Ratapan Cendana

‘Kau dengar itu?’

Aku mengangguk, meringis.

‘Kedengarannya amat menyakitkan’

Aku mengangguk lagi, berusaha tidak terpengaruh akan jeritan dan rintihan yang baru saja kudengar sepersekian detik yang lalu.

‘Esok giliran siapa lagi yang dibabat?’ dia, kawan di depanku bertanya seolah nyawanya tinggal setengah. Aku menggeleng takut, kuingat bahwa umurku sudah sepuluh tahun. Mungkin aku sudah berdiameter 34 senti, dan itu berarti..

‘Si Ranti yang malang’ seseorang bergumam.

Kugigit bibirku. Ranti telah tertebas, tewas oleh amukan parang dan gergaji.

Sejujurnya aku juga takut, sangat takut.

Kemudian beberapa mulai menitikkan air mata.

‘Ranti adalah pohon terwangi dan tergemuk, dia juga cantik Namun sayang kita tak bisa melihat dahannya yang indah lagi. Selamat jalan Ranti’

Lalu satu per satu dari kami berdoa.

Meminta pada Tuhan agar jika kami memang ditakdirkan untuk berhenti menjadi penghuni hutan, kami akan menyajikan manfaat yang lebih banyak.

‘Aku dengar, jasad kita akan dibawa ke kota. Dikumpulkan dalam satu ruang kemudian nanti menuju giliran untuk diolah’ ada seoran pohon remaja yang bercerita. Entah dia mendapat pengetahuan itu dari mana. Kami mendengarkan dengan seksama, seolah kami sedang mempersiapkan diri untuk hari esok yang entah semakin baik atau semakin buruk.

‘Lalu di pabrik kita kan diproses menjadi banyak produk. Masih untung kalau kita menjadi bahan meubel, tapi kalau kita menjadi campuran parfum? Tubuh kita ini akan dikoyak koyak hingga remek seperti abon lalu diambil sarinya’

Aku tergidik, ngeri membayangkannya.

‘Apalagi jika hidup kita berakhir sebagai campuran dupa, bisa bisa kita terbakar bersama asap kemenyan. Sunyi berdiam di tempat tempat keramat atau di perdukunan’

Aku gelisah.

Anak anak yang masih berusia lima tahun saling menangis.

‘Mengapa manusia begitu rakusnya?’ tukas seseorang dengan geram.

Aku mengangguk setuju.

‘Kaum pohon Cendana dihabiskan hanya demi menuruti keinginan manusia'

‘Lama lama kita bisa punah dari hutan ini’ kata seseorang.

Kami semua menangis.

‘Kurasa bukan hanya di wilayah kita saja Cendana seperti kita akan terus dibabat’ kataku sembari menerawang langit. Aku bahkan juga tak paham hingga kapan aku akan terus hidup. Mungkin bisa saja besok aku ditebas, digerus untuk bahan campuran lilin aromaterapi, dikirim ke hotel hotel mewah, dijadikan pemuas keinginan manusia.

‘Kurasa benar, tak hanya di Nusa Tenggara saja. Cendana seperti kita kan terus diburu, dieksploitasi, dijadikan sebagai....’

‘Teman, sudah cukup!’

Kami serempak menoleh ke arah suara.

Kea arah Cendana remaja, namanya Rengganis.

‘Sudah cukup. Mari kita kembali berdoa. Tidak ada yang mampu kita lakukan selain itu. Biarlah kita memohon kepada Tuhan agar melembutkan hati manusia, agar menyadarkan manusia untuk tidak sewenang wenang dengan kehidupan kita. Ayolah, kita ini makhluk Tuhan yang suci. Jika nantinya kita mati, berdoalah akan ada pohon pohon Cendana pengganti’

Masing masing dari kami mengangguk setuju.

Diujung doaku, terselip beberapa pinta yang semoga didengar:

‘Tuhan, semoga kami tak punah di negeri ini. Semoga anak cucu manusia masih bisa melihat generasi generasi kami berjaya menghuni hutan. Tuhan tolong gerakkan hati manusia agar mengganti kami dengan yang baru jika memang hidup kami akan berakhir di mata kapak’
-
http://sains.kompas.com/read/2012/04/03/16514511/pohon.cendana.di.timor.nyaris.punah.

Komentar

Postingan Populer