Kembali






“Aku akan menanam mimpiku di sini”

Aku masih menggelayut pada lengannya yang hangat. Dia mendengar bisikku, kata kata yang kuulang setiap waktu.

“Bukankah ini menyenangkan?”


Dia mengangguk, membetulkan letak kacamatanya kemudian buru buru mencegahku yang mulai ingin meraba tanah.


“Iya sayang itu Alfisol, pH netral, gembur, granuler, tujuh koma lima y-r dua per tiga” katanya sambil memegang lenganku, tidak rela jemariku menyentuh tanah.

Aku tertawa, dia benar benar menghafal sifat sifat tanah di tempat ini seperti yang kuminta.

“Apa kita tetap perlu pindah ke Praha?”


Dia menoleh ke arahku, dahinya berkerut seolah bertanya kembali “kenapa nggak jadi?”

“Aku pikir ini tempat yang ideal untuk ditempati, By. Bukannya...”

“Aku mau mewujudkan janjiku kan” jawabnya. Tangan kanannya bergerak ke pundakku, mengusir belalang kecil yang sempat hinggap.

“Tapi untuk sekarang aku sudah merubah life goalsku”

Dia lebih memilih mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut rambut halus, mungkin sedang menimbang nimbang. Adegan yang sudah ratusan kali kutemui selama bercakap cakap dengan orang ini. Matanya menerawang langit, tapi kemudian kedua tangannya memegang pundakku.


“You’re a princess, sayang. You deserve a palace to spend your time and your life. Jangan maksain diri meskipun kamu sudah jadi sarjana pertanian terus kamu malah balik kanan buat hidup di desa lagi...”

“Tapi kan..” aku memotong kalimatnya.

 Dia menunggu kalimatku selanjutnya.

“My obsession is coffee. Aku memang suka kastil, tapi sekarang aku memilih belajar mencintai lingkungan sebagai wujud dari ibadah dari ilmu yang kupunya. Aku suka Praha, tapi kita bisa kesana kapan saja. Tapi kalau kopi, kita belum bisa menanam di manapun. Apa kamu tidak ingin aku menanam lebih banyak tanaman untuk bertasbih kepada Tuhan?”

Dia menghela napas panjang.

Mungkin perdebatan seperti ini sudah terlalu sering kami lewati. Tentang rencana ke depan saat dia 
telah menyelesaikan gelar Master of Art-nya. Tentang impiannya melukis pemandangan di Selat Bhosporus, tentang aku yang dulunya mati matian meminta untuk tinggal di Praha dan kemudian sudah tak lagi ingin hanya gara gara jatuh cinta pada morfologi tubuh tanaman kopi di bangku kuliah. Perdebatan kami berlanjut, dia ngotot ingin membawaku tinggal di Eropa dan aku ngotot ingin membangun kerajaan kopi di tanah sendiri.


Tapi masing masing dari kami tak bisa saling melepaskan.

Sore bergerak pelan.


Masing masing dari kami hanya diam, sibuk dengan pilihan masing masing.

Kita adalah dua jiwa yang berbeda yang kebetulan disatukan Tuhan. Dia, berkepala dingin dengan segudang obsesi tentang seni modern abad pertengahan dan segala pandangannya tentang ideologi dari seluruh dunia sementara aku adalah si kuno yang –apa apa selalu memikirkan dampak bagi alam-. Kami dipertemukan dalam satu –case- yang terkadang berbeturan kepentingan, tak sejalan, saling mendebat namun kemudian –kembali lagi dan lagi- karena saling mencintai, saling membutuhkan peluk satu sama lain, saling ingin menjadi pelengkap untuk keduanya. Kurasa memang aku jatuh cinta tak sendirian, aku bersama sama dengan dia, jatuh bersama. Meskipun dalam ambang perbedaan, jurang yang sangat dalam.

Dia membetulkan letak kacamatanya untuk kesekian kali.

“Kenapa kita selalu meributkan hala hal yang berhubungan dengan rumah? Bukankah kita adalah rumah bagi satu dan lainnya? Bukankah mau tinggal di mana saja, hanya kau tempatku kembali?”

Aku mendongak, menatapi matanya yang indah.

Lalu masing masing dari kami mencetak senyum.

Bukankah kau  adalah satu satunya tempatku untuk tinggal dan terus kembali?


 -
Malang
Wednesday 14 June 2017 15.50

(Alfisol adalah salah satu jenis tanah sementara: pH netral, gembur, granuler, tujuh koma lima y-r dua per tiga adalah sifat dari tanah Alfisol)

Komentar

Postingan Populer