Selamat pagi!





Cericit burung gereja yang menukik diantara abu sisa semalam terus memenuhi sibuknya kabut membungkus waktu pasca subuh. Di dingin yang semenikam ini jangan harap kalian akan membayangkan aku telah rapi dengan setumpuk tugas kuliah di lipatan tas ransel, aku sungguh bukan tipe manusia seperti itu.

Tapi aku bisa menjadi teman yang ideal untuk sekedar merenung di jeda waktu bangun dan waktu 
mandi.

Dengan tangan menggenggam gagang cangkir.

 Kopi panas di dalamnya.

Dua tiga biskuit coklat.

Dan juga mungkin sedikit bacaan ringan, surat kabar misalnya.

Aku bisa jadi teman ideal untuk sekedar berbagi cerita, ada apa dengan  detik ke 6793 di hari mu kemarin?

Dan saat seteguk kopi itu melewati tenggorokanmu yang pertama, aku akan berkata:

‘Tuhan itu indah ya? Lebih indah dari yang kita mau’

Kupastikan saat itu juga kau letakkan gagang cangkirmu. Mengeryitkan kening kemudian segera ingin menjawab, namun kupotong cepat:

‘Seperti, Dia menciptakan hati yang patah hanya untuk membuat manusia bersyukur betapa beruntungnya dicintai secara utuh’ lanjutku. Kemudian memungut sekeping biskuit di atas piring porselen. Menggigitnya kecil, mencelupkannya sebentar pada kopi yang kupunya, lalu mengunyahnya tanpa sisa.

Kamu, mengamatiku dnegan sudut sangat akurat, sangat hati hati, kamu takut melangkahi kalimatku, takut aku memebalikkan keadaan yang kau gulirkan sendiri.

‘Lucunya, di dunia ini ada yang suda mengerti betapa hatinya dibuat remuk, tapi masih ingin memeluk’ kataku lagi.

‘Dan, dibuatnya banyak pembelaan seolah perasaannyalah yang paling benar’

Kamu masih diam. Serta merta mengikuti arah mataku menuju puluhan burung gereja.

‘Aku rasa, Tuhan memiliki adil yang berbeda dengan adil yang kita inginkan. Kadang kadang’


Memecah heningmu, kau menukas pelan.

‘Beberapa manusia mengizinkan hatinya patah hanya untuk membuktikan bahwa mereka belum menyerah. Sebagian lagi sebenarnya ingin kembali. Lalu setengah diantaranya ingin pulang, hanya tak mengerti kemana seharusnya perasaan mereka bermuara’


Kutarik gagang cangkirku, mengecap isi di dalamnya.

‘Dan beberapa manusia telah berlangganan untuk sekedar mematahkan hatinya sendiri kepada satu orang, bukan?’ tanyaku padamu.

Mata kami sesaat bertemu.

‘Ya, seperti itu’ jawabmu kemudian.

‘Aku sendiri sebenarnya juga tidak mengerti aku ikut bagian yang mana’ kataku.

‘Kamu hanya terkilir, tidak sepenuhnya patah’

‘Bukankah itu juga bisa untuk menjadi alasan mengapa sakitnya bisa menahun?’

Kamu mengangguk mengiyakan.


‘Rasanya aku hanya takut kehilangan kewarasanku jika tak melepaskan kenangan yang membuatku terkilir, patah, ataupun remuk. Rasanya aku masih tak bisa merelakan bahagia bercokol padaku. Rasanya ini seperti...’

‘Kau hanya terjebak rasa nyaman pada luka yang seharusnya sudah mengering’ potongmu.

 ‘Dan seharusnya kamu paham bahwa setidaknya ada aku yang dikirimkan oleh Tuhan untuk membebat lukamu itu, tapi sampai kapan kau akan mengerti? Jika membiarkan lukamu kering saja kau masih tak rela. Jadi menurutmu, versi adil dari Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, Elena’ lagi, kamu mendakwaku.


Iya, aku rasa Tuhan tak adil ketika masih saja aku membiarkan kau, lelaki yang jelas jelas baik menghuni ruangku. Aku rasa Tuhan tak adil ketika membiarkanku masih menyimpan sakitnya patah sedangkan di depanku ada lelaki yang siap mengajakku melangkah.


Malang
Wednesday, 12 April 2017
10.04

Komentar

Postingan Populer