Kepala Ghimas
“Bapak sudah percaya sama kamu”
Kutatap matanya, dia mengangguk pasti.
“Kamu tau kan betapa cintanya Bapak pada tanaman kentangnya? Bapak sudah terlampau sepuh untuk turun tangan. Aku bukannya tak mau, hanya saja...”
“Lebih suka mengurusi bisnis property kan?” potongku cepat. Melibas kalimatnya sebelum dituntaskan.
Angin bertiup dari arah utara. Hampir pukul dua belas siang, kabut perlahan turun.
“Bapak sangat berharap sama kamu, Tami”
Helai daun kentang bergerak ringan, tergesek langkah kami.
“Aku hanya ingin memenuhi amanah Ibuk untuk menjaga Bapak”
Aku berhenti pada persimpangan pematang. Mengecek pintu aliran irigasi. Membersihkan nozzle pada sprinkle yang nanti akan memancarkan air dari atas sana.
“Mangkanya, aku memilih kamu untuk...”
“Cukup”
Lagi, kupotong kalimatnya.
“Aku tidak pernah memaksamu untuk menjadikan Bapak sebagai alasan untuk mencintaiku, bukan?. Hanya karena aku satu satunya manusia yang paham dengan kentang bukan berarti kamu harus
menderita seumur hidup karena menuruti apa mau Bapak. Kamu tidak perlu kok susah payah untuk belajar mendekat padaku, hanya karena aku yang bisa mengambil hati Bapak...”
Dia terdiam.
Hening.
Angin bertip kembali, dingin memeluk.
“Tami, bukan maksudku...”
“Aku lebih mengenal Bapak daripada kamu”
Maka aku ingat pada sore itu ketika Bapak, sebutan untuk lelaki yang merupakan ayah dari lelaki ini mengajariku berbagai hal. Mengenal biji bijian, menghafalkan banyak bentuk bunga dan mengajariku banyak cerita tentang buah. Aku ingat betul betapa Bapak setiap hari mengatakan hal yang beliau ulang ulang di akhir pertemuan kami mengenal alam..
“Bapak kangen sama Ghimas”
Ghimas, lelaki di sampingku ini.
“Tapi Bapak tidak menyesal mengirim dia jauh jauh ke luar negeri untuk sekolah. Dia pasti balik lagi, ya kan Nduk?” tanyanya di sela suara paraunya yang jelas mengisyaratkan rasa gundah.
“Bapak sayang banget ya sama Ghimas?” tanyaku. Jujur aku cemburu ketika Bapak mulai menyinggung tentang Ghimas yang merupakan anak kandungnya. Ghimas yang sebelumnya belum pernah aku bertemu dengannya. Ghimas yang kata beliau sudah terlahir sangat tampan hingga Bapak tak rela dia untuk menikah dengan siapapun kecuali dengan orang pilihan Bapak.
“Iya, Bapak sayang Ghimas to Nduk. Sudah bertahun tahun ndak ketemu”
Aku, yang menyaksikan setiap hari kesedihan Bapak menahan rasa rindunya.
“Tami, aku...”
“Sudah kubilang jangan memaksa. Aku bisa jaga Bapak”
“Maaf Tami.. tapi..”
“Apa lagi?!!”
“Aku sudah taken kontrak, tanda tangan tadi pagi. Lima milyar, cukup untuk sekedar.....”
“Kamu mau membunuh Bapak?”
Dan detik ini aku harus memikirkan bagaimana caranya menanam kentang tanpa sejengkal tanah pun, Ah Ghimas, kurasa Bapak salah telah menarikmu kembali ke rumah. Kamu penghancur impian di masa tua Bapak...
Haruskah aku menanam kentang di kepala Ghimas yang hanya berorentiasi mengenai uang itu? Ah entahlah..
Malang
02.30-Sunday 15 May 2017
Kutatap matanya, dia mengangguk pasti.
“Kamu tau kan betapa cintanya Bapak pada tanaman kentangnya? Bapak sudah terlampau sepuh untuk turun tangan. Aku bukannya tak mau, hanya saja...”
“Lebih suka mengurusi bisnis property kan?” potongku cepat. Melibas kalimatnya sebelum dituntaskan.
Angin bertiup dari arah utara. Hampir pukul dua belas siang, kabut perlahan turun.
“Bapak sangat berharap sama kamu, Tami”
Helai daun kentang bergerak ringan, tergesek langkah kami.
“Aku hanya ingin memenuhi amanah Ibuk untuk menjaga Bapak”
Aku berhenti pada persimpangan pematang. Mengecek pintu aliran irigasi. Membersihkan nozzle pada sprinkle yang nanti akan memancarkan air dari atas sana.
“Mangkanya, aku memilih kamu untuk...”
“Cukup”
Lagi, kupotong kalimatnya.
“Aku tidak pernah memaksamu untuk menjadikan Bapak sebagai alasan untuk mencintaiku, bukan?. Hanya karena aku satu satunya manusia yang paham dengan kentang bukan berarti kamu harus
menderita seumur hidup karena menuruti apa mau Bapak. Kamu tidak perlu kok susah payah untuk belajar mendekat padaku, hanya karena aku yang bisa mengambil hati Bapak...”
Dia terdiam.
Hening.
Angin bertip kembali, dingin memeluk.
“Tami, bukan maksudku...”
“Aku lebih mengenal Bapak daripada kamu”
Maka aku ingat pada sore itu ketika Bapak, sebutan untuk lelaki yang merupakan ayah dari lelaki ini mengajariku berbagai hal. Mengenal biji bijian, menghafalkan banyak bentuk bunga dan mengajariku banyak cerita tentang buah. Aku ingat betul betapa Bapak setiap hari mengatakan hal yang beliau ulang ulang di akhir pertemuan kami mengenal alam..
“Bapak kangen sama Ghimas”
Ghimas, lelaki di sampingku ini.
“Tapi Bapak tidak menyesal mengirim dia jauh jauh ke luar negeri untuk sekolah. Dia pasti balik lagi, ya kan Nduk?” tanyanya di sela suara paraunya yang jelas mengisyaratkan rasa gundah.
“Bapak sayang banget ya sama Ghimas?” tanyaku. Jujur aku cemburu ketika Bapak mulai menyinggung tentang Ghimas yang merupakan anak kandungnya. Ghimas yang sebelumnya belum pernah aku bertemu dengannya. Ghimas yang kata beliau sudah terlahir sangat tampan hingga Bapak tak rela dia untuk menikah dengan siapapun kecuali dengan orang pilihan Bapak.
“Iya, Bapak sayang Ghimas to Nduk. Sudah bertahun tahun ndak ketemu”
Aku, yang menyaksikan setiap hari kesedihan Bapak menahan rasa rindunya.
“Tami, aku...”
“Sudah kubilang jangan memaksa. Aku bisa jaga Bapak”
“Maaf Tami.. tapi..”
“Apa lagi?!!”
“Aku sudah taken kontrak, tanda tangan tadi pagi. Lima milyar, cukup untuk sekedar.....”
“Kamu mau membunuh Bapak?”
Dan detik ini aku harus memikirkan bagaimana caranya menanam kentang tanpa sejengkal tanah pun, Ah Ghimas, kurasa Bapak salah telah menarikmu kembali ke rumah. Kamu penghancur impian di masa tua Bapak...
Haruskah aku menanam kentang di kepala Ghimas yang hanya berorentiasi mengenai uang itu? Ah entahlah..
Malang
02.30-Sunday 15 May 2017
Komentar
Posting Komentar