa menepikan –persamaan- antara kita” lanjutnya.
“Tetapi, sungguh aku ingin lebih lama bersama denganmu” lagi, dia meyakinkanku.
Aku juga, Raka. Aku juga sangat ingin menjalani semuanya bersamamu. Enam semester semenjak kita bertemu bukankah waktu yang singkat untuk menegaskan bahwa kita saling membutuhkan lebih dari sekedar –teman-. Aku bahkan tak lagi ingin menghitung berapa banyak ruang dan waktu yang harus kukorbankan hanya untuk kita sampai di titik ini. Dan akhirnya, aku tak bisa lagi menafikkan bahwa..
Aku butuh kau,
Pundakmu,
Matamu,
Tatapanmu yang hangat serta dingin,
Usapanmu pada kepalaku yang lembut,
Ataupun,
Kalimat penenang saat aku merasa gagal dalam menghadapi ujian,
Dan..
Hari hari yang tak pernah kurasakan hilang jika itu kuhabiskan denganmu.
“Kamu nangis?” tanyanya. Diraihnya jemariku. Aku tak dapat mencegah jika dia tau aku sedang menggenggam cincin pemberiannya setahun yang lalu.
“Kenapa dilepas?” diraihnya cincin itu. Memasangkannya pada tempat semula, jari manis tangan kiriku.
Kami saling menggenggam.
Dan disaat mata kami bertemu, dia berkata lirih:
“Aku masih sayang kamu, apapun yang terjadi. Jangan pernah takut akan apapun. Dengan siapa pun yang menentang hubungan kita. Jangan pernah ragu, aku ini cuma milik kamu. Jangan pernah berubah ya, Gunawanku sayang. Aku mencintaimu”
Aku mengangguk lega, membalas genggaman tangannya dengan lebih erat.
Malang
12.13 Sabtu 1 April 2017
Komentar
Posting Komentar