Kunang Kunang (ku)



Aku merasa setiap rasa memang ada saatnya perlu diungkap. Termasuk rasa bahwa “hey aku memiliki perasaan yang tak enak hari ini, apakah kita bisa bertemu untuk sekedar mengusir pikiran pikiran buruk yang seharusnya tidak terjadi itu?”

Dan benar, kami bertemu di bawah bulan sabit merah yang nyalanya temaram menentramkan.

“Apa kabar?”

Aku memecah hening.

Kudengar tarikan napasnya yang berat.

“Baik, kamu?”

Datar.

Tanpa intonasi.

Tanpa campuran rasa sumringah.

Satu dua kunang kunang mulai muncul. Mungkin kemudian akan memenuhi padang ini dengan kedipnya.

“Iya, aku juga”

Entah, aku tak tahu mengapa detik itu juga gerimis memenuhi hatiku.

“Gimana kuliahnya?”

Lagi, aku yang memulai untuk bertanya.

“Biasa, ya seperti yang sudah sudah” jawabnya.

Kugigit bibirku, getir.

“Aku dengar kamu baru saja dilantik menjadi Kahim ya?”

Dia mengangguk pelan.

“Selamat ya” kataku, mengulurkan tangan kanan.

“Iya, terimakasih”

Sunyi menginvasi.

Padang ini adalah tempat paling hangat sejak aku menemukanannya sekian tahun yang lalu. Hamparan rumput setinggi mata kaki ini, batu batu besar, bunga bunga liar, dan kunang kunang yang
menjelma menjadi cahaya satu satunya di bulan Juni adalah cambuk untuk kami berdua datang ke tempat ini setiap akhir semester.

Kami menamai tempat ini Padang Rectoverso.

Tempat dimana rindu rindu terkumpul, menyesaki setiap sudut udara, meleburkan segala percakapan dalam balutan pertemuan.

Dan ini adalah kesekian kalinya kami bertemu memecah bongkah rindu.

“Kamu merasa nggak kalo kunang kunang di sini semakin sedikit?”

Aku mengangguk membenarkan. Memang itu benar adanya.

“Kerusakan ekosistem?” tebakku.

Dia mengangguk.

“Salah satunya” jawabnya.

Langit masih bertabur bintang. Tapi bulan sabit hanya melengkung membentuk senyuman di hamparan hitam di atas kami. Angin berhembus pelan, seperti mengabarkan jika musim kemarau akan segera
datang.

Aku menyukai hening dengan warna seperti ini.

Saat hanya aku dan tarikan nafasnya yang kudengar.

“Terimakasih sudah mau kembali” kataku.

Dia menoleh, tak sedikitpun menarik bibirnya untuk sekedar membagi senyuman.

“Terimakasih sudah mau kembali, meskipun dengan alasan yang tak lagi sama”

Angin kembali bertiup menyentuh dua syal warna biru pada leher kami.

“Terimakasih sudah mau menemuiku” lagi, aku tak menunggu jawaban apa yang ia miliki.

Dua ekor kunang kunang melintas. Membuat mata kami bertemu ketika satu diantara mereka terbang di antara tempat kami duduk.

Aku melihat matanya.

Dia menunduk kemudian.

Menghentikan inginku untuk menikmati matanya yang indah.

“Terimakasih untuk pesan pesan yang tak sempat kau balas, setidaknya itu adalah kabar yang paling jelas”

“Terimakasih telah pulang”

“Terimakasih telah menjawab pertanyaanku tentang sebuah..”

“Firasat?” tanyanya.

Tak kujawab, aku sibuk menguatkan hatiku sendiri.

Seekor kunang kunang hinggap di jemariku, merayap pelan sembari mematikan cahayanya.

“Kamu masih mempercayai kekuatan firasat?”

Aku tak menjawab.

“Bukankah firasatmu juga pernah salah?”

Iya.

“Dan bahkan kamu lebih mempercayai firasatmu dibandingkan aku, kan?”

Iya.

Dan itu yang membuatmu pergi.

Menghilang setelah kau mencipta bahagia.

Setelah kau memberiku cahaya.

Ah, kau memang terlalu dekat dengan kunang kunang.

Bukankah kunang kunang selalu meminta untuk merdeka?

“Maaf” bisiknya.

Maaf untuk? Seharusnya aku yang meminta maaf karena lebih memilih untuk membela habis habisan firasatku tentang kau yang..

“Tahun depan aku takkan pulang” akhirnya dia mengatakan hal itu.

Kuterbangkan kunang kunang dari punggung tanganku. Membiarkannya kembali mencari apa yang dia mau.

“Maaf telah banyak mengecewakan”

Bukankah kunang kunang akan kembali di musim selanjutnya?

Aku tersenyum.

Iya, tidak apa apa.

“Tahun depan aku takkan lagi menemuimu”

Iya, tidak apa apa.

“Tahun depan mungkin aku tak bisa melihat kunang kunang lagi di sini”

Iya, aku paham.

Kuberanikan diri memegang lengannya. Menahan tangisku yang siap meledak.

“Terimakasih”

Aku membiarkan dia, kunang kunang yang kurindukan setiap satu semester sekali untuk memilih apa yang dia inginkan. Memilih untuk meninggalkanku mulai dari semester depan. Bukankah pada
dasarnya sesuatu yang indah tak harus selalu digenggam?.

Terimakasih sudah menjadi kunang kunang di padang Rectoverso hatiku.

Terimakasih sudah menyadarkan bahwa sebuah firasat tidak selalu mengatakan yang sesungguhnya.

Namun, aku sudah berfirasat bahwa dia akan terbang menghilang, mulai tahun selanjutnya.

Dan padang Rectoverso mungkin tak lagi lengkap.

Hanya akan ada aku dan bayangan seorang kunang kunang.



Dia, kunang kunangku.
-
20.18
Wednesday 17 May 2017

Komentar

Postingan Populer