Semesta Sinta

 
 
Tentang Sinta.
 
Dan jika di dunia ini benar benar ada sesosok Rama, maka jenis Sinta inilah yang paling sempurna.
Aku tak dapat menceritakan seberapa menarik dia. Seberapa memikatnya dia secara harfiah.
 
Dan ketika di sore itu, ada percakapan yang cukup menggelitik:
 
“Aku belum pernah pacaran, meskipun pernah jatuh cinta”
 
Jujur aku terkejut. Antara percaya dan tidak kulanjutkan menelaah setiap inci kisahnya:
 
“Pernah sih, tapi aku tolak dia. Nggak tau kenapa. Mungkin karena nggak mau menganggu hubungan persahabatan kita”
 
Oh, mungkin dia bukan sosok Rama yang Sinta cari.
 
Ya, menurutku memang Sinta memerlukan sosok Rama yang ideal.
 
Untuk manusia sekompleks Sinta, Rama harus lebih dari Rama yang mampu menaklukan Rahwana.
 
“Aku ini orangnya netral. Tapi bisa memahami semesta secara versiku sendiri. Dan cinta buatku memang harus dibangun atas dasar ekspresi yang kita punya. Bukan sekedar esensi yang ditemukan, tapi dicari, disusun, diramu”
 
Begitu juga dengan sesosok Rama, ya Sinta?
 
Tapi menurut kamu, jatuh cinta itu apa?
 
“Jatuh cinta adalah kesiapan, jika hanya satu yang siap, maka jatuh cinta takkan bereaksi. Tak kan berefek. Jatuh cinta itu tidak mutlak. Jika hanya salah satu yang merasakan, maka cinta tidak akan bekerja”
 
Jadi sosok Rama seperti apa yang Sinta mau?
 
Hening. Kami saling tenggelam pada sosok Rama yang kami anggap cocok...
 
“Mungkin Rama memang tak benar benar ada ya di sudut dunia manapun? Mungkin Rama memang masih misteri.. mungkin Rama memang...”
 
“ Mungkin Rama memang harus dibangun ya Sin?” potongku cepat.
 
Matanya yang indah berbinar, menepuk pundakku.
 
“Nah, masalahnya membangun Rama sama susahnya dengan membangun seribu candi dalam semalam. Masalahnya aku tak punya jin untuk mewujudkan itu. Masalahnya aku tak tahu sosok 
Rama mana saja yang perlu aku setting untuk...”
 
“Menjadikanmu jatuh cinta?” kupotong lagi kalimatnya.
 
“Yap!! Jenius” ditepuknya bahu kananku.
 
Aku bahkan tak benar benar mengerti sosok Rama yang seperti apa yang Sinta akan pilih.
 
“Tapi kamu percaya kalo Rama benar benar ada, Sin?”
 
Dia menggeleng, menyeruput kopinya pelan.
 
“Aku malah berharap akan Rahwana, haha”
 
Aku bingung, tapi mengikutinya untuk menandaskan kopi di depanku.
 
“Kok?”
 
“Kamu pikir deh sekarang” katanya sambil memainkan sendok gula di tangannya.
 
“Mana ada cowok yang senekat Rahwana? Nyuri bini orang, nyandera, mohon mohon untuk dicintai. 
 
Mati matian minta ke Sinta buat berpaling padanya. Aku rasa itu gentleman banget”
 
Aku menarik napas panjang, mencerna kalimatnya yang cukup berat untuk masuk ke akal sehatku.
 
“Aku rasa Rahwana itu keren. Mana ada cook senekat dia? Nggak ada, Es. Apalagi dia tau kalau Rama itu jauh lebih baik daripada dia. Yah aku rasa menantang aja sih cintanya si Rahwana itu, touching”
 
Aku bahkan tak bisa membayangkan betapa nestapanya Sinta kalau benar benar luluh pada Rahwana yang buruk rupa, bukankah nantinya Sinta akan...
 
“Coba deh kalo Rahwana nggak punya gigi yang besar dan tajam gitu, dia pasti bakalan lebih ganteng”
 
Yaelah Sinta, tetep aja kan Rahwana itu raksasa. Secara naluriah dia jahat, masa sih kamu nggak ngerti kalo Rahwana itu masih punya niat jahat sama kamu. Ya mana tahu kan dia sengaja nyulik kamu bukan hanya karena kamu cantik, tapi karena ada niat lainnya, mana ada yang tahu?..
 
“Dan aku sangsi deh sebenernya, kalau Rama bener bener cinta sama Sinta sih ya seharusnya dia nggak usah ngadain prosesi pembakaran buat ngebuktiin kalo Sinta masih suci. Ya harusnya Rama lebih idealis lah, ya masa dia nggak percaya sama kekasihnya sendiri”
 
Aku mengangguk angguk.
 
“Tapi sih, aku tetep milih Rama deh kayaknya”
 
“Kenapa gitu?” tanyaku kemudian, bingung pada keterpihakannya yang semakin merujuk pada ambiguitas.
 
“Ya karena pada endingnya Sinta balikan sama Rama”
 
Tawaku meledak.
 
“Jadi, kamu beneran masih mau nyari si Rama itu?” tanyaku menginterupsi.
 
Sinta menggeleng.
 
“Biar Rama yang mencariku ah” katanya kemudian.
 
Dan percakapan malam ini benar benar menghantarkanku pada dunia Sinta lebih jauh.
 
 
Sinta yang semestanya dibangun sendiri.
 
Malam masih mengalun, memperdalam diskusi kita tentang Ramanisme..
 
“Aku sih berharap kalo Rama itu hasil hibridisasi antara Rahwana dan Rama itu sendiri. Bukankah lebih menarik jika Rama dan Rahwana bersinergi pada satu tubuh? Dan akhirnya dua sosok yang melebur itu benar benar mencintaiku dengan berani, nyata, nekat dan tak takut akan apapun..”
 
 
Ah Sinta, aku semakin terkagum kagum dengan semestamu.
-
Sepotong kata kata untuk Sinta.
 
23.05 16 May 2107
Nocturnal Coffeeshop-Indonesia (oleh dua cangkir kopi Gayo yang setia)

Komentar

Postingan Populer