Barista(ku)
Malam itu aku datang
seperti biasa
Kira kira jam dua
dinihari
Matamu masih sibuk
dengan beribu ribu biji kopi dalam karung, dalam bejana, dan dalam toples
toples kaca
Lalu aku bilang
"hari ini aku membawa yang lebih istimewa, dengan kadar gula setengah dari
yang kemarin"
Kau tak memandangku
bahkan, namun bibirmu tersenyum simpul
Ketika jemariku sibuk
mengikat ujung goni, kau menariknya mendekat. Perlahan mengenalkanku pada alat
penggerus, alat pengaduk, creamer dan ini itu yang mungkin menurutmu perlu
kuketahui.
Dua jam kemudian kita
bertemu kembali,
Segelas kopi panas
mengepulkan asapnya, aromanya menyeruak harum
Sembari memintaku mencicipinya,
kamu berkata lirih "Meskipun suamimu nanti
barista, kau harus mampu membuatkan kopi yang lebih enak ya", lalu
tersenyum dan melempar pandangan ke luar jendela yang mulai semburat cahaya
fajar.
Kuletakkan cangkirku,
memintamu menelaaah akankah rasanya lebih nikmat dari buatanmu.
Lalu kau tertawa.
"Enggak, enakan
buatanku lah. Kamu kan amatiran" godamu sembari mengerlingkan mata.
Lalu aku cemberut, namun
lekas membaik saat pipiku memerah oleh telunjuk dan ibu jarimu yang menarik manja dengan lembut.
Kamu berkata lagi
"Aku jatuh cinta pada tiap tiap biji kopi yang kau kirim. Aku tidak akan
pernah menyesal jika nantinya menikahi petani kopi sepertimu, karena kamu
menanamnya dengan penuh cinta. Dan aku percaya bahwa setiap keping biji yang
aku terima mengandung banyak cinta yang kau bangun. Maka aku menjadi seseorang
yg paling beruntung ketika dapat memiliki kopi dengan paduan cinta dan kasih
sayang di dalamnya"
Aku tak berani menatap
matamu yang cekung, hanya bisa menarik bibirku satu senti ke kanan dan kiri.
Kemudian kutinju lenganmu pelan, dengan pipi
masih tersipu sipu.
"Kamu itu yaa,
kuli kopi tukang gombal" ledekku. Kau tertawa.
Kami menuntaskan sajian
dengan bercerita macam macam hal. Menunggu pagi untuk mengantarkanku kembali ke
rumah, menemui anak anak yang siap dipanen sebelum jam tujuh pagi saat matahari
mulai menebas kebun. Kamu bilang mau ikut kapan kapan, kukatakan tidak usah
banyak berjanji, aku tak punya banyak kantung untuk mewadahi omongan manis.
Kau tertawa, memecah
sunyi kedai yang hanya ada kita berdua.
Adzan berkumandang,
membuat kami bergegas mencuci gelas.
Sudah kelima kalinya
ini, kau bersikukuh ingin menjadi imam sholat. Sedang belajar katamu, dan aku
hanya tersenyum simpul. Kukatakan kau akan siap pada waktunya, sedang sekarang
tak apa kau baca surat surat pendek sederhana yang kau jelas hafal panjang
pendeknya.
Pagi menembus dinding,
mengeliatkan gulita.
Kedai tak kan segera
buka, masih ada kopi yang harus lolos uji.
Semoga aku akan tetap
menjadi ibu bagi anak anak kita yang siap diseduh. Semoga anak anak kita
tetapmenjadi sumber semangat bagi para penggilanya. Semoga anak anak kita
senantiasa subur untuk nantinya bertemu dengan jemari ayahnya di mesin
penggiling, Kau.
-
Malang
Sunday
10.16 23 July 2017
-
Komentar
Posting Komentar